Riset dari Westminster Foundation for Democracy Limited (WFD) mengungkap biaya yang dikeluarkan caleg Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Pemilu serentak 2024 paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp160 miliar. 

Rata-rata biaya yang dikeluarkan mencapai Rp5 miliar (sekitar 315.000 USD). Jumlah pengeluaran tersebut sangat jauh dari pendapatan rata-rata orang Indonesia sebesar Rp36 juta. Dengan kata lain, butuh bekerja selama 140 tahun tanpa memakai pendapatannya sama sekali untuk bisa mendanai kampanye politik tersebut. 

Hal ini terungkap dalam laporan yang ditulis oleh Ella Syafputri Prihatini, asisten profesor ilmu politik di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) sekaligus peneliti di Centre for Muslim States and Societies (CMSS), University of Western Australia (UWA), bersama Sri Budi Eko Wardani, asisten profesor ilmu politik di Universitas Indonesia (UI).

Baca juga: Jaksa nyatakan banding atas putusan politik uang Pilkada Aceh

Laporan mereka menyebutkan sebanyak sebanyak 9.917 calon legislatif (37% perempuan dan 14% berusia 21–30 tahun) bersaing memperebutkan 580 kursi DPR RI di pemilu 2024. Meskipun masa kampanye jauh lebih pendek, yakni hanya 75 hari dibandingkan tiga pemilu sebelumnya lebih dari 200 hari, pengeluaran kampanye justru melambung lebih tinggi. 

Pada Pemilu 2009, perkiraan biaya politik untuk pemilu hanya sebesar Rp250 juta. Lalu, pada tahun pemilu 2019 rata-rata dana yang dihabiskan oleh calon DPR RI meningkat empat kali lipat. Biaya yang dikeluarkan mencapai Rp1,18–4,6 miliar untuk bisa terpilih. 

“Anggota DPR dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Partai Gerindra) mengakui keabsahan perkiraan tersebut saat merefleksikan pengeluarannya yang menembus Rp2 miliar pada pemilu 2019. Para politisi juga mengetahui bahwa ada calon yang menghabiskan dana hingga Rp20–25 miliar untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas mereka,” tulis Ella dan Sri dalam laporan ini. 

Riset WFD mencatat bahwa para caleg menghadapi pengeluaran besar sejak awal pencalonan. Pada tahap ini, mereka harus membayar uang mahar kepada partai, survei elektabilitas, biaya pendaftaran, serta biaya lain seperti pemeriksaan kesehatan dan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).

Sebagai contoh, survei elektabilitas terhadap 400 responden di Jawa dan Sumatera bisa memakan biaya antara Rp135 juta hingga Rp150 juta, sedangkan survei di daerah seperti Maluku dan Papua membutuhkan anggaran yang lebih besar mencapai Rp350 juta karena biaya transportasi dan logistik yang lebih mahal. 

“Sebagian besar responden mengaku membayar sendiri tagihan mereka, namun, beberapa partai menyediakan penggantian biaya,” jelas mereka dalam riset yang didukung oleh proyek WYDE Civic Engagement yang diprakarsai oleh European Partnership for Democracy (EPD). 

Pengeluaran semakin meningkat ketika memasuki masa kampanye. Para caleg harus membayar produksi alat peraga seperti spanduk, baliho, dan iklan digital yang sering kali menghabiskan hingga 45% dari total anggaran kampanye. 

Selain itu, mereka juga harus memberikan kompensasi kepada pemilih yang hadir dalam pertemuan kampanye, biasanya berupa uang transportasi berkisar Rp50–100 ribu per orang. Di samping itu, ada kebutuhan untuk membayar tim kampanye dan koordinator lapangan yang jumlahnya bisa mencapai 2.400–12.000 pendukung di desa-desa di seluruh daerah pemilihan (dapil). 

“Beberapa responden mengklaim mereka membayar anggota tim sebanyak Rp200 ribu per orang per bulan, sementara yang lain mengatakan hanya koordinator lapangan yang menerima bayaran rutin. Sedangkan anggota tim lainnya, yang kurang senior, hanya diundang makan malam atau makan siang gratis,” sebut peneliti dalam laporan ini. 

Baca juga: Kejari Bireuen terima pelimpahan perkara politik uang Pilkada 2024

Pada hari pemilihan, biaya semakin melonjak. Para caleg perlu membayar saksi untuk memastikan tidak terjadi kecurangan di tempat pemungutan suara (TPS). Menurut perhitungan PDI-P, butuh biaya minimal Rp165 miliar untuk membayar saksi dengan rata-rata Rp100 ribu per orang di 823 ribu TPS yang tersebar di seluruh Indonesia. 

Biaya yang besar ini tidak ditanggung seluruhnya oleh partai, melainkan oleh kandidat petahana yang membayar berangsuran kepada partai mereka masing-masing. 

Setelah terpilih, anggota legislatif tetap dihadapkan pada biaya politik yang tinggi. Mereka harus memelihara hubungan dengan konstituen melalui kunjungan dapil, distribusi program bantuan, serta pemberian sumbangan kepada partai politik. Biaya ini menjadi beban tambahan yang terus memengaruhi proses politik mereka selama masa jabatan.

Halaman selanjutnya: yang diuntungkan 


Siapa yang paling diuntungkan?

Tingginya biaya politik dalam Pemilu 2024 semakin menguntungkan petahana. Dengan akses berkelanjutan terhadap sumber daya seperti dana aspirasi hingga program pemerintah, petahana dapat menjaga kedekatan dengan konstituen. Ini menjadi strategi efektif untuk mempertahankan dukungan politik dan peluang terpilih kembali.

Walaupun masa kampanye resmi hanya berlangsung 75 hari, laporan Ella dan Sri mengungkap bahwa petahana memulai "kampanye" sejak dua tahun sebelum kampanye resmi dimulai. 

Mereka rutin mengunjungi dapil untuk menyalurkan bantuan dan program pemerintah sehingga pengeluaran saat masa kampanye formal menjadi lebih kecil karena telah bertemu dengan para konstituen selama lima tahun saat menjabat.

Selain itu, partai sering memberikan prioritas kepada petahana dengan nomor urut strategis karena peluang kemenangan mereka lebih tinggi. Data menunjukkan proporsi petahana yang terpilih kembali meningkat dari 25,2% pada 2009 menjadi 56% pada 2024.

Baca juga: Bupati Aceh Barat terpilih minta satgas cabut laporan politik uang, Panwaslih masih bungkam

Tidak hanya petahana, mahalnya biaya politik juga menguntungkan para elite. Hasil Pemilu 2024 menunjukkan adanya hubungan kuat antara kekayaan, koneksi politik, dan elektabilitas di antara calon pemuda yang sukses terpilih.

Berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW), sebanyak 354 dari 580 anggota parlemen terpilih pada 2024 merupakan pelaku usaha, baik sebagai pemilik maupun yang tidak tercatat secara resmi sebagai pemilik. Jumlah petahana dan politisi dari keluarga politik telah meningkat secara signifikan sejak 1999.

Selain itu, laporan ini juga menunjukkan data bahwa lebih dari 59% anggota parlemen perempuan petahana berasal dari dinasti politik yang mencerminkan dominasi elit dalam proses pencalonan.

Klaim ini diakui oleh responden dalam laporan yang menyebutkan bahwa dirinya dapat mencalonkan diri untuk kursi parlemen lokal pada 2019 berkat adanya koneksi dengan bisnis ayahnya. 

Ia bahkan bisa mengubah afiliasi politiknya untuk mewakili sebuah partai yang dipimpin oleh kenalan baik orang tuanya. Kombinasi hubungan yang kuat dengan elite politik dan sumber daya keuangan yang besar ini memainkan peran penting untuk membuatnya dicalonkan oleh partai, meskipun ia bukan kader partai. 

“Hal ini menjadi contoh yang mencerminkan mengapa partai lebih condong mencalonkan kandidat yang berasal dari keluarga berada atau kaya,” sebut Ella dan Sri dalam laporan ini.

Fenomena politik dinasti ini telah memperkuat dominasi elit dan membatasi peluang politisi dari kalangan kurang mampu. Secara global, keluarga elite politik memiliki keuntungan signifikan ketika memasuki dunia politik.

Keuntungan tersebut mencakup kemudahan sosialisasi politik, pengalaman dalam menyusun strategi, serta akses ke jaringan, organisasi, dan sumber daya politik yang telah mapan. Anggota keluarga politik juga kerap memanfaatkan citra keluarga, kepercayaan pemilih, perhatian media, dan jaringan. 

Berdasarkan data Pemilu 2024, setidaknya 220 anggota DPR RI memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat publik atau tokoh politik. Prevalensi politik dinasti lebih tinggi di kalangan politisi muda, di mana 85 dari 137 anggota DPR RI dan DPD RI berusia di bawah 40 tahun tergolong dalam dinasti politik. 

Jumlahnya lebih tinggi pada kelompok usia 30 tahun atau lebih muda, sebanyak 33 dari 43 anggota diketahui memiliki hubungan kekerabatan politik.

Dominasi tersebut tidaklah mengherankan, sebab legislator yang berafiliasi politik dinasti mudah mendapatkan keuntungan secara elektoral. Pada Pemilu 2024, anggota DPR RI terpilih yang berasal dari dinasti politik rata-rata memperoleh 240.675 suara atau 30% lebih banyak dibandingkan politisi muda tanpa hubungan kekerabatan. 

Fakta ini mencerminkan semakin menyempitnya ruang bagi calon legislatif yang tidak memiliki pengaruh politik untuk bersaing merebut kursi parlemen, terutama perempuan dan orang muda yang tidak memiliki banyak relasi dan masih kekurangan finansial meskipun memiliki kemampuan mumpuni dan banyak pengalaman. 

Halaman selanjutnya: adakah risikonya?


Risiko korupsi

Di samping meminggirkan legislator pendatang baru, tingginya biaya yang diperlukan untuk memperoleh jabatan publik semakin meningkatkan risiko korupsi di Indonesia. Fenomena ini tidak hanya terjadi selama masa kampanye, tetapi juga berlanjut saat politisi menjabat. 

Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa ratusan pejabat negara di berbagai tingkat pemerintahan telah ditangkap atas dugaan korupsi sejak 2004 hingga 2023. Dari jumlah tersebut, sebanyak 344 anggota DPR RI dan DPRD, 24 gubernur, serta 159 wali kota/bupati terjerat kasus korupsi, sebagian besar terkait dengan proses politik.

Mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Muhammad Romahurmuziy, yang divonis dalam kasus suap pada 2019, secara terbuka menyebut bahwa kebutuhan dana politik sering kali menjadi alasan politisi terjerumus dalam tindakan korupsi. 

Biaya yang sangat besar untuk kampanye, termasuk untuk mendapatkan kursi di DPR RI, tidak sebanding dengan gaji resmi dan tunjangan yang diterima jika terpilih. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor S-520/MK.02/2015, gaji bulanan DPR RI (di luar tunjangan kesehatan dan dana lainnya) yang diterima Ketua mencapai Rp67,7 juta, Wakil Ketua Rp62,4 juta, dan anggota Rp54 juta.

Baca juga: Kronologi Panwaslih Banda Aceh amankan lima orang terduga politik uang
 

Penyebab tingginya biaya politik

Ada beberapa faktor utama yang mendorong tingginya biaya politik di Indonesia. Pertama, sistem proporsional daftar terbuka yang memungkinkan pemilih memilih langsung kandidat, bukan hanya partai. 

Sistem ini membuat persaingan menjadi semakin ketat, baik antarpartai maupun antarcaleg dalam satu partai. Akibatnya, kampanye menjadi lebih individualistis dan mahal.

Kedua, pemilu serentak antara presiden dan legislatif juga memperburuk situasi. Para caleg tidak hanya harus berkampanye untuk diri mereka sendiri tetapi juga untuk calon presiden yang diusung partainya. Hal ini meningkatkan beban finansial secara signifikan, terutama bagi partai yang bukan bagian dari koalisi pemerintah.

Faktor ketiga adalah lemahnya penegakan hukum oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Lembaga ini dinilai tidak menunjukkan komitmen yang serius untuk menyelidiki perbedaan antara laporan keuangan yang diajukan partai dan pengeluaran aktual. 

Terakhir, budaya politik uang yang semakin diterima masyarakat juga berkontribusi terhadap tingginya biaya. Banyak pemilih yang menganggap pemberian uang atau hadiah dari caleg sebagai hal yang wajar dan bahkan menjadi syarat untuk memberikan dukungan.

Rekomendasi 

Meningkatnya biaya politik di Indonesia dapat melemahkan demokrasi yang inklusif, transparan, dan partisipatif. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan reformasi hukum yang komprehensif, terutama revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. 

Revisi ini perlu mencakup peningkatan bantuan keuangan untuk parpol, meningkatkan transparansi rekrutmen kader partai, mendesentralisasikan pengambilan keputusan dalam mekanisme internal partai, memperkuat kebijakan afirmatif.

Kemudian, mewajibkan partai memberikan bantuan keuangan yang proporsional untuk calon perempuan dan orang muda, menerapkan kebijakan afirmatif di dalam struktur manajemen partai, membekali Bawaslu dengan wewenang yang lebih besar, dan menciptakan saluran partisipasi publik dalam memantau kebutuhan partai.  

Revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juga menjadi prioritas, seperti menurunkan ambang batas parlemen, mengevaluasi sistem perwakilan proporsional terbuka, serta menerapkan sistem zipper pada daftar calon legislatif guna memastikan keseimbangan gender. 

Selain itu, perlu juga mengevaluasi penjadwalan pemilihan presiden dan legislatif, mempertegas peran dan tugas saksi di TPS, memperluas cakupan pelaporan dana kampanye, mengintensifkan pengawasan terhadap pelaporan dan kampanye, dan menerapkan batasan tertentu pada belanja kampanye.  

Di sisi lain, mekanisme akuntabilitas harus diperkuat. Bawaslu perlu meningkatkan profesionalisme dalam menangani pengaduan masyarakat dan memastikan bahwa partai politik dan kandidat melaporkan belanja kampanye secara tepat waktu. 

KPU juga perlu mendiskualifikasi partai yang tidak memenuhi kuota gender dalam daftar calon legislatif, sementara sistem digital seperti SIREKAP harus diperbaiki untuk menjamin akurasi hasil pemilu. 

Terakhir, peneliti merekomendasikan pengoptimalan pendidikan kewarganegaraan yang kolaboratif serta dukungan media dan organisasi masyarakat sipil (OMS) untuk mengintensifkan pemberitaan mengenai kecurangan pemilu dan politik uang guna memberikan tekanan kepada pelaku dan mencegah normalisasi politik uang.

Baca juga: Strategi silaturahmi Kejari Bireuen cegah politik uang di Pilkada 2024

Ilustrasi- pilkada serentak. (ANTARA/Ardika/Am) (.)

 

Pewarta: Nurul Hasanah

Editor : Febrianto Budi Anggoro


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2025