Hujan yang turun tanpa jeda selama berhari-hari mengubah Desa Pahlawan, Kecamatan Karang Baru, di Aceh Tamiang menjadi lautan berwarna cokelat keruh. Di tengah kepungan banjir itu, rumah wartawan Antara, Dede Harison, berubah menjadi tempat bernaung bagi puluhan warga untuk menyelamatkan diri.

Selama empat hari, mereka bertahan dalam keterisolasian, hingga terpaksa meminum air banjir yang disaring seadanya untuk bertahan hidup.

Awalnya, hujan yang turun pada Selasa pagi (25/11) dengan intensitas rendah hingga ringan tidak mengkhawatirkan bagi Dede. Namun malam harinya, semuanya berubah. Hujan merajam hingga tengah malam, membuat jalanan tergenang tinggi.

Dede yang hendak pulang justru terpaksa bertahan di sebuah warkop di Karang Baru karena tak mungkin menembus hujan deras dengan sepeda motor.

“Menjelang magrib saya ingin pulang, tetapi tidak bisa. Hujan terlalu deras,” katanya.

Baca: Akses jalan Aceh Tamiang - Sumut sudah normal, bisa dilintasi truk besar

Ketika dini hari tiba dan hujan tak kunjung reda, ia nekat menerobos. Jalan-jalan yang ia lalui sudah berubah menjadi aliran air gelap, sejumlah pengendara lainnya bahkan turun dari motor sambil menuntun kendaraan dalam kondisi tertatih.

Rabu pagi, air mulai merayap masuk ke rumah tetangganya. Sungai di belakang rumah diduga meluap. Dalam hitungan jam, permukiman yang selama ini diyakini aman dari banjir mulai tergenang. Listrik mulai padam, longsor terjadi di beberapa titik, sejumlah pohon tumbang, dan sinyal telepon hilang. Desa Pahlawan terisolasi.

Dede yang semula hendak mewawancarai BPBD Aceh Tamiang untuk mengonfirmasi terkait banjir yang sudah terjadi di beberapa daerah lainnya akhirnya hanya bisa melakukan peliputan di desanya sendiri yang juga situasi sama parah di daerah lain.

“Saya akhirnya terjebak dan tidak bisa keluar dari Desa Pahlawan,” katanya.

Dengan mantel dan sepatu bot, ia berjalan kaki menyusuri kampung. Ia menyaksikan warga berbondong-bondong menyelamatkan diri, menggendong anak, menuntun orang tua, dan menyelamatkan ternak yang sayangnya banyak berakhir mati akibat terendam air bah.

Warga Desa Pahlawan di Aceh Tamiang mengevakuasi hewan ternak agar tidak mati terendam banjir (ANTARA/Dede Harison)

Tidak lama kemudian, rumahnya sendiri menjadi korban. Air mulai naik pukul 09.30 WIB. Dede mengangkat barang ke tempat lebih tinggi, ia yakin air takkan melampaui satu meter. Namun, banjir terus meningkat.

“Saya percaya diri hanya menaikkan barang barang berharga ke lantai dua karena menurut masyarakat, daerah tempat saya tinggal itu termasuk daerah tinggi sehingga tidak mungkin akan terjadi banjir,” katanya.

Karena kelelahan, ia sempat tertidur saat air sudah sepaha. Ia tidur di atas springbed, sementara istri dan anaknya sudah ia evakuasi ke ruang berukuran 4x4 m di lantai dua bersama sejumlah warga yang ikut mengungsi, termasuk warga dari Desa Banee yang banjirnya lebih parah.

Awalnya ia hanya menolong seorang anggota Brimob yang meminta bantuan mengevakuasi istri dan bayi mereka. Namun setelah itu, rumahnya didatangi puluhan warga lain membawa lansia, anak-anak, dan kelompok rentan.


"Saya dengan sukarela dan senang hati menerima sehingga saya juga mengajak mereka untuk memahami kondisinya karena bersama-sama di sini menyelamatkan diri sehingga apa adanya saja,” katanya

Pada malam hari, air kembali menanjak. Dede yang tertidur di kamar bawah terbangun pukul 05.00 pagi. Air sudah setinggi bibir. Kamera yang ia gantung di teralis paling tinggi pun ikut terendam.

Dalam kondisi panik, ia meraba-raba saku celana, menemukan kunci kamar, dan membuka pintu yang terkunci dari dalam. Ia berhasil menuju lantai dua, kemudian naik lagi ke loteng karena lantai itu sudah dipenuhi perempuan, anak-anak, dan orang tua.

Baca: Bupati Aceh Tamiang: Banyak daerah bencana banjir masih terisolir

Di loteng-loteng rumah sekitar, ia melihat warga lain ikut bertahan.

Menurut warga sepuh yang tinggal di desa itu, banjir kali ini merupakan yang terbesar dalam sejarah Aceh Tamiang, bahkan melampaui banjir besar tahun 1996 dan 2006.

Air banjir digunakan untuk menyeduh susu

Keesokan harinya, ketinggian air di luar masih mencapai hampir 3 meter dengan arus deras. Hampir semua harta benda di rumahnya tenggelam. perbekalan mereka juga habis. Air minum tak ada.

Mereka terpaksa menyaring air banjir yang keruh dan berlumpur menggunakan kain untuk diminum, dimasak, hingga membuat susu bayi.

“Nasi yang kami masak pun berubah warna menjadi kuning,” katanya.

Seorang anggota Brimob yang menumpang di rumahnya bahkan berenang ke luar untuk mencari makanan bagi istrinya yang menyusui. Ia kembali membawa pisang, rambutan, dan sedikit bahan pangan. Untuk mempertahankan logistik, Dede dan para warga hanya makan dua kali sehari.

“Selama tiga hari, kami hanya makan pagi dan malam saja, saya makan supermie baik mentah maupun masak. Karena kalau mau di masak, tidak ada air,” katanya.

Banjir merendam rumah warga di Desa Pahlawan, Aceh Tamiang. Ketinggian air mencapai 2,5-3 meter. (ANTARA/Dede Harison)

Dede baru bisa menuruni rumah pada hari keempat. Saat itu, rumahnya dipenuhi lumpur setebal 50–70 sentimeter. Banjir berangsur surut total pada hari kelima.

“Kami terjebak banjir sejak Rabu hingga Minggu tidak bisa ke mana-mana. Kami baru bisa keluar dari kampung di hari keenam banjir dengan air di beberapa tempat masih tergenang,” katanya.


Pascabanjir

Memasuki hari ketujuh pascabanjir, sejumlah pengungsi masih bertahan di lokasi-lokasi penampungan sementara, sementara sebagian lainnya telah pulang untuk membersihkan sisa lumpur di rumah masing-masing.

Namun, situasi di jalur nasional Medan–Banda Aceh masih terganggu oleh kendaraan milik warga yang diparkir di badan jalan, sehingga menimbulkan kemacetan. Di sisi lain, debu tebal beterbangan akibat lalu lintas kendaraan yang melintas.

Baca: Pemkab Aceh Tamiang salurkan bantuan lewat sungai untuk desa terisolir

“Belum semua pengungsi kembali meskipun air sudah surut. Untuk kondisi di Kampung Ateuk, khususnya di pedalaman, korban banjir ada yang masih bertahan di pengungsian, terutama di fasilitas umum seperti masjid, sekolah, dan rumah kerabat mereka,” katanya.

Akses kendaraan dari arah Banda Aceh sudah kembali terbuka karena genangan air di kawasan Sungai Liput, Kecamatan Kejuruan Muda, serta Desa Seumadam di perbatasan Aceh Tamiang–Langkat telah mengering. Meski demikian, lumpur masih menutupi sejumlah titik sehingga kendaraan harus melintas dengan ekstra hati-hati.

“Sepeda motor hingga tadi pagi belum berani melintas karena lumpur masih tebal,” katanya.

Pewarta: Nurul Hasanah

Editor : M.Haris Setiady Agus


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2025