Jam sudah menunjukkan pukul 18.23 WIB pada Kamis (28/3), mendung pun terlihat  mulai menyelimuti langit dengan hujan rintik-rintik mulai membasahi kulit.

Sebuah caffe di samping jalan di Desa Ceunamprong,  Kecamatan Indra Jaya, Kabupaten Aceh Jaya.  Letaknya lumayan jauh dari ibu kecamatan, Lamno, yang harus menempuh sekitar 7 kilometer.

Dari jauh mulai terlihat seorang pria berbaju hitam dengan celana ponggol  di dalam cafee yang sedang melahap nasi bungkus yang baru dibelinya di seputaran warung terdekat.

“Masuk bang, kami pikir tadi pagi abang datang, saya baru saja pulang dari laut mencari ikan,” ujarnya kepada Antara dengan menyodorkan sebuah kursi santai.

Namanya  Ismail umurnya masih tergolong muda yaitu 27 tahun, pekerjaan kesehariannya sebagai nelayan penyelam lobster dan ikan di laut lepas.

Laut bagai teman baik bagi Ismail, bagaimana tidak ia seakan tak pernah gentar dan takut lagi untuk menyelam ke dasar laut untuk mencari lobster dan juga ikan untuk ia jual di cafee kecilnya yang di kelola secara mandiri.

Sejak ditinggal orang tuannya pada saat bencana tsunami beberapa tahun lalu, Ismail berusaha untuk hidup mandiri tanpa mengeluh dan berharap kepada saudara-saudaranya.

"Sejak ditinggal sama ayah dan ibu yang terkena bencana tsunami beberapa tahun lalu saya berusaha hidup mandiri dengan mendirikan cafee,” ujar Ismail.

Ismail menyampaikan kesehariannya ia selalu menyelam untuk mencari ikan dan juga udang lobster untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.

“Kalau siang saya pergi tembak ikan di laut, Kalau malam mencari lobster, itu memang rutin dilakukan untuk kebutuhan sehari-hari,” kata pria kulit sawo matang tersebut.

Ismail terlihat sebagai anak pendiam tidak banyak berbicara, ia hanya menjawab pertanyaan yang dilontarkan kepadanya tanpa berbicara panjang lebar.

Ismail menceritakan keluh kesahnya pada saat mencari lobster yang harus menyelam 5 - 8 meter ke dasar laut untuk mendapatkan udang besar dengan harga fantastis tersebut.

Ia menceritakan, dirinya harus melihat kondisi air terlebih dahulu, apakah keruh ataupun jernih, sehingga jika keruh, kondisi itu yang paling menyulitkan baginya untuk mencari lobster.

“Sangat banyak keluh kesah saat di dalam laut bang, apalagi kita menyelam tidak ada alat khusus dan hanya menggunakan cara tradisional,” jelas Ismail sambil tersenyum.

Anak dari pasangan almarhum Ibrahim dan almarhumah Basyiah tersebut menyampaikan bahwa selain terkendala peralatan ia juga sangat sering dicengkram sama lobster saat memegangnya di dasar laut.

"Cengkeramannya sangat kuat, kalau dicengkeram di baju bisa sobek,” tuturnya.

Ismail menjelaskan hasil tangkapannya di laut juga tidak menentu, terkadang ada 10- 20 ekor yang dia dapatkan dalam semalam, bahkan pernah tidak dapat apa-apa saat ia pulang karena kondisi cuaca yang tidak memungkinkan. 

“Ke laut memang sudah hobi saya, selain hobi juga memang sudah pekerjaan sehari-hari untuk menghidupi sehari-hari,” tutur Ismail.

Saat ini Ismail hanya tinggal sendiri di sebuah cafee berukuran kecil  yang dibuatnya dengan berjualan ikan bakar dan mie lobster.

Baginya mempunyai usaha sendiri lebih baik dari pada berharap dan membebani orang lain.

"Sejak tidak ada orang tua, saya memang lebih suka hidup mandiri, dari pada berharap pada orang lain, karena masa depan kita hanya kita sendiri yang bisa menentukan,” kata Ismail.

Pewarta: Arif Hidayat

Editor : Heru Dwi Suryatmojo


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019