Banda Aceh (ANTARA) - Anan (65) seorang perempuan lanjut usia di Panti Jompo Rumoh Seujahtera Geunaseh Sayang (RSGS) terisak kala mengetahui tidak bisa ikut memberikan suara pada pemilihan umum, Rabu, 14 Februari 2024.
Butiran air mata tampak membasahi bagian dalam kacamatanya. Berkali-kali alat bantu penglihatan berbingkai hitam yang semula bergantung sempurna di pangkal hidung dipindahkan ke kolumela. Tangan kanannya sesekali menarik bagian ujung lembar kerudung, mengelap air mata agar tidak membasahi pipi.
Anan, bukan nama sebenarnya. Nama ini berarti ‘nenek’ dalam bahasa Gayo yang digunakan penulis karena dia tidak ingin nama lengkapnya disebutkan. Anan sendiri berasal dari Aceh Tengah, ia sudah tiga tahun tinggal di griya lansia binaan Dinas Sosial Aceh.
Baca juga: Tiga terdakwa pidana Pemilu dituntut enam bulan penjara, dua diantaranya Caleg Bireuen
RSGS telah menjadi hunian atau griya bagi para lansia sejak 1979. Griya tersebut menampung lansia terlantar karena tidak mempunyai sanak famili ataupun ditolak asuh keluarga. Hunian itu berada di Jalan T. Iskandar Km. 3, Desa Lamglumpang, Ulee Kareng, Kota Banda Aceh. Saat itu, ada 58 orang lansia baik laki-laki maupun perempuan yang bernaung di sana.
“Saya kecewa karena saya tidak pernah golput, sedih saya, rasanya gimana gitu kan,” ujar Anan mengawali percakapan.
Sebelumnya, Anan sudah menanyakan perihal mekanisme pemberian hak suara pemilu pada pertemuan yang dihelat oleh Kepala UPTD RSGS, Intan Melya. Pertemuan dilaksanakan di langgar diikuti oleh para pengasuh beserta lansia.
Dalam pertemuan itu, ia bertanya kepada kepala panti apakah bisa memberikan suara di TPS Lamglumpang sedangkan pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) ia tercatat sebagai warga Aceh Tengah?
“Rame-rame lah kami semua di musala tanya ke ibu kepala. Lalu, ibu kepala tanya lagi ke anak buahnya. Dibilang anak buahnya, nanti mereka (red-KPPS) yang datang kemari untuk bilik kita,” katanya.
Baca juga: Fenomena Pemilu di Aceh: Gagasan Caleg Klise, Strategi Kampanye Tak Edukatif
Jawaban itu membuatnya lega. Apalagi, ia tidak perlu susah payah pulang ke kampung halaman hanya untuk sekadar mencoblos. Pada Selasa siang (13/2), sehari sebelum pemungutan suara, petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Lamglumpang mengantar surat undangan memilih, jumlahnya 12 lembar.
Namun, di antara surat-surat tersebut tidak ada yang ditujukan untuk Anan. Namanya tidak tercatat dalam daftar pemilih.
“Kalau tahu seperti ini saya pulang kemarin itu, biar tidak ada uang pun saya cari. Karena katanya harus ada surat dari sana kan tidak mungkin lagi,” katanya.
“Yasudah lah, sudah kehendak,” tambah Anan.
Meskipun begitu, Anan terus berdoa agar pemimpin yang diinginkan dapat memberikan perubahan bagi masyarakat. Terutama, supaya putri semata wayangnya yang saat ini terpaksa bekerja di negeri Jiran bisa kembali ke Aceh.
Sejak satu tahun lalu, satu-satunya putri dari Anan yang sudah menjanda mencari penghidupan lebih layak ke negara tetangga. Ia rela melangkah ribuan kilometer untuk mengubah nasib dua orang anaknya yang juga cucu Anan.
Kepergian sang putri yang berusia 45 tahun justru membuat Anan sedih, lantaran baru setahun bekerja bobot badan putrinya turun sampai 20 kg. Anan tidak tega, rasanya putrinya tidak sanggup tinggal di sana karena tidak terbiasa melakukan banyak pekerjaan rumah tangga. Namun, kondisi ekonomi memaksanya.
“Saya mohon Anies supaya perubahan ini ada lah. Jangan lagi anak-anak di Aceh harus mencari pekerjaan di luar negeri untuk cari makan. Biarlah ada di Indonesia saja,” harapnya.