Siapa yang tak kenal dengan ikan lele, pasti semua tahu jenis ikan yang satu ini. 

Di Kabupaten Nagan Raya, Aceh, ikan yang satu ini kini semakin menjadi primadona bagi warga lokal maupun kalangan wisatawan.

Betapa tidak, setiap harinya para pelaku usaha kuliner gulai ikan khas Aceh yang menggunakan bahan baku dari ikan lele, harus menyediakan minimal 25 kilogram ikan setiap harinya, untuk memenuhi kebutuhan makan siang para pelanggannya.

Bagi sebagian laki-laki, ikan yang diperoleh dari areal rawa-rawa atau pun sungai kecil di kawasan ini memikiki khasiat tersendiri. Konon, salah satu khasiat dari ikan tersebut diyakini mampu meningkatkan vitalitas bagi kaum Adam.

Sanking terkenalnya, hampir setiap hari, warung kuliner ikan lele khas Aceh yang berlokasi di Jalan Lintas Meulaboh-Tapaktuan, persisnya di persimpangan Bandar Udara Cut Nyak Dhien Nagan Raya yakni di Desa Langkak, Kecamatan Kuala Pesisir nyaris tak pernah sepi dari kunjungan khususnya saat jam makan tiba.

Rata-rata, pengunjung yang datang dan makan di tempat ini adalah para pendatang yang berasal dari sejumlah kabupaten/kota di wilayah pantai barat selatan Aceh, yang secara khusus singgah di kawasan ini.

Tak jarang, para pendatang yang baru saja mendarat di Bandar Udara Cut Nyak Dhien Nagan Raya, juga ikut menikmati makanan khas Aceh yang kini semakin dikenal luas.

Aneka masakan yang disajikan di kawasan ini juga bervariasi, mulai dari ikan gulai khas Aceh, ikan lele bakar hingga digoreng sekali pun, juga tersedia.

Soal harga, dijamin tidak akan merobek kantong anda. Belum lagi rasanya yang gurih dan lezat, diyakini pembaca juga akan ketagihan menikmati kuliner yang satu ini.

Pasalnya, harga satu piring nasi beserta satu ekor ikan lele kuah khas Aceh yang dijual pedagang hanya dihargai sebesar Rp15 ribu/porsi.

Sedangkan untuk jenis ikan lele bakar, harganya dihargai sebesar Rp25 ribu/porsi, karena ukuran ikannya yang berukuran besar dan merupakan ikan pilihan.

Namun untuk jenis ikan tawar lain seperti belut, harga per porsinya dijual Rp20 ribu/porsi plus nasi putih dan sedikit sayuran.

"Saya sudah jualan gulai ikan lele khas Aceh ini sejak tahun 1993," kata pemilik warung, Hj Aminah Azis, seorang pengusaha kuliner ikan lele kepada Antara belum lama ini.

Ia sudah merintis usaha tersebut bersama sang suami bernama Teuku Anwar Cut Aman sejak 25 tahun silam.

Ide untuk membuka usaha kuliner berbahan baku ikan lele ini ia lakukan, karena bisnisnya menjual beras tidak mampu ia tangani seorang diri, karena kala itu sang suami sibuk berdagang ke luar kota untuk menjual aneka kacang-kacangan hingga ke Medan, Sumatera Utara.

Ia berkisah, sejak pertama sekali membuka usaha kuliner ikan lele pada tahun 1993, masakan khas Aceh yang menggunakan banyak rempah dan kunyit serta aneka tumbuhan tersebut sangat diminati warga lokal maupun pendatang.

Sanking suksesnya di bidang kuliner ini, ia telah berhasil menunaikan ibadah haji ke tanah suci dan berhasil membangun lima unit rumah toko, untuk dibagikan kepada masing-masing anaknya.

Aminah menuturkan, bisnis kuliner ini semakin populer ketika masa rekonstruksi Aceh berlangsung paska terjangan gempa bumi dan gelombang tsunami melanda Aceh.

Kala itu, banyak warga asing yang berada di Nagan Raya dan Aceh Barat untuk bekerja sebagai pekerja kemanusiaan.

Saat itu pula, masakan yang ia jual pun laris manis hingga saat ini dan semakin terkenal ke kalangan pendatangan, baik wisatawan lokal maupun ke beberapa negara Asean hingga ke Tiongkok.

"Ada juga penumpang pesawat yang khusus memesan untuk dibungkus, lalu dibawa ke Jakarta menggunakan pesawat udara," tambahnya.

Tak hanya itu, hampir setiap pekan atau beberapa hari sekali, penumpang pesawat yang datang dari Malaysia, secara khusus datang dan singgah ke warung nasi miliknya untuk menikmati gulai ikan lele khas  Aceh.

Selain warga negeri jiran, kini ia juga memiliki pelanggan tetap yang merupakan warga negara Tiongkok (China), yang bekerja di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Nagan Raya yang menetap di Suak Puntong, Kecamatan Kuala Pesisir.

Uniknya, warga Tiongkok yang datang ke warung tersebut hanya makan nasi sedikit saja. Sisanya, mereka malah memesan ikan lele dalam jumlah banyak dalam satu porsi piring.

"Warga Tiongkok senang, karena ikan air tawar ini kaya proteinnya," jelas Aminah.

Agar pelanggannya tidak kecewa, Hj Aminah mengaku harus menyediakan stok ikan segar lele paling sedikit 25 kilogram setiap harinya guna memenuhi kebutuhan konsumen.

"Kalau stoknya dibawah 25 kilogram, gulai ikan lele hanya tersedia cukup untuk jam makan siang saja. Kalau untuk makan malam, pasti tak akan ada yang tersisa," ujarnya.

Untuk menyiasati agar stok ikan air tawar ini selalu ada, ia mengaku sudah memiliki agen pengepul yang setiap hari mengantar ikan lele dalam kondisi segar dan berasal dari rawa-rawa.

Karena apabila bahan baku yang digunakan jenis ikan lele hasil peternakan, ia mengaku takkan ada konsumen yang mau membelinya.

"Ikan-ikan ini saya terima dalam kondisi hidup, tidak boleh dalam keadaan sudah mati. Kalau sudah mati duluan, pasti rasanya tidak akan segar lagi," jelasnya.

Agar ikan tersebut tetap hidup, ia juga berinisiatif untuk membangun sebuah kolam penampungan sekaligus menjaga stok agar selalu terjaga. 

Aminah yakin, usaha kuliner ikan lele khas Aceh yang sudah ia geluti selama puluhan tahun silam ini, membawa keberkahan tersendiri bagi ia dan keluarga.

Meski saat ini kawasan Langkak, Nagan Raya terus tumbuh bisnis rumah makan khas Aceh yang menjual ikan lele, ia tetap bersyukur karena pelanggan yang datang setiap hari ke warungnya itu selalu saja ramai.

"Yang penting kita usaha, untuk hasil kita serahkan saja kepada Allah swt," kata Hj Aminah mengakhiri wawancara.

Pewarta: T Dedi Iskandar

Editor : Heru Dwi Suryatmojo


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019