Ombudsman Republik Indonesia menyarankan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membuat alternatif lain sistem zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), terutama untuk daerah yang belum menerapkan sistem tersebut secara dalam jaringan.
"Skenario atau alternatif ini perlu dibuat sebelum penerapan sistem zonasi PPDB, karena tidak semua daerah sudah 'online' atau memiliki kualitas jaringan internet yang baik," kata Anggota Ombudsman RI Ahamd Suadi di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan masukan kepada Kemendikbud tersebut mencuat setelah adanya berbagai temuan di beberapa daerah yang terkendala dalam menerapkan sistem zonasi PPDB Tahun Ajaran 2019/2020.
Menurut dia, dengan adanya alternatif yang dibuat oleh pemerintah melalui satuan pendidikan maka masalah tersebut dapat diminimalisasi saat penerimaan calon peserta didik.
Selain itu, ia juga mempertanyakan masih banyak sekolah di sejumlah daerah yang tidak siap dalam penerapan sistem zonasi PPDB yang akibatnya terjadi antrean panjang saat proses pendaftaran anak didik.
Seharusnya, kata dia, dengan adanya sistem zonasi PPBD berbasis daring, pihak sekolah sudah bisa memetakan siapa saja calon murid yang akan diterima, termasuk wilayah domisili.
"Minimal dua bulan sudah tahu, karena ada data yang lengkap dan sistem zonasi dengan cara 'online'," katanya.
Tidak siapnya sejumlah sekolah dalam menerapkan sistem zonasi PPDB Tahun Ajaran 2019/2020 dinilainya sebagai akibat sekolah dan Dinas Pendidikan setempat kurang berkoordinasi.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Muhajir Effendy mengatakan seharusnya setiap satuan pendidikan sudah bisa memetakan siapa saja calon anak didik yang akan masuk pada tahun ajaran berikutnya.
Sebetulnya, ujar dia, proses PPDB itu cukup simpel, hanya saja kebiasaan masyarakat suka mengulur-ulur waktu sehingga kelabakan mendekati hari terakhir pendaftaran anak didik.
"Ini soal mental masyarakat orang Indonesia yang harus diubah, termasuk mental berburu sekolah favorit," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019
"Skenario atau alternatif ini perlu dibuat sebelum penerapan sistem zonasi PPDB, karena tidak semua daerah sudah 'online' atau memiliki kualitas jaringan internet yang baik," kata Anggota Ombudsman RI Ahamd Suadi di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan masukan kepada Kemendikbud tersebut mencuat setelah adanya berbagai temuan di beberapa daerah yang terkendala dalam menerapkan sistem zonasi PPDB Tahun Ajaran 2019/2020.
Menurut dia, dengan adanya alternatif yang dibuat oleh pemerintah melalui satuan pendidikan maka masalah tersebut dapat diminimalisasi saat penerimaan calon peserta didik.
Selain itu, ia juga mempertanyakan masih banyak sekolah di sejumlah daerah yang tidak siap dalam penerapan sistem zonasi PPDB yang akibatnya terjadi antrean panjang saat proses pendaftaran anak didik.
Seharusnya, kata dia, dengan adanya sistem zonasi PPBD berbasis daring, pihak sekolah sudah bisa memetakan siapa saja calon murid yang akan diterima, termasuk wilayah domisili.
"Minimal dua bulan sudah tahu, karena ada data yang lengkap dan sistem zonasi dengan cara 'online'," katanya.
Tidak siapnya sejumlah sekolah dalam menerapkan sistem zonasi PPDB Tahun Ajaran 2019/2020 dinilainya sebagai akibat sekolah dan Dinas Pendidikan setempat kurang berkoordinasi.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Muhajir Effendy mengatakan seharusnya setiap satuan pendidikan sudah bisa memetakan siapa saja calon anak didik yang akan masuk pada tahun ajaran berikutnya.
Sebetulnya, ujar dia, proses PPDB itu cukup simpel, hanya saja kebiasaan masyarakat suka mengulur-ulur waktu sehingga kelabakan mendekati hari terakhir pendaftaran anak didik.
"Ini soal mental masyarakat orang Indonesia yang harus diubah, termasuk mental berburu sekolah favorit," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019