Wakil Bupati Aceh Barat Daya, Muslizar mengemukakan, program Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) barat-selatan sangat cocok ditempatkan di Teluk Surin, Kuala Batee, karena kawasan tersebut pernah menjadi pintu gerbang ekonomi ke penjuru dunia.

“Abdya itu dahulu pada masa kerajaan Kuala Batu merupakan pintu gerbang ekonomi ke penjuru dunia. Kapal-kapal Inggris, Portugis dan Amerika pernah berlabuh di kawasan Surin untuk membeli lada dan rempah-rempah pada petani,” katanya saat dihubungi Antara di Blangpidie, Sabtu.

Wabup Muslizar menceritakan hal tersebut ketika ditanya terkait gagasan Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah untuk membuka Kawasan Ekonomi Khusus di wilayah barat-selatan Aceh yang calon lokasinya telah ditetapkan dua tempat, yakni di Calang, Aceh Jaya dan Teluk Surin, Kuala Batee, Abdya.

Baca juga: Bupati Aceh Barat dukung pembangunan KEK di Pantai Barat Aceh

“Masyarakat berharap agar Bapak Gubernur Aceh menempatkan KEK barat-selatan itu di Teluk Surin. Selain berada di tengah-tengah delapan kabupaten/kota. Kawasan teluk Surin Kuala Batee itu juga punya sejarah perdagangan lada dan rempah-rempah ke penjuru dunia,” tuturnya.

Ia menyatakan, bukti sejarah Abdya pernah menjadi pintu gerbang ekonomi dunia semasa kerajaan Kuala Batu masih ada sampai sekarang di Desa Lama Tuha, sebuah monumen milik Amerika Serikat tertulis dengan bahasa Inggris kuno di komplek perkarangan SD Dusun Lama Muda.

Cerita Wabup Abdya tersebut sangat sinkron dengan apa yang pernah disampaikan oleh mantan Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry, Prof Dr Farish A Noor dalam sebuah diskusi di Banda Aceh tahun 2014 lalu.

Baca juga: Gubernur pastikan Abdya dan Aceh Jaya calon KEK barat-selatan

Kala itu Prof Dr Farish A Noor tidak membahas terlalu detail terkait perdagangan lada dan rempah-rempah. Beliau lebih menitik beratkan membahas tentang sejarah serangan Amerika Serikat terhadap kerajaan Quallah Battoo (Kuala Batee) di Kabupaten Abdya.

Berdasarkan hasil penilitian dari klipingan surat kabar New York Observer, Farish A Noor menceritakan, serangan balasan Amerika Serikat berawal dari pembajakan dan pembantaian ABK Prienship tahun 1831. Dimana kapal yang dipimpin Charles Endicott datang ke Kuala Batee Abdya untuk mendapatkan satu kargo lada hitam pada tanggal 7 Februari 1831.

Kapal yang dipimpin Charles Endicott berlabuh dilepas pantai Lama Muda (teluk Surin). Penduduk asli dengan menggunakan perahu menyerang kapal hingga terbunuhnya seorang perwira bersama dua ABK lainnya. Sementara, Charles Endicott berhasil pulang ke Amerika Serikat setelah diselamatkan oleh Poh Adam (orang tuha kerjaan Quallah Batoo saat itu).

Baca juga: Empat kabupaten ini berpotensi jadi pusat KEK barat-selatan Aceh

Setelah  Charles Endicott tiba di negerinya, Amerika Serikat ketika itu menjadi gempar dan Presiden Amerika  waktu Andrew Jakson memerintahkan kapal Potomac yang dipimpin Komodor John Downes untuk melakukan serangan balasan terhadap Kerajaan Kuala Batee pada tanggal 5 Februari 1832.

Setelah Potomac milik Amerika menyamar menjadi kapal dagang Denmark akhirnya masuk ke wilayah perairan laut Kuala Batee. Saat negosiasi perdagangan, John Dwnes menahan penduduk pribumi di atas kapal dan meminta ganti rugi atas Kapal Prienship yang setahun sebelumnya dibajak.

Berhubung masyarakat tidak mau mengganti rugi, akhirnya  pertempuran terjadi dengan memakan korban jiwa kedua belah pihak dan Amerika mengembar gemborkan peperangan itu sebagai invansi sumatera pertama.

Baca juga: Strategis, Pospera Abdya dukung Abdya jadi KEK barat selatan Aceh

"Kala itu Amerika hendak melakukan pemilihan umum. Konstalasi politik terjadi akibat serangan itu, karena surat kabar yang partisan kerap mengambil sisi lain untuk menjatuhkan Presiden Andrew Jakson," tuturnya.

Farish memiliki satu kliping koran New York Observer yang menyiarkan kemenangan invansi Amerika terhadap Kuala Batee. Namun, koran tersebut mengangkat tema Amerika Serikat membunuh perempuan kerajaan Quaalah Battoo Sumatera.

"Pembunuhan wanita sangat berpengaruh terhadap politik Amerika saat itu, karena kala itu perempuan di sana dianggap tidak mungkin ikut berperang, sehingga dengan pemberitaan koran Presiden Andrew Jakson menjadi jelek di mata dunia kala itu," katanya.

Baca juga: Aceh Jaya berpeluang jadi KEK pariwisata Aceh

Saat itu Farish mengaku belum pernah datang ke Kuala Batee. Ia mengetahui sejarah perdagangan lada dan serangan infanteri Amerika Serikat terhadap masyarakat Kuala Batee (Quallah Battoo) dari selembar kliping Surat Kabar New York Observer yang kini bernama Washington Post.

 

Pewarta: Suprian

Editor : Heru Dwi Suryatmojo


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019