Foto: AntaraAceh/AmpelsaBanda Aceh, 28/11 (Antara) - Tidak terasa pemberlakukan syariat Islam di Provinsi Aceh sudah berlangsung hampir 12 tahun, sejak dicanangkan tahun 2001. Dasar hukum pelaksanaan syariat Islam Undang-undang No 44 tahun 1999 dan UU No 18 tahun 2001. Dalam UU No 44 syariat Islam didefinisikan sebagai semua aspek ajaran Islam, sedangkan dalam UU No.18 disebutkan bahwa Mahkamah Syar’iyah akan melaksanakan syariat Islam. Dalam perjalanannya, pelaksanaan syariat Islam dinilai masih belum maksimal, karena masih sebatas razia pakaian ketat wanita dan tempat-tempat hiburan malam. Penilaian miring tersebut ternyata tidak membuat kendur bagi Pemerintah Kota Banda Aceh untuk tetap konsen menerapkan syariat Islam secara kaffah. Pemko Banda Aceh sangat sadar bahwa dalam pelaksanaan syariat Islam tidak hanya sekedar melakukan razia pakaian ketat bagi wanita, tapi lebih dari itu masyarakat diberi ilmu agama yang banyak, sehingga dengan kesadarannya sendiri bisa menjauhi larangan-larangan agama. Sebagai sebuah kota yang penuh dengan sejarah, khususnya kaitannya dengan Islam, Pemko Banda Aceh bersama-sama warga sepakat untuk menjadikan kota ini sebagai model Kota Madani yang penduduknya beriman dan berakhlak mulia, toleransi dalam perbedaan, taat hukum dan juga kota yang memiliki ruang publik yang luas. Karena itu, Pemko Banda Aceh berkomitmen untuk meningkatkan kualitas pengamalan agama menuju pelaksanaan syariat Islam secara kaffah. Pemko Banda Aceh selama kepemimpinan Mawardy Nurdin dan Illiza Sa'aduddin Djamal banyak melakukan terobosan dan program baik jangka pendek maupun jangka panjang untuk mendukung pelaksanaan syariat Islam. Terkait regulasi, Pemko Banda Aceh membuat sejumlah regulasi dan mengambil keputusan penting sebagai upaya untuk menegakkan syariat dan menanamkan pondasi keislaman di masyarakat. Salah satunya adalah dengan mengeluarkan Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pengawasan Aliran Sesat dan Kegiatan Pendangkalan Aqidah dalam Wilayah Kota Banda Aceh. Langkah ini kemudian disusul dengan membentuk Komite Penguatan Aqidah dan Peningkatan Amalan Islam yang dikukuhkan pada 24 Mei 2011. Kemudian juga disusul Peraturan Walikota Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Akhlak, sebagai wujud komitmen untuk melakukan pembinaan mental spiritual dan memperbaiki akhlak generasi muda yang notabene generasi penerus masa depan agama. Menyinggung bidang pendidikan, Pemerintah Kota telah menjalankan Program Diniyah di Sekolah Umum, pembentukan kelompok Tahfizh Al Quran, gampong (desa) percontohan syariat, dan Program Dakwah ke seluruh gampong. Sebagai contoh, setiap Minggu pagi, Wakil Wali Kota Illiza bersama jajarannya melakukan safari subuh di masjid-masjid. Setelah shalat berjamaah, kemudian diisi dengan ceramah agama. Untuk menambah hubungan silaturrahmi antara umara, ulama, dan warga dilanjutnya dengan ngopi bareng di warung. Kemudian, untuk jangka panjang Pemko Banda Aceh mencetak para Hafiz Al Quran mulai dari tingkat sekolah dasar. "Kita harapkan, para hafiz ini akan menjadi imam-imam di masjid dan menjadi ulama Aceh di masa depan," kata Wakil Wali Kota Illiza. Selain itu, pembinaan bagi mualaf berupa pembekalan ilmu agama, sehingga mereka bisa menunaikan syariat Islam secara menyeluruh. Hotel bersyariatDalam penegakan syariat Islam, Pemko Banda Aceh seperti tidak main-main. Artinya semua lini kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat harus sesuai dengan agama. Tidak terkecuali di hotel dan restoran harus bernuansa Islami, sehingga tidak ada yang namanya diskotik, pub, karoke, dan minuman keras di penginapan. Wakil Wali Kota Illiza sudah mengultimatum pengusaha hotel dan restoran yang dengan sengaja menyediakan sarana untuk berbuat maksiat, maka akan dicabut izin usahanya. "Kita hidup di Banda Aceh tentu harus menghargai tatanan nilai-nilai yang ditegakkan di tengah-tengah masyarakat," kata Illiza. Ultimatum itu disampaikannya karena berdasarkan pemantauan yang dilakukan Pemko Banda Aceh selama ini, beberapa hotel dan restoran ternyata menyediakan sarana untuk berbuat maksiat. Hal itu terbukti, dimana 21 warga yang diduga pelaku prostitusi di ibukota Provinsi Aceh berhasil terjaring razia tim gabungan Pemko Banda Aceh yang terdiri dari Satpol PP, Wilayatul Hisbah (polisi syariat), TNI dan Polri di sejumlah hotel dan warung. "Mereka terjaring sekitar pukul 02.30 WIB hingga pukul 04.30 WIB di hotel, warung dan lokasi yang selama ini dijadikan tempat mangkal untuk bertransaksi seks," kata Illiza. Illiza juga mengungkapkan, saat ini pihaknya sudah menyiapkan tim khusus untuk melakukan pemantauan Bahkan, lanjut dia, pihaknya telah menemukan satu hotel berbintang di Banda Aceh yang para pekerjanya menggunakan pakaian terbuka, dan rambut dicat berwarna. Menurutnya, hal ini sangat merusak citra Kota Banda Aceh sebagai model Kota Madani. Karena itu, tim khusus tersebut nantinya akan melakukan pemantauan secara langsung untuk melihat hotel dan restoran mana yang melakukan pelanggaran syariat. "Secara spesifik kami akan memanggil pemilik hotel apabila ditemukan hal-hal yang melanggar syariah. Kami ingatkan jangan sampai mereka harus menutup usahanya," ujar Illiza. Sementara itu, kalangan ulama mendukung Pemko Banda Aceh menindak tegas terhadap pelaku maksiat, termasuk pengusaha hotel dan restoran yang menyediakan fasilitas bagi kegiatan menjurus kepada pelanggaran syariat Islam. "Saya mendukung langkah-langkah yang dilakukan Pemkot Banda Aceh dan kami berharap bisa diikuti oleh daerah lainnya," kata Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Tgk H Ghazali Mohd Syam. Ghazali menegaskan, pelaksanaan syariat Islam secara kaffah akan berjalan sesuai harapan jika semua pihak memberikan dukungan penuh, termasuk pengusaha hotel dan tempat-tempat lainnya. "Jadi, apa yang telah dilakukan oleh Wakil Wali Kota Banda Aceh itu hendaknya dapat diikuti oleh pemerintah kabupaten dan kota lainnya di Aceh agar tidak memberikan kesempatan bagi pelaku maksiat," katanya menambahkan. Sementara itu, anggota DPRK Banda Aceh M Nasir juga menyatakan dukungan terhadap kebijakan pemerintah setempat yang tidak memberikan ruang kepada pelaku maksiat. "Jangan berikan ruang sedikitpun bagi siapa saja yang melanggar syariat di Kota Banda Aceh. Pelakunya harus ditindak tegas, sehingga tidak merembes luas dan menjadi kebiasaan buruk yang terus terjadi di kota ini," katanya menegaskan. Apalagi, kata dia, Kota Banda Aceh telah ditetapkan sebagai salah satu daerah tujuan wisata Islami. Predikat itu jangan sampai terganggu dengan penyediaan tempat maksiat di hotel atau restoran di Banda Aceh. (Heru Dwi S)
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2013
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2013