Jakarta (ANTARA) - Yayasan Lentera Anak mengajak para perokok pasif untuk berani bersuara menyampaikan ketakutan mereka terhadap bahaya asap rokok supaya mengubah persepsi merokok menjadi asosial.
Meskipun sadar menjadi perokok pasif, namun mayoritas responden sebanyak 84,7 persen tidak menegur langsung perokok untuk berhenti merokok di dekat mereka.
Pada perokok pasif itu hanya menyikapi dengan menutup hidung, menjauh dari asap rokok dan perokok, bahkan diam saja meskipun mengetahui asap rokok berbahaya.
"Berbagai upaya advokasi perlindungan masyarakat dari bahaya rokok terus dilakukan, namun belum terlihat dampak perubahan signifikan," kata Lisda.
Lebih lanjut dia menyampaikan Data Riskesda 2018 menunjukkan jumlah perokok anak meningkat menjadi 9,1 persen atau setara 3,2 juta anak. Bahkan Bappenas memprediksi pada 2030 perokok anak bisa mencapai 15,9 juta di Indonesia pada tahun 2030.
Menurut Lisda, kondisi ini adalah masalah serius bagi masa depan generasi muda di Indonesia mengingat rokok bersifat adiktif dan faktor resiko penyakit tidak menular juga akan menjadi beban ekonomi, sehingga mengancam kualitas sumber daya manusia.
“Kita membutuhkan upaya-upaya lebih serius untuk meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa perokok pasif merupakan bencana tersembunyi karena ketidakberdayaannya," ujar Lisda.
Ketua Perkumpulan Promotor dan Pendidik Kesehatan Masyarakat Indonesia (PPPKMI) Rita Damayanti memandang masyarakat Indonesia masih menganggap merokok sebagai perilaku sosial yang normal.
Dia menjelaskan sikap budaya masyarakat yang sungkan dengan mengedepankan aspek keseimbangan dan ketenangan, sehingga perokok pasif itu sungkan untuk menegur perokok aktif. Padahal, mereka sudah menjadi korban paparan asap rokok.
Rita mengingatkan supaya perokok pasif bisa lebih asertif dan berani bersuara, karena tanpa berdaya, maka para perokok pasif akan terus menjadi korban selamanya.
“Sudah waktunya untuk mengubah perilaku merokok dari yang tadinya dianggap sebagai perilaku sosial menjadi perilaku asosial,” pungkasnya