Banda Aceh (ANTARA) - Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Perwakilan Aceh menilai inisiatif pemerintah Aceh membentuk satuan tugas khusus (Satgassus) penertiban tambang ilegal merupakan langkah tepat untuk melindungi lingkungan Aceh.
"Satgassus penertiban tambang ilegal adalah langkah yang tepat dan strategis untuk menegakkan aturan pertambangan sekaligus melindungi lingkungan hidup," kata Sekjen Perhapi Aceh, Muhammad Hardi, di Banda Aceh, Rabu.
Sebelumnya, Pemerintah Aceh bersama Forkopimda telah sepakat membentuk tim Satgassus untuk penertiban pertambangan ilegal yang ada di tanah rencong agar terkelola lebih baik.
Selain itu, juga telah dikeluarkan Instruksi Gubernur (Ingub) Aceh Nomor 08/INSTR/2025 tentang Penataan dan Penertiban Perizinan/Non Perizinan Berusaha Sektor Sumber Daya Alam.
Baca: Polda Aceh siap dukung pembentukan WPR cegah penambangan ilegal
Perhapi meminta, Satgassus yang dibentuk tidak hanya sebatas menutup lokasi tambang atau menarik alat berat dari hutan Aceh, tetapi juga wajib menjalankan pendekatan secara menyeluruh.
"Satgassus yg dibentuk harus bekerja dengan basis data dan teknologi, bukan sekadar penertiban sesaat. Jika tidak, tambang ilegal akan muncul lagi di lokasi yang sama atau berpindah,” ujarnya.
M Hardi menyarankan, adapun langkah konkret yang bisa dilaksanakan tim Satgassus adalah, harus lebih dulu menentukan detail area terdampak akibat aktivitas tambang ilegal berbasis teknologi dan resiko per kabupaten/kota.
Data ini sangat penting untuk menentukan prioritas, terutama pada titik-titik yang berada di kawasan hutan lindung dan kawasan ekosistem Leuser yang sudah tercatat mengalami kerusakan ribuan hektare.
Satgassus ini, harus bekerja dengan basis data dan teknologi, seperti pemanfaatan citra satelit, drone, dan GIS bisa memberi gambaran detail area terdampak, sehingga kerusakan lingkungan dapat dipetakan secara presisi hingga ke level desa.
"Tanpa data akurat, kita hanya menebak-nebak skala kerusakan,” katanya.
Selain itu, lanjut Hardi, Satgassus yang dibentuk harus melibatkan pihak-pihak kompeten secara multidisiplin. Misalnya Dinas ESDM sebagai leading sektor, DLHK/KLHK untuk aspek lingkungan dan kehutanan, APH untuk memastikan konsistensi penindakan.
Kemudian, inspektur tambang untuk aspek teknis dan keselamatan, dan akademisi dan organisasi profesi untuk memberikan kajian ilmiah.
Selain itu, keterlibatan masyarakat sipil, seperti WALHI atau LSM lingkungan lainnya, juga penting agar basis data lapangan lebih akurat, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Baca: Mualem ultimatum tambang emas ilegal keluar dari hutan Aceh
"Dinas ESDM Aceh perlu memimpin penuh Satgassus, sementara unsur lain ditempatkan sebagai mitra aktif. Tanpa kepemimpinan teknis dari sektor ESDM, Satgassus berisiko hanya menjadi reaktif, bukan solutif,” ujarnya.
Tak hanya itu, Perhapi juga menyarankan pemerintah untuk membuka jalur legalisasi penambang rakyat melalui skema izin pertambangan rakyat (IPR). Sejalan dengan amanat UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 dan PP 96/2021, dan akan menjadi solusi jangka panjang untuk menekan praktik tambang ilegal.
Dengan kewenangan khusus yang dimiliki Aceh sesuai UU 11 Tahun 2006, pastinya penetapan wilayah tambang rakyat ini dapat diwujudkan.
"Kita tidak bisa hanya melarang. Negara dalam hal ini Pemda wajib memberi ruang legal bagi penambang rakyat melalui IPR agar mereka bisa bekerja dengan aman, memenuhi aturan, dan tetap menjaga kelestarian lingkungan,” demikian M Hardi.
Baca: Tambang Emas di Abdya: Ancaman Nyata terhadap Lingkungan, Kesehatan, dan Hak Masyarakat
