Satgassus ini, harus bekerja dengan basis data dan teknologi, seperti pemanfaatan citra satelit, drone, dan GIS bisa memberi gambaran detail area terdampak, sehingga kerusakan lingkungan dapat dipetakan secara presisi hingga ke level desa.
"Tanpa data akurat, kita hanya menebak-nebak skala kerusakan,” katanya.
Selain itu, lanjut Hardi, Satgassus yang dibentuk harus melibatkan pihak-pihak kompeten secara multidisiplin. Misalnya Dinas ESDM sebagai leading sektor, DLHK/KLHK untuk aspek lingkungan dan kehutanan, APH untuk memastikan konsistensi penindakan.
Kemudian, inspektur tambang untuk aspek teknis dan keselamatan, dan akademisi dan organisasi profesi untuk memberikan kajian ilmiah.
Selain itu, keterlibatan masyarakat sipil, seperti WALHI atau LSM lingkungan lainnya, juga penting agar basis data lapangan lebih akurat, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Baca: Mualem ultimatum tambang emas ilegal keluar dari hutan Aceh
"Dinas ESDM Aceh perlu memimpin penuh Satgassus, sementara unsur lain ditempatkan sebagai mitra aktif. Tanpa kepemimpinan teknis dari sektor ESDM, Satgassus berisiko hanya menjadi reaktif, bukan solutif,” ujarnya.
Tak hanya itu, Perhapi juga menyarankan pemerintah untuk membuka jalur legalisasi penambang rakyat melalui skema izin pertambangan rakyat (IPR). Sejalan dengan amanat UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 dan PP 96/2021, dan akan menjadi solusi jangka panjang untuk menekan praktik tambang ilegal.
Dengan kewenangan khusus yang dimiliki Aceh sesuai UU 11 Tahun 2006, pastinya penetapan wilayah tambang rakyat ini dapat diwujudkan.
"Kita tidak bisa hanya melarang. Negara dalam hal ini Pemda wajib memberi ruang legal bagi penambang rakyat melalui IPR agar mereka bisa bekerja dengan aman, memenuhi aturan, dan tetap menjaga kelestarian lingkungan,” demikian M Hardi.
Baca: Tambang Emas di Abdya: Ancaman Nyata terhadap Lingkungan, Kesehatan, dan Hak Masyarakat
