Lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) Aceh Jaya menyatakan, sekelompok orang lanjut usia (lansia) yang berumur mulai 50 hingga 82 tahun, dan mayoritas kalangan perempuan masih menjadi santri di Dayah (Pesantren) Darul Arifin Al-Abati, Aceh Jaya.
"Mereka (santri lansia) berada di dayah dan belajar, karena ingin menyelamatkan shalat berjamaah. Dengan bersama, mereka menjadi semangat beribadah," ucap Pengurus Dayah Darul Arifin Al-Abati, Maturidi melalui sambungan telepon seluler di Langsa, Kamis.
Maturidi yang juga Ketua Masyarakat Relawan Indonesia (MRI) Aceh Jaya-ACT Aceh ini melanjutkan, setiap hari mereka diantar mengaji oleh anak, cucu, atau kerabatnya ke dayah tersebut.
Bahkan, ia mengaku, kerap kali menawarkan tumpangan menggunakan kendaraan roda empat miliknya untuk mengantarkan pulang para santri lansia, seperti di malam hari.
Baca juga: ACT Jawa Timur kembali salurkan beras santri
Pesantren tersebut didirikan oleh ulama besar Aceh dari daerah pantai barat selatan, yakni Syekh H Hasan Al-Abati sekitar tahun 1963 yang terkenal dengan tarikat Nahsyabandi.
Syekh Hasan merupakan murid langsung dari ulama besar Aceh, yaitu Abuya Muda Wali Al-Khalidi. Keduanya berbesanan setelah anak dari Syekh Hasan, dan Abuya Muda Wali menjalin ikatan pernikahan. Syekh Hasan juga merupakan satu angkatan dalam belajar agama dengan Abon Aziz Samalanga.
"Meski sudah berusia senja, tapi semangat mereka menimba ilmu di dayah yang terletak di Jalan Syech H Hasan Abati, Gampong (Desa) Lhuet, Kecamatan Jaya, Aceh Jaya, seakan tidak lekang oleh waktu," katanya.
Ia menuturkan, pesantren tersebut memang diupayakan bisa mengakomodir santri lansia yang ingin menetap di dayah demi optimalnya mereka beribadah. Salah satu di antaranya, hati pengurus dayah sangat tersentuh di kala mendengar ungkapan hati salah seorang santri lansia.
"Hai, meskipun kami sudah tua. Tetapi, kami ingin tetap belajar. Dengan bersama-sama, kami bisa melakukan banyak hal. Kalau misalnya sakit, juga ada yang melihat," ungkap Maturidi menirukan ucapan santri tersebut.
Baca juga: ACT beri santunan Rp100 juta kepada keluarga pemain Timnas Alfin Lestaluhu
Aktivitas belajar mengajar dilakukan sepekan tiga hari, yakni setiap Senin malam, Selasa siang, dan Kamis malam berlangsung di musholla berukuran 20x20 meter yang sudah berusia lebih dari setengah abad.
Musholla tersebut dibangun tanpa pondasi, dan kini kondisinya bagian atapnya telah bocor, lantainya sudah lebih rendah dari tanah dengan ukuran sekitar 30 centimeter lebih rendah dari teras, dindingnya telah keropos, plafonnya sudah rusak, dan jarak antara tinggi lantai dengan plafon mencapai 2,5 meter.
"Suatu ketika di malam hari, hujan turun sangat lebat. Jamaah sedang melaksanakan Sholat Maghrib dengan khusyuk. Ternyata air hujan telah merembes ke dalam musholla. Air menggenangi lantai setinggi mata kaki jamaah. Semua sajadah, dan kitab suci Alquran basah. Tapi jamaah tetap larut dalam ibadah salat hingga selesai," tutur Maturidi, mengenang.
Baca juga: MRI Aceh: Relawan merupakan orang peka memiliki kepedulian sesama
Tapi santri lansia ini tetap belajar terutama tentang akhlak, salawatan, tawajjuh, hingga meresapi masa tua. Tidak cuma itu saja, mereka juga diajak untuk membiasakan diri bersedekah sebelum menunaikan Sholat Duha di pagi hari minimal Rp1.000. Bila mereka tidak punya uang, maka pihak dayah memberikan mereka uang agar disedekahkan.
Dalam sebulan sekali pihak dayah bekerjasama dengan pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) setempat mendatangkan dokter guna mengecek kesehatan santri lansia, dan mengajak mereka berolahraga ringan di antaranya membersihkan lingkungan dayah di waktu pagi.
Ia mengaku, dahulu masih terdapat beberapa orang santri lansia yang menginap di dayah didirikan oleh Syekh Hasan. Ada lima kamar menginap, tiga kamar mandi, dan satu dapur yang bisa digunakan. Tetapi hal ini mustahil dilaksanakan kembali, karena dayah tidak lagi memiliki biaya operasional.
Baca juga: Syekh Palestina bimbing pemuda Nias masuk Islam
Para dermawan dapat ikut serta mengulurkan bantuannya untuk Dayah Darul Arifin Al-Abati di Aceh Jaya. Bantuan dapat diberikan melalui Bank Aceh Syariah 010 0193 000 9205, BNI Syariah 66 00011 008, dan Bank Syariah Mandiri 7089 7860 23 atas nama Aksi Cepat Tanggap. Hubungi ACT Aceh di nomor telepon 0651-7315352, WhatsApp 0822 8326 9008 atau datang langsung ke Kantor ACT Aceh di Jalan Tgk M Daud Beureueh, No.46, Gampong Keuramat, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh.
"Dayah ini pernah vakum dari aktivitas selama setahun, akibat tidak adanya biaya. Sekarang, saya bersama pengurus sedang berupaya mengembangkan kembali dayah ini," ujarnya.
Pengurus dayah ingin membangun musholla baru dan menutupi biaya operasional melalui semangat kedermawanan, sehingga keinginan santri lansia belajar dan beribadah kembali terpenuhi.
"Mudah-mudahan, semangat kedermawanan kita tergerak mendukung jalan aktivitas belajar mengajar di dayah warisan ulama besar Aceh ini," terang Ketua MRI Aceh Jaya-ACT Aceh ini.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019
"Mereka (santri lansia) berada di dayah dan belajar, karena ingin menyelamatkan shalat berjamaah. Dengan bersama, mereka menjadi semangat beribadah," ucap Pengurus Dayah Darul Arifin Al-Abati, Maturidi melalui sambungan telepon seluler di Langsa, Kamis.
Maturidi yang juga Ketua Masyarakat Relawan Indonesia (MRI) Aceh Jaya-ACT Aceh ini melanjutkan, setiap hari mereka diantar mengaji oleh anak, cucu, atau kerabatnya ke dayah tersebut.
Bahkan, ia mengaku, kerap kali menawarkan tumpangan menggunakan kendaraan roda empat miliknya untuk mengantarkan pulang para santri lansia, seperti di malam hari.
Baca juga: ACT Jawa Timur kembali salurkan beras santri
Pesantren tersebut didirikan oleh ulama besar Aceh dari daerah pantai barat selatan, yakni Syekh H Hasan Al-Abati sekitar tahun 1963 yang terkenal dengan tarikat Nahsyabandi.
Syekh Hasan merupakan murid langsung dari ulama besar Aceh, yaitu Abuya Muda Wali Al-Khalidi. Keduanya berbesanan setelah anak dari Syekh Hasan, dan Abuya Muda Wali menjalin ikatan pernikahan. Syekh Hasan juga merupakan satu angkatan dalam belajar agama dengan Abon Aziz Samalanga.
"Meski sudah berusia senja, tapi semangat mereka menimba ilmu di dayah yang terletak di Jalan Syech H Hasan Abati, Gampong (Desa) Lhuet, Kecamatan Jaya, Aceh Jaya, seakan tidak lekang oleh waktu," katanya.
Ia menuturkan, pesantren tersebut memang diupayakan bisa mengakomodir santri lansia yang ingin menetap di dayah demi optimalnya mereka beribadah. Salah satu di antaranya, hati pengurus dayah sangat tersentuh di kala mendengar ungkapan hati salah seorang santri lansia.
"Hai, meskipun kami sudah tua. Tetapi, kami ingin tetap belajar. Dengan bersama-sama, kami bisa melakukan banyak hal. Kalau misalnya sakit, juga ada yang melihat," ungkap Maturidi menirukan ucapan santri tersebut.
Baca juga: ACT beri santunan Rp100 juta kepada keluarga pemain Timnas Alfin Lestaluhu
Aktivitas belajar mengajar dilakukan sepekan tiga hari, yakni setiap Senin malam, Selasa siang, dan Kamis malam berlangsung di musholla berukuran 20x20 meter yang sudah berusia lebih dari setengah abad.
Musholla tersebut dibangun tanpa pondasi, dan kini kondisinya bagian atapnya telah bocor, lantainya sudah lebih rendah dari tanah dengan ukuran sekitar 30 centimeter lebih rendah dari teras, dindingnya telah keropos, plafonnya sudah rusak, dan jarak antara tinggi lantai dengan plafon mencapai 2,5 meter.
"Suatu ketika di malam hari, hujan turun sangat lebat. Jamaah sedang melaksanakan Sholat Maghrib dengan khusyuk. Ternyata air hujan telah merembes ke dalam musholla. Air menggenangi lantai setinggi mata kaki jamaah. Semua sajadah, dan kitab suci Alquran basah. Tapi jamaah tetap larut dalam ibadah salat hingga selesai," tutur Maturidi, mengenang.
Baca juga: MRI Aceh: Relawan merupakan orang peka memiliki kepedulian sesama
Tapi santri lansia ini tetap belajar terutama tentang akhlak, salawatan, tawajjuh, hingga meresapi masa tua. Tidak cuma itu saja, mereka juga diajak untuk membiasakan diri bersedekah sebelum menunaikan Sholat Duha di pagi hari minimal Rp1.000. Bila mereka tidak punya uang, maka pihak dayah memberikan mereka uang agar disedekahkan.
Dalam sebulan sekali pihak dayah bekerjasama dengan pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) setempat mendatangkan dokter guna mengecek kesehatan santri lansia, dan mengajak mereka berolahraga ringan di antaranya membersihkan lingkungan dayah di waktu pagi.
Ia mengaku, dahulu masih terdapat beberapa orang santri lansia yang menginap di dayah didirikan oleh Syekh Hasan. Ada lima kamar menginap, tiga kamar mandi, dan satu dapur yang bisa digunakan. Tetapi hal ini mustahil dilaksanakan kembali, karena dayah tidak lagi memiliki biaya operasional.
Baca juga: Syekh Palestina bimbing pemuda Nias masuk Islam
Para dermawan dapat ikut serta mengulurkan bantuannya untuk Dayah Darul Arifin Al-Abati di Aceh Jaya. Bantuan dapat diberikan melalui Bank Aceh Syariah 010 0193 000 9205, BNI Syariah 66 00011 008, dan Bank Syariah Mandiri 7089 7860 23 atas nama Aksi Cepat Tanggap. Hubungi ACT Aceh di nomor telepon 0651-7315352, WhatsApp 0822 8326 9008 atau datang langsung ke Kantor ACT Aceh di Jalan Tgk M Daud Beureueh, No.46, Gampong Keuramat, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh.
"Dayah ini pernah vakum dari aktivitas selama setahun, akibat tidak adanya biaya. Sekarang, saya bersama pengurus sedang berupaya mengembangkan kembali dayah ini," ujarnya.
Pengurus dayah ingin membangun musholla baru dan menutupi biaya operasional melalui semangat kedermawanan, sehingga keinginan santri lansia belajar dan beribadah kembali terpenuhi.
"Mudah-mudahan, semangat kedermawanan kita tergerak mendukung jalan aktivitas belajar mengajar di dayah warisan ulama besar Aceh ini," terang Ketua MRI Aceh Jaya-ACT Aceh ini.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019