Sedikitnya dua puluh warga Rohingya meninggal dunia di atas kapal yang terombang-ambing selama berminggu-minggu setelah gagal mencapai Malaysia, kata petugas penjaga pantai Bangladesh, Kamis, setelah 382 orang yang kelaparan diselamatkan dari kapal.
Sebuah kelompok hak asasi manusia mengatakan mereka yakin ada lebih banyak kapal yang mengangkut warga Rohingya, kelompok minoritas Muslim dari Myanmar, yang berada di laut, karena karantina wilayah akibat virus corona di Malaysia dan Thailand mempersulit mereka untuk mencari perlindungan.
Penjaga pantai Bangladesh mengatakan kapal itu ditarik ke pantai pada Rabu malam (15/4).
Baca juga: Ibu hamil Rohingya tewas dalam serbuan militer Myanmar
"Mereka berada di laut selama sekitar dua bulan dan kelaparan," salah satu pejabat penjaga pantai kepada Reuters dalam sebuah pesan.
Sebanyak 382 orang yang selamat akan dikirim ke Myanmar, kata pejabat itu.
Rekaman video menunjukkan kerumunan sebagian besar wanita dan anak-anak, beberapa diantaranya tubuhnya setipis tongkat dan tidak mampu berdiri, dibantu ke pantai.
Baca juga: Mahkamah Internasional akan keluarkan putusan terhadap Myanmar
Seorang lelaki kurus berbaring di pasir. Seorang pengungsi mengatakan kepada wartawan bahwa mereka telah kembali dari Malaysia tiga kali.
Rohingya tidak diakui sebagai warga negara Myanmar yang mayoritas beragama Buddha dan mereka mengeluhkan penganiayaan. Namun, Myanmar membantah menganiaya Rohingya dan mengatakan mereka bukan kelompok etnis asli tetapi merupakan pendatang dari Asia Selatan.
Baca juga: Empat bocah Rohingya tewas dalam ledakan ranjau darat di Rakhine
Lebih dari satu juta tinggal di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh selatan, mayoritas telah diusir dari rumah mereka di Myanmar setelah penumpasan militer 2017 yang dikatakan tentara sebagai respon terhadap serangan oleh pemberontak Rohingya.
Selama bertahun-tahun, warga Rohingya telah menggunakan kapal yang dioperasikan oleh penyelundup dengan harapan menemukan tempat perlindungan di Asia Tenggara. Perjalanan biasanya berlangsung pada musim kemarau, antara November dan Maret, ketika laut tenang.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia khawatir karantina wilayah sebagai tanggapan terhadap virus corona dapat menyebabkan terulangnya krisis pada 2015, ketika kerusuhan oleh Thailand mengakibatkan penyelundupan manusia melalui laut di atas kapal-kapal yang reyot.
Chris Lewa, direktur Arakan Project, mengatakan dia yakin beberapa kapal lagi terdampar.
"Rohingya mungkin menghadapi perbatasan tertutup yang didukung oleh narasi xenophobia," katanya dalam sebuah pesan.
"COVID-19 tidak dapat digunakan untuk menolak akses masuk bagi para pengungsi yang putus asa dalam kesusahan. Krisis maritim lain di Laut Andaman seperti pada 2015 tidak dapat diterima."
Seorang pejabat polisi di negara bagian Kedah, Malaysia, mengatakan kepada Reuters beberapa kapal berusaha mencapai pantai negara itu dan pemantauan telah ditingkatkan.
Seorang pejabat polisi di Thailand selatan mengatakan lima kapal yang membawa Rohingya telah ditemukan di lepas pantai provinsi Satun pada Senin malam. Tidak mungkin untuk mengkonfirmasi hal ini secara independen.
Sumber: Reuters
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2020
Sebuah kelompok hak asasi manusia mengatakan mereka yakin ada lebih banyak kapal yang mengangkut warga Rohingya, kelompok minoritas Muslim dari Myanmar, yang berada di laut, karena karantina wilayah akibat virus corona di Malaysia dan Thailand mempersulit mereka untuk mencari perlindungan.
Penjaga pantai Bangladesh mengatakan kapal itu ditarik ke pantai pada Rabu malam (15/4).
Baca juga: Ibu hamil Rohingya tewas dalam serbuan militer Myanmar
"Mereka berada di laut selama sekitar dua bulan dan kelaparan," salah satu pejabat penjaga pantai kepada Reuters dalam sebuah pesan.
Sebanyak 382 orang yang selamat akan dikirim ke Myanmar, kata pejabat itu.
Rekaman video menunjukkan kerumunan sebagian besar wanita dan anak-anak, beberapa diantaranya tubuhnya setipis tongkat dan tidak mampu berdiri, dibantu ke pantai.
Baca juga: Mahkamah Internasional akan keluarkan putusan terhadap Myanmar
Seorang lelaki kurus berbaring di pasir. Seorang pengungsi mengatakan kepada wartawan bahwa mereka telah kembali dari Malaysia tiga kali.
Rohingya tidak diakui sebagai warga negara Myanmar yang mayoritas beragama Buddha dan mereka mengeluhkan penganiayaan. Namun, Myanmar membantah menganiaya Rohingya dan mengatakan mereka bukan kelompok etnis asli tetapi merupakan pendatang dari Asia Selatan.
Baca juga: Empat bocah Rohingya tewas dalam ledakan ranjau darat di Rakhine
Lebih dari satu juta tinggal di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh selatan, mayoritas telah diusir dari rumah mereka di Myanmar setelah penumpasan militer 2017 yang dikatakan tentara sebagai respon terhadap serangan oleh pemberontak Rohingya.
Selama bertahun-tahun, warga Rohingya telah menggunakan kapal yang dioperasikan oleh penyelundup dengan harapan menemukan tempat perlindungan di Asia Tenggara. Perjalanan biasanya berlangsung pada musim kemarau, antara November dan Maret, ketika laut tenang.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia khawatir karantina wilayah sebagai tanggapan terhadap virus corona dapat menyebabkan terulangnya krisis pada 2015, ketika kerusuhan oleh Thailand mengakibatkan penyelundupan manusia melalui laut di atas kapal-kapal yang reyot.
Chris Lewa, direktur Arakan Project, mengatakan dia yakin beberapa kapal lagi terdampar.
"Rohingya mungkin menghadapi perbatasan tertutup yang didukung oleh narasi xenophobia," katanya dalam sebuah pesan.
"COVID-19 tidak dapat digunakan untuk menolak akses masuk bagi para pengungsi yang putus asa dalam kesusahan. Krisis maritim lain di Laut Andaman seperti pada 2015 tidak dapat diterima."
Seorang pejabat polisi di negara bagian Kedah, Malaysia, mengatakan kepada Reuters beberapa kapal berusaha mencapai pantai negara itu dan pemantauan telah ditingkatkan.
Seorang pejabat polisi di Thailand selatan mengatakan lima kapal yang membawa Rohingya telah ditemukan di lepas pantai provinsi Satun pada Senin malam. Tidak mungkin untuk mengkonfirmasi hal ini secara independen.
Sumber: Reuters
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2020