Pemimpin atau Imam di Mukim Beungga, Aceh, Ilyas, mengatakan bahwa hasil verifikasi oleh tim terpadu yang dibentuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merupakan babak penentuan bagi masyarakat setempat dalam proses penetapan hutan adat Aceh.
"Baru saat inilah terbentuk tim terpadu untuk verifikasi (setelah diusulkan penetapan pertama kali pada 2016). Jadi, ini babak penentuan bagi kami," kata Ilyas kepada ANTARA melalui panggilan video dari Jakarta, Senin.
Sebelumnya, KLHK melalui Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) pada Juli membentuk tim terpadu dalam rangka verifikasi usulan hutan adat di sembilan mukim di Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Jaya, dan Kabupaten Bireun.
Baca juga: KLHK bentuk tim vertek hutan adat Aceh, kajian peneliti USK jadi dasar
Tim terdiri dari sejumlah unsur termasuk pihak KLHK, Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat Kemendikbudristek, pemangku kepentingan di Aceh, akademisi, LSM, hingga majelis adat setempat.
Verifikasi lapangan dijadwalkan berlangsung pada 7 hingga 15 Agustus 2023. Tim akan memastikan keberadaan masyarakat hukum adat (MHA) hingga memastikan batas wilayah MHA di sembilan mukim sesuai yang telah diajukan kepada KLHK.
Adapun luasan hutan adat yang diusulkan masing-masing seluas 18.015 hektare untuk Kabupaten Pidie, 69.246 hektare untuk Kabupaten Aceh Jaya, dan 17.886 hektare untuk Kabupaten Bireun.
Secara resmi, usulan penetapan kepada KLHK dimulai pada 2016 oleh tiga mukim yang berada di Kabupaten Pidie. Selanjutnya, dua mukim di Kabupaten Aceh Jaya mengusulkan penetapan hutan adat pada 2019 dan empat mukim di Kabupaten Bireun mengusulkan pada 2020.
Ilyas mengatakan luasan hutan adat yang diajukan mukim Beungga, Kabupaten Pidie, yaitu sekitar 10.988 hektar. Ilyas mengatakan masyarakat adat di Beungga siap mendampingi tim verifikasi dalam kerja lapangan.
Meski luasan hutan adat yang diusulkan bisa jadi sedikit berkurang setelah penyesuaian dalam verifikasi, dosen dari Universitas Syiah Kuala (USK) Dr. Teuku Muttaqin Mansur mengatakan setidaknya langkah kerja tim verifikasi menandai keseriusan KLHK dalam menetapkan hutan adat Aceh.
Muttaqin, yang juga tergabung dalam tim verifikasi, mengatakan masyarakat setempat menanti-nanti momentum pengakuan negara terhadap hutan adat yang selama ini sudah mereka kelola.
"Saya melihat bahwa akan ada 'pecah telur' (apabila KLHK telah resmi menetapkan hutan adat Aceh). Karena di Aceh, belum satupun hutan adat yang ditetapkan oleh pemerintah," kata Muttaqin saat dihubungi secara terpisah.
Baca juga: Cara mukim di Pidie menjaga hutan lewat hukum adat
Sekretaris Pelaksana Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh Zulfikar Arma mengatakan penetapan hutan adat Aceh dapat membawa manfaat bagi masyarakat setempat, terutama untuk mengerem korporasi yang ingin masuk ke wilayah hutan adat. Melalui penetapan hutan adat oleh pemerintah pusat, masyarakat diharapkan memiliki kekuatan hukum dalam pengelolaan hutan yang termasuk dalam kawasan adat mereka.
"Masyarakat belum punya kekuatan hukum secara tertulis, itu tidak ada. Jadi itu melemahkan mereka (jika ada korporasi yang sewaktu-waktu mengklaim kawasan hutan)," kata Zulfikar yang mendampingi masyarakat adat Aceh dalam proses penetapan hutan adat.
Ilyas, yang memimpin Mukim Beungga, mengatakan hutan adat di wilayahnya terbagi dalam tiga kategori antara lain hutan lindung, hutan produksi, dan hutan produksi terbatas. Masyarakat adat juga sudah memiliki aturan yang tertuang dalam Qanun Mukim Beungga yang mengatur tentang pemeliharaan hutan, pemeliharaan lingkungan lain termasuk daerah aliran sungai, pengelolaan sawah, serta pengelolaan kebun.
"Itu sudah ada aturan di kami. Mengacu pada aturan itulah, kami menjaga dan melestarikan apa yang bisa kami jaga dan kami lestarikan. Itu sudah konsisten," kata dia.
Ilyas mengingatkan bahwa Mukim Beungga masuk dalam bagian dari Pegunungan Bukit Barisan sehingga penting untuk menjaga kelestarian alam, terutama mencegah penebangan liar di area hutan lindung. Dia menambahkan hutan adat di Beungga juga menyimpan sumber mata air. Oleh sebab itu, masyarakat setempat sudah berkomitmen sejak lama untuk melindungi kawasan hutan.
"Siapa saja yang memotong kayu di area hutan lindung, akan ada sanksi secara adat (berdasarkan Qanun Mukim Beungga), pun ada sanksi secara administrasi. Umpamanya, dikenakan denda Rp300.000 untuk satu batang pohon yang dipotong di dalam hutan kawasan lindung," kata Ilyas.
Pemerintah terus mengupayakan percepatan penetapan hutan adat di sejumlah wilayah di Indonesia. Pada Mei lalu, KLHK mengungkapkan bahwa 152 ribu hektare kawasan hutan telah berstatus hutan adat yang tersebar di 17 provinsi di Indonesia.
Pemerintah melalui KLHK juga telah memasukkan hutan adat ke dalam cetak biru mengenai langkah pemulihan kawasan hutan di Indonesia yang tertuang dalam Forestry and Other Land Uses (FOLU) Net-Sink 2030.
Baca juga: Kisah Delima perjuangkan hutan masyarakat adat
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2023
"Baru saat inilah terbentuk tim terpadu untuk verifikasi (setelah diusulkan penetapan pertama kali pada 2016). Jadi, ini babak penentuan bagi kami," kata Ilyas kepada ANTARA melalui panggilan video dari Jakarta, Senin.
Sebelumnya, KLHK melalui Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) pada Juli membentuk tim terpadu dalam rangka verifikasi usulan hutan adat di sembilan mukim di Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Jaya, dan Kabupaten Bireun.
Baca juga: KLHK bentuk tim vertek hutan adat Aceh, kajian peneliti USK jadi dasar
Tim terdiri dari sejumlah unsur termasuk pihak KLHK, Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat Kemendikbudristek, pemangku kepentingan di Aceh, akademisi, LSM, hingga majelis adat setempat.
Verifikasi lapangan dijadwalkan berlangsung pada 7 hingga 15 Agustus 2023. Tim akan memastikan keberadaan masyarakat hukum adat (MHA) hingga memastikan batas wilayah MHA di sembilan mukim sesuai yang telah diajukan kepada KLHK.
Adapun luasan hutan adat yang diusulkan masing-masing seluas 18.015 hektare untuk Kabupaten Pidie, 69.246 hektare untuk Kabupaten Aceh Jaya, dan 17.886 hektare untuk Kabupaten Bireun.
Secara resmi, usulan penetapan kepada KLHK dimulai pada 2016 oleh tiga mukim yang berada di Kabupaten Pidie. Selanjutnya, dua mukim di Kabupaten Aceh Jaya mengusulkan penetapan hutan adat pada 2019 dan empat mukim di Kabupaten Bireun mengusulkan pada 2020.
Ilyas mengatakan luasan hutan adat yang diajukan mukim Beungga, Kabupaten Pidie, yaitu sekitar 10.988 hektar. Ilyas mengatakan masyarakat adat di Beungga siap mendampingi tim verifikasi dalam kerja lapangan.
Meski luasan hutan adat yang diusulkan bisa jadi sedikit berkurang setelah penyesuaian dalam verifikasi, dosen dari Universitas Syiah Kuala (USK) Dr. Teuku Muttaqin Mansur mengatakan setidaknya langkah kerja tim verifikasi menandai keseriusan KLHK dalam menetapkan hutan adat Aceh.
Muttaqin, yang juga tergabung dalam tim verifikasi, mengatakan masyarakat setempat menanti-nanti momentum pengakuan negara terhadap hutan adat yang selama ini sudah mereka kelola.
"Saya melihat bahwa akan ada 'pecah telur' (apabila KLHK telah resmi menetapkan hutan adat Aceh). Karena di Aceh, belum satupun hutan adat yang ditetapkan oleh pemerintah," kata Muttaqin saat dihubungi secara terpisah.
Baca juga: Cara mukim di Pidie menjaga hutan lewat hukum adat
Sekretaris Pelaksana Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh Zulfikar Arma mengatakan penetapan hutan adat Aceh dapat membawa manfaat bagi masyarakat setempat, terutama untuk mengerem korporasi yang ingin masuk ke wilayah hutan adat. Melalui penetapan hutan adat oleh pemerintah pusat, masyarakat diharapkan memiliki kekuatan hukum dalam pengelolaan hutan yang termasuk dalam kawasan adat mereka.
"Masyarakat belum punya kekuatan hukum secara tertulis, itu tidak ada. Jadi itu melemahkan mereka (jika ada korporasi yang sewaktu-waktu mengklaim kawasan hutan)," kata Zulfikar yang mendampingi masyarakat adat Aceh dalam proses penetapan hutan adat.
Ilyas, yang memimpin Mukim Beungga, mengatakan hutan adat di wilayahnya terbagi dalam tiga kategori antara lain hutan lindung, hutan produksi, dan hutan produksi terbatas. Masyarakat adat juga sudah memiliki aturan yang tertuang dalam Qanun Mukim Beungga yang mengatur tentang pemeliharaan hutan, pemeliharaan lingkungan lain termasuk daerah aliran sungai, pengelolaan sawah, serta pengelolaan kebun.
"Itu sudah ada aturan di kami. Mengacu pada aturan itulah, kami menjaga dan melestarikan apa yang bisa kami jaga dan kami lestarikan. Itu sudah konsisten," kata dia.
Ilyas mengingatkan bahwa Mukim Beungga masuk dalam bagian dari Pegunungan Bukit Barisan sehingga penting untuk menjaga kelestarian alam, terutama mencegah penebangan liar di area hutan lindung. Dia menambahkan hutan adat di Beungga juga menyimpan sumber mata air. Oleh sebab itu, masyarakat setempat sudah berkomitmen sejak lama untuk melindungi kawasan hutan.
"Siapa saja yang memotong kayu di area hutan lindung, akan ada sanksi secara adat (berdasarkan Qanun Mukim Beungga), pun ada sanksi secara administrasi. Umpamanya, dikenakan denda Rp300.000 untuk satu batang pohon yang dipotong di dalam hutan kawasan lindung," kata Ilyas.
Pemerintah terus mengupayakan percepatan penetapan hutan adat di sejumlah wilayah di Indonesia. Pada Mei lalu, KLHK mengungkapkan bahwa 152 ribu hektare kawasan hutan telah berstatus hutan adat yang tersebar di 17 provinsi di Indonesia.
Pemerintah melalui KLHK juga telah memasukkan hutan adat ke dalam cetak biru mengenai langkah pemulihan kawasan hutan di Indonesia yang tertuang dalam Forestry and Other Land Uses (FOLU) Net-Sink 2030.
Baca juga: Kisah Delima perjuangkan hutan masyarakat adat
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2023