Bank Indonesia mendorong Pemerintah Provinsi Aceh untuk melakukan penguatan lapangan usaha industri pengolahan dalam upaya mendorong percepatan pemulihan ekonomi di provinsi berjulukan Tanah Rencong itu.

Kepala Bank Indonesia Aceh Rony Widijarto di Banda Aceh, Rabu, mengatakan potensi pada sektor hulu yang dimiliki Aceh dapat dioptimalkan untuk mendorong sektor industri pengolahan.

“Sebagai sektor yang aman untuk dibuka, memiliki daya ungkit, menyerap tenaga kerja serta memberikan multiplier effect yang besar,” kata Rony.

Penyataan itu diutarakan Rony dalam Laporan Perekonomian Aceh Februari 2024, sebagai rekomendasi kebijakan bagi Pemprov Aceh guna mendorong pertumbuhan ekonomi di provinsi berjulukan daerah Tanah Rencong itu di masa akan datang.

Baca juga: Tekan laju inflasi, akademisi dorong BI stabilkan nilai tukar lewat kebijakan moneter

Ia menjelaskan perekonomian Aceh bersumber dari tiga lapangan usaha utama, yaitu sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan sebesar 29,59 persen, sektor perdagangan besar dan eceran, dan reparasi mobil dan sepeda motor sebesar 15,98 persen, serta sektor usaha konstruksi sebesar 10,48 persen. 

Secara kumulatif, kata dia, ketiga lapangan tersebut memberikan kontribusi sebesar 56,05 persen terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh. Kinerja ketiga lapangan usaha utama Aceh tersebut pada triwulan IV 2023 tumbuh membaik sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi Aceh. 

“Membaiknya kinerja lapangan usaha utama di Aceh menjadi penopang membaiknya pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.

Tentunya, menurut Rony, dibutuhkan nilai tambah dari setiap produk lapangan usaha tersebut melalui industri pengolahan dalam mempercepat kemajuan ekonomi daerah Tanah Rencong itu.

Kata dia, pemetaan pohon industri dari masing-masing komoditas unggulan serta kajian teknis mengenai potensi dari setiap pohon industri sangat dibutuhkan, agar tidak ada lagi produk dari setiap lapangan usaha beralih ke lapangan usaha besar dan eceran tanpa melalui penambahan nilai yang dapat diberikan oleh lapangan usaha industri pengolahan. 

“Hal ini penting agar Provinsi Aceh tidak kehilangan nilai tambah yang seharusnya bisa diciptakan oleh industri pengolahan,” ujarnya.

Salah satu contohnya seperti komoditas beras. Pasokan beras Aceh sering sekali impor dari luar Aceh pada periode- periode tertentu. Padahal jika dihitung secara tahunan, produksi beras Aceh mengalami surplus. 

“Namun gabah dari Aceh dijual ke Sumatera Utara untuk diolah, kemudian beras dijual kembali ke Aceh. Kondisi ini menyebabkan harga beras dapat lebih tinggi daripada harga lokal,” ujarnya.

Baca juga: BI antisipasi potensi inflasi Aceh pada 2024 terutama volatile food

Pewarta: Khalis Surry

Editor : Febrianto Budi Anggoro


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024