DPR RI akhirnya mengesahkan perubahan kedua UU nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi UU, dalam pengambilan keputusan Tingkat II Rapat Paripurna pada Selasa (17/9) siang.
Proses pengesahan tersebut berlangsung di tengah polemik yang terjadi terkait poin-poin revisi UU KPK tersebut yang dinilai elemen masyarakat sipil dapat melemahkan institusi KPK yang sudah berdiri 17 tahun.
"Apakah pembahasan Tingkat II pengambilan keputusan tentang Rancangan UU tentang Perubahan Kedua UU nomor 30 tahun 2002 dapat disetujui dan disahkan menjadi Undang-Undang," kata Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah dalam Rapat Paripurna DPR, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa.
Baca juga: Revisi UU KPK dinilai ciptakan "check and balance" penegakan hukum
Pertanyaan tersebut langsung dijawab setuju oleh seluruh anggota DPR yang hadir dalam Paripurna tersebut. Fahri mengatakan dalam Rapat Paripurna tersebut, anggota DPR yang menandatangani daftar hadir sebanyak 289 orang.
Beberapa poin revisi UU KPK yang menjadi polemik dan menjadi perdebatan di masyarakat seperti, pertama status kelembagaan KPK yang merupakan rumpun eksekutif yang dalam pelaksanaan tugas pencegahan dan pemberantasan korupsi bersifat independen serta bebas dari pengaruh kekuasaan.
Baca juga: Baleg: Seluruh fraksi sepakat bawa revisi UU KPK ke paripurna
Kedua, terkait kewenangan KPK dalam mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) apabila sebuah kasus tidak selesai dalam waktu dua tahun, ketiga, dibentuknya Dewan Pengawas (Dewas) KPK yang mekanisme penyaringannya dilakukan oleh Panita Seleksi (Pansel) yang dibentuk Presiden. Setelah terjaring oleh Pansel, maka Presiden akan memilih lima orang untuk menjadi Dewas KPK.
Keempat, terkait penyadapan, dilakukan KPK atas ijin Dewan Pengawas yang paling lambat diberikan 1x24 jam. Penyadapan paling lama dilakukan enam bulan dan dapat diperpanjang yang dimaksudkan untuk lebih menjunjung tinggi HAM dan Kelima, status pegawai KPK merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang pengangkatannya diatur oleh UU.
Baca juga: Nasir Djamil: Survei Kompas buktikan revisi UU KPK didukung
Fraksi-fraksi memberikan catatan kritis
Pro dan kontra terkait poin-poin revisi UU KPK itu membuat suasana Rapat Paripurna DPR pada Selasa siang diwarnai dengan berbagai interupsi oleh fraksi-fraksi, yang memberikan pendapat dan masukan kritis atas revisi UU tersebut.
Ada empat fraksi yang memberikan catatan kritis terkait revisi UU KPK dalam Paripurna DPR RI yaitu Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PKS, dan Fraksi PPP.
Ketua Fraksi Partai Gerindra DPR RI, Edhy Prabowo mengingatkan bahwa semangat DPR merevisi UU KPK adalah dalam rangka penguatan institusi tersebut dalam pencegahan dan penegakan hukum, bukan malah melemahkan.
Dia mengatakan, Fraksi Gerindra masih ada "ganjalan" terhadap poin revisi UU KPK, khususnya terkait keberadaan Dewan Pengawas yang ditunjuk langsung oleh Presiden tanpa dipilih oleh lembaga yang independen.
Karena itu menurut Edhy, sejak awal pembahasan revisi UU KPK di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Gerindra selalu menentang poin-poin yang berpotensi melemahkan KPK, khususnya terkait Dewan Pengawas yang dipilih Presiden.
Dia menegaskan bahwa Gerindra tidak bertanggungjawab terhadap penyalahgunaan semangat penguatan KPK yang diawal diusung dalam revisi UU KPK dan bisa berujung pada pelemahan KPK.
Tidak hanya Fraksi Gerindra yang memberikan catatan kritisnya, Fraksi PKS DPR RI juga menyoroti terkait keberadaan Dewas KPK yang keanggotannya ditunjuk langsung Presiden.
Anggota Fraksi PKS DPR RI, Ledia Hanifa menilai pembentukan Dewas KPK yg menjadi bagian institusi tersebut, menjadi satu organ yang tidak bekerja lebih independen dan kredibel.
Dia mengatakan, Fraksi PKS juga menyoroti pemilihan Dewas KPK yang menjadi kewenangan mutlak Presiden, ketentuan tersebut dianggap tidak sesuai dengan tujuan awal draf revisi UU KPK yaitu membentuk Dewas yang profesional dan terbebas dari intervensi.
FPKS juga memberikan catatan kritis terkait penyadapan, bahwa tidak tepat penyadapan harus meminta ijin Dewas karena lebih baik sifatnya hanya pemberitahuan saja.
"Seharusnya KPK cukup memberitahukan bukan meminta izin kepada Dewas, kemudian diiringi dengan monitoring dan audit yg ketat agar penyadapan tidak dilakuka secara semena-mena dan melanggar HAM," katanya.
Dalam Rapat Paripurna tersebut, Ketua Fraksi PPP DPR RI Arsul Sani ikut mewarnai interupsi dengan pernyataannya bahwa Indonesia saat ini tidak cukup hanya merevisi UU KPK namun juga perlu revisi UU nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan UU Tipikor.
Hal itu menurut dia agar menjadi komitmen bersama agar pemberantasan korupsi menemuka paradigma seperti yang diungkapkan Presiden Jokowi yaitu agar pengembalian aset negara bisa dimaksimalkan.
Karena itu menurut dia, sudah saatnya diperkenalkan terkait pembuatan UU tentang Perampasan Aset.
Fraksi Partai Demokrat DPR RI memberikan catatan khusus terkait revisi UU nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu jangan sampai revisi tersebut melemahkan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi.
"Fraksi Partai Demokrat mendukung revisi UU KPK dengan catatan tidak ada unsur yang melemahkan lembaga pemberantas korupsi itu," kata anggota FPD Erma Suryani Ranik.
Dia menjelaskan, FPD berpandangan peran dan tugas penegakan hukum oleh Kepolisian, Kejaksaan dan KPK harus berjalan terukur, transparan, tidak tebang pilih, tidak pandang bulu, professional dan akuntabel.
Menurut dia, untuk mewujudkan karakter-karakter tersebut, dibutuhkan sinergi antar lembaga secara sinambung dan sepenuhnya berorientasi pada kepentingan rakyat.
"Perubahan apapun terkait undang-undang KPK, harus merupakan upaya penyempurnaan dan penguatan, agar penegakan hukum dalam konteks pemberantasan korupsi lebih baik dan lebih baik lagi," katanya.
Menurut dia alasannya sangat jelas, hadirnya tata kelola pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi khususnya di bidang pengelolaan keuangan negara merupakan bagian penting dan fundamental yang harus diwujudkan untuk menjamin terwujudnya masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
Meskipun banyak interupsi dalam Rapat Paripurna tersebut, Pimpinan DPR tetap mengesahkan revisi UU KPK menjadi UU.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019
Proses pengesahan tersebut berlangsung di tengah polemik yang terjadi terkait poin-poin revisi UU KPK tersebut yang dinilai elemen masyarakat sipil dapat melemahkan institusi KPK yang sudah berdiri 17 tahun.
"Apakah pembahasan Tingkat II pengambilan keputusan tentang Rancangan UU tentang Perubahan Kedua UU nomor 30 tahun 2002 dapat disetujui dan disahkan menjadi Undang-Undang," kata Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah dalam Rapat Paripurna DPR, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa.
Baca juga: Revisi UU KPK dinilai ciptakan "check and balance" penegakan hukum
Pertanyaan tersebut langsung dijawab setuju oleh seluruh anggota DPR yang hadir dalam Paripurna tersebut. Fahri mengatakan dalam Rapat Paripurna tersebut, anggota DPR yang menandatangani daftar hadir sebanyak 289 orang.
Beberapa poin revisi UU KPK yang menjadi polemik dan menjadi perdebatan di masyarakat seperti, pertama status kelembagaan KPK yang merupakan rumpun eksekutif yang dalam pelaksanaan tugas pencegahan dan pemberantasan korupsi bersifat independen serta bebas dari pengaruh kekuasaan.
Baca juga: Baleg: Seluruh fraksi sepakat bawa revisi UU KPK ke paripurna
Kedua, terkait kewenangan KPK dalam mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) apabila sebuah kasus tidak selesai dalam waktu dua tahun, ketiga, dibentuknya Dewan Pengawas (Dewas) KPK yang mekanisme penyaringannya dilakukan oleh Panita Seleksi (Pansel) yang dibentuk Presiden. Setelah terjaring oleh Pansel, maka Presiden akan memilih lima orang untuk menjadi Dewas KPK.
Keempat, terkait penyadapan, dilakukan KPK atas ijin Dewan Pengawas yang paling lambat diberikan 1x24 jam. Penyadapan paling lama dilakukan enam bulan dan dapat diperpanjang yang dimaksudkan untuk lebih menjunjung tinggi HAM dan Kelima, status pegawai KPK merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang pengangkatannya diatur oleh UU.
Baca juga: Nasir Djamil: Survei Kompas buktikan revisi UU KPK didukung
Fraksi-fraksi memberikan catatan kritis
Pro dan kontra terkait poin-poin revisi UU KPK itu membuat suasana Rapat Paripurna DPR pada Selasa siang diwarnai dengan berbagai interupsi oleh fraksi-fraksi, yang memberikan pendapat dan masukan kritis atas revisi UU tersebut.
Ada empat fraksi yang memberikan catatan kritis terkait revisi UU KPK dalam Paripurna DPR RI yaitu Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PKS, dan Fraksi PPP.
Ketua Fraksi Partai Gerindra DPR RI, Edhy Prabowo mengingatkan bahwa semangat DPR merevisi UU KPK adalah dalam rangka penguatan institusi tersebut dalam pencegahan dan penegakan hukum, bukan malah melemahkan.
Dia mengatakan, Fraksi Gerindra masih ada "ganjalan" terhadap poin revisi UU KPK, khususnya terkait keberadaan Dewan Pengawas yang ditunjuk langsung oleh Presiden tanpa dipilih oleh lembaga yang independen.
Karena itu menurut Edhy, sejak awal pembahasan revisi UU KPK di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Gerindra selalu menentang poin-poin yang berpotensi melemahkan KPK, khususnya terkait Dewan Pengawas yang dipilih Presiden.
Dia menegaskan bahwa Gerindra tidak bertanggungjawab terhadap penyalahgunaan semangat penguatan KPK yang diawal diusung dalam revisi UU KPK dan bisa berujung pada pelemahan KPK.
Tidak hanya Fraksi Gerindra yang memberikan catatan kritisnya, Fraksi PKS DPR RI juga menyoroti terkait keberadaan Dewas KPK yang keanggotannya ditunjuk langsung Presiden.
Anggota Fraksi PKS DPR RI, Ledia Hanifa menilai pembentukan Dewas KPK yg menjadi bagian institusi tersebut, menjadi satu organ yang tidak bekerja lebih independen dan kredibel.
Dia mengatakan, Fraksi PKS juga menyoroti pemilihan Dewas KPK yang menjadi kewenangan mutlak Presiden, ketentuan tersebut dianggap tidak sesuai dengan tujuan awal draf revisi UU KPK yaitu membentuk Dewas yang profesional dan terbebas dari intervensi.
FPKS juga memberikan catatan kritis terkait penyadapan, bahwa tidak tepat penyadapan harus meminta ijin Dewas karena lebih baik sifatnya hanya pemberitahuan saja.
"Seharusnya KPK cukup memberitahukan bukan meminta izin kepada Dewas, kemudian diiringi dengan monitoring dan audit yg ketat agar penyadapan tidak dilakuka secara semena-mena dan melanggar HAM," katanya.
Dalam Rapat Paripurna tersebut, Ketua Fraksi PPP DPR RI Arsul Sani ikut mewarnai interupsi dengan pernyataannya bahwa Indonesia saat ini tidak cukup hanya merevisi UU KPK namun juga perlu revisi UU nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan UU Tipikor.
Hal itu menurut dia agar menjadi komitmen bersama agar pemberantasan korupsi menemuka paradigma seperti yang diungkapkan Presiden Jokowi yaitu agar pengembalian aset negara bisa dimaksimalkan.
Karena itu menurut dia, sudah saatnya diperkenalkan terkait pembuatan UU tentang Perampasan Aset.
Fraksi Partai Demokrat DPR RI memberikan catatan khusus terkait revisi UU nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu jangan sampai revisi tersebut melemahkan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi.
"Fraksi Partai Demokrat mendukung revisi UU KPK dengan catatan tidak ada unsur yang melemahkan lembaga pemberantas korupsi itu," kata anggota FPD Erma Suryani Ranik.
Dia menjelaskan, FPD berpandangan peran dan tugas penegakan hukum oleh Kepolisian, Kejaksaan dan KPK harus berjalan terukur, transparan, tidak tebang pilih, tidak pandang bulu, professional dan akuntabel.
Menurut dia, untuk mewujudkan karakter-karakter tersebut, dibutuhkan sinergi antar lembaga secara sinambung dan sepenuhnya berorientasi pada kepentingan rakyat.
"Perubahan apapun terkait undang-undang KPK, harus merupakan upaya penyempurnaan dan penguatan, agar penegakan hukum dalam konteks pemberantasan korupsi lebih baik dan lebih baik lagi," katanya.
Menurut dia alasannya sangat jelas, hadirnya tata kelola pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi khususnya di bidang pengelolaan keuangan negara merupakan bagian penting dan fundamental yang harus diwujudkan untuk menjamin terwujudnya masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
Meskipun banyak interupsi dalam Rapat Paripurna tersebut, Pimpinan DPR tetap mengesahkan revisi UU KPK menjadi UU.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019