LSM Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) mempertanyakan penyelidikan dana perjalanan dinas 24 anggota DPRK Aceh Barat Daya (Abdya) yang diduga fiktif hingga merugikan keuangan negara mencapai Rp1 miliar lebih tahun anggaran 2017.
"Sebagaimana kita ketahui, kasus tersebut masuk dalam kriteria bobot perkaranya sedang. Artinya pihak Kejari Abdya dengan rentan waktu relatif cukup ini tentu sudah selayaknya menentukan progres kasus itu ke tahapan penyidikan dan menetapkan tersangkanya,” kata pengacara YARA Erisman di Blangpidie, Selasa.
Baca juga: Jaksa selidiki SPPD diduga fiktif anggota DPRK Aceh Barat Daya Rp1 M
Menurut Erisman, kalau pihak Kejari Abdya main-main apalagi ragu-ragu dalam mengungkapkan kasus dugaan dana SPPD fiktif 24 anggota DPRK periode 2014-2019 itu, maka publik juga akan menilai dan bahkan meragukan keberhasilan pihak Kejaksaan Abdya dalam mengungkapkan kasus korupsi itu.
Apalagi, kata dia, menurut informasi diperoleh YARA bahwa hasil verifikasi tim Kejari Abdya ke perusahaan maskapai penerbangan baru-baru ini mendapat bocoran bahwa bording pas yang digunakan oleh kebanyakan anggota dewan untuk bahan pertanggungjawaban administrasi merupakan tiket pesawat palsu.
Baca juga: Mahasiswa Abdya kawal kasus dugaan SPPD fiktif dewan
Namun, lanjut Erisman, anehnya hingga kini kasus tersebut belum terdengar perkembangannya untuk ditingkatkan ke tahapan penyidikan dan menetapkan tersangkanya, sehingga berbagai persepsi negatif justru bermuculan akibat penanganan kasus dugaan korupsi yang dinilai kurang transparan.
"Jadi, alasan apalagi pihak kejaksaan hingga sekarang belum meningkatkan status kasus itu ke tahapan penyidikan dan menetapkan tersangkanya,” ujar Erisman mempertanyakan.
Baca juga: Terkait dugaan SPPD fiktif DPRK Abdya, Kejari didesak tetapkan tersangka
"Kami dari YARA terus memantau kasus SPPD 24 anggota dewan yang diduga fiktif ini, dan kami yakin masyarakat di Abdya ini juga ikut memantau perkembangannya. Apalagi kasus anggaran perjalanan dinas pada sekretariat DPRK itu merugikan keuangan negara Rp1 miliar lebih," ungkap Erisman.
Erisman yang merupakan Sekretaris YARA Perwakilan Abdya sebelumnya juga pernah mengingatkan pihak Kejaksaan agar tidak sembarangan mengeluarkan dikresi (kebijakan) terhadap 24 anggota legislatif yang telah mengembalikan anggaran SPPD tersebut sebelum pihak Kejari mengaji dasar hukumnya.
Sebab, menurut dia, inisiatif pengembalian hasil temuan penegak hukum merupakan etikat baik, namun pengacara YARA itu meminta agar pihak Kejari Abdya hati-hati dalam mengkaji dasar hukumnya terutama pasal 4 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang nomor 20 tahun 2001.
Disebutkan, pemberantasan tindak pidana korupsi jangan berasumsi pada etikat baik yang mengembalikan kerugian keuangan negara sebelum dimulainya penyelidikan dianggap mengahapus tindak pidana.
Artinya bila unsur-unsur melawan hukum terpenuhi yang bersangkutan (anggota dewan) harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan hakim dipengadilan.
“Logikanya begini, seseorang mencuri lalu mengembalikan hasil curian sebelum orang lain tahu, itu tetap tindak pidana. Artinya pengembalian hanya mengurangi pidana, tetapi tidak mengurangi sifat melawan hukum,” bebernya.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019
"Sebagaimana kita ketahui, kasus tersebut masuk dalam kriteria bobot perkaranya sedang. Artinya pihak Kejari Abdya dengan rentan waktu relatif cukup ini tentu sudah selayaknya menentukan progres kasus itu ke tahapan penyidikan dan menetapkan tersangkanya,” kata pengacara YARA Erisman di Blangpidie, Selasa.
Baca juga: Jaksa selidiki SPPD diduga fiktif anggota DPRK Aceh Barat Daya Rp1 M
Menurut Erisman, kalau pihak Kejari Abdya main-main apalagi ragu-ragu dalam mengungkapkan kasus dugaan dana SPPD fiktif 24 anggota DPRK periode 2014-2019 itu, maka publik juga akan menilai dan bahkan meragukan keberhasilan pihak Kejaksaan Abdya dalam mengungkapkan kasus korupsi itu.
Apalagi, kata dia, menurut informasi diperoleh YARA bahwa hasil verifikasi tim Kejari Abdya ke perusahaan maskapai penerbangan baru-baru ini mendapat bocoran bahwa bording pas yang digunakan oleh kebanyakan anggota dewan untuk bahan pertanggungjawaban administrasi merupakan tiket pesawat palsu.
Baca juga: Mahasiswa Abdya kawal kasus dugaan SPPD fiktif dewan
Namun, lanjut Erisman, anehnya hingga kini kasus tersebut belum terdengar perkembangannya untuk ditingkatkan ke tahapan penyidikan dan menetapkan tersangkanya, sehingga berbagai persepsi negatif justru bermuculan akibat penanganan kasus dugaan korupsi yang dinilai kurang transparan.
"Jadi, alasan apalagi pihak kejaksaan hingga sekarang belum meningkatkan status kasus itu ke tahapan penyidikan dan menetapkan tersangkanya,” ujar Erisman mempertanyakan.
Baca juga: Terkait dugaan SPPD fiktif DPRK Abdya, Kejari didesak tetapkan tersangka
"Kami dari YARA terus memantau kasus SPPD 24 anggota dewan yang diduga fiktif ini, dan kami yakin masyarakat di Abdya ini juga ikut memantau perkembangannya. Apalagi kasus anggaran perjalanan dinas pada sekretariat DPRK itu merugikan keuangan negara Rp1 miliar lebih," ungkap Erisman.
Erisman yang merupakan Sekretaris YARA Perwakilan Abdya sebelumnya juga pernah mengingatkan pihak Kejaksaan agar tidak sembarangan mengeluarkan dikresi (kebijakan) terhadap 24 anggota legislatif yang telah mengembalikan anggaran SPPD tersebut sebelum pihak Kejari mengaji dasar hukumnya.
Sebab, menurut dia, inisiatif pengembalian hasil temuan penegak hukum merupakan etikat baik, namun pengacara YARA itu meminta agar pihak Kejari Abdya hati-hati dalam mengkaji dasar hukumnya terutama pasal 4 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang nomor 20 tahun 2001.
Disebutkan, pemberantasan tindak pidana korupsi jangan berasumsi pada etikat baik yang mengembalikan kerugian keuangan negara sebelum dimulainya penyelidikan dianggap mengahapus tindak pidana.
Artinya bila unsur-unsur melawan hukum terpenuhi yang bersangkutan (anggota dewan) harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan hakim dipengadilan.
“Logikanya begini, seseorang mencuri lalu mengembalikan hasil curian sebelum orang lain tahu, itu tetap tindak pidana. Artinya pengembalian hanya mengurangi pidana, tetapi tidak mengurangi sifat melawan hukum,” bebernya.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019