Banda Aceh (ANTARA) - Akademisi IAIN Langsa Aceh dr Andhika Jaya Putra berharap proses penyaluran bantuan atau hak untuk korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat berjalan sesuai harapan, serta terbebas dari pemungutan liat (pungli).
"Kami berharap tidak ada pungli pada penyaluran hak korban pelanggaran HAM berat, karena ini urgent dan sebuah keniscayaan dalam mengawal efektivitas pemulihan hak korban,” kata Andhika Jaya Putra dalam keterangannya, di Banda Aceh, Sabtu.
Hal itu disampaikan Andhika sebagai respon atas pengakuan Presiden Jokowi terkait 12 kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, dan termasuk tiga di Aceh. Serta rapat khusus Presiden untuk memastikan pemulihan korban pelanggaran HAM berjalan efektif.
Andhika melihat, dalam rencana penyaluran hak-hak korban pelanggaran HAM berat itu, Presiden harus membentuk Satgas, dan menunjukkan kementerian untuk mengurusi hal ini. Mengingat banyak korban tidak mau hak-hak nya disalurkan melalui pemerintah daerah.
Nantinya, setelah Satgas terbentuk, maka bisa berbagi tugas dengan sejumlah kementerian dan lembaga, dengan memberikan target atau batas waktu menyelesaikan masing-masing tupoksinya.
"Perlu pengawasan ketat agar pemenuhan hak-hak korban tepat sasaran dan diterima oleh yang bersangkutan tanpa ada pungli," ujarnya.
Selain itu, dirinya juga menyarankan, supaya penyaluran hak korban pelanggaran HAM berat itu bebas pungli atau tanpa pemotongan. Maka prosesnya bisa dilakukan langsung dari negara ke rekening korban atau ahli waris korban pelanggaran HAM berat itu sendiri.
"Jangan nanti ada pihak yang mengklaim telah berjasa membantu pengurusan ini. Maka penyalurannya bisa langsung, karena itu 100 persen adalah hak korban pelanggaran HAM," demikian Andhika.
Seperti diketahui, Presiden RI Joko Widodo telah menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat dalam sedikitnya 12 peristiwa di masa lalu.
Hal itu disampaikan Presiden Jokowi setelah menerima laporan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM) masa lalu yang diwakili Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD di Istana Merdeka, Jakarta.
Adapun 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah diakui Presiden Jokowi tersebut antara lain:
Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari di Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, dan Peristiwa Kerusuhan Mei 1998.
Kemudian, Peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA Aceh 1999, Peristiwa Wasior Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena Papua 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok Aceh Selatan 2003.