DPR RI akhirnya menetapkan 33 Rancangan Undang-Undang (RUU) Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021, setelah pembahasannya berlangsung selama tiga masa persidangan.
Dari 33 RUU yang ada di Prolegnas Priortas 2021, sebanyak 20 RUU telah ada dalam Prolegnas Prioritas 2020 yang tidak bisa diselesaikan di tahun 2020, dipindahkan ke tahun 2021 untuk diselesaikan.
Sebanyak 20 RUU tersebut yaitu RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara; RUU tentang Energi Baru dan Terbarukan; RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana; RUU tentang Pengawasan Obat dan Makanan; RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.
RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga; RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara; RUU tentang Masyarakat Hukum Adat; RUU tentang Profesi Psikologi (Judul RUU berubah menjadi RUU tentang Praktik Psikologi); RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol; RUU tentang Perlindungan Tokoh Agama dan Simbol Agama.
RUU tentang Pelindungan Data Pribadi; RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia; RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua; RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika; RUU tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (dalam Prolegnas 2020-2024 tertulis: Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah).
RUU tentang tentang Ibu Kota Negara (Omnibus Law); RUU tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila); RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan; dan RUU tentang Daerah Kepulauan.
Dari 33 RUU tersebut, ada beberapa RUU yang menjadi sorotan publik dan telah berproses dalam proses pembahasan, antara lain:
1. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS)
Awalnya, RUU P-KS merupakan usul inisiatif Komisi VIII DPR yang masuk dalam Prolegnas 2020, namun saat evaluasi Prolegnas pada Juni 2020, RUU tersebut dikeluarkan dari daftar Prolegnas.
Beberapa kalangan menilai RUU tersebut bukan hanya mempermasalahkan kekerasan seksual yang sudah masuk dalam kategori darurat, namun justru mengaitkannya dengan isu seks dan hubungan sesama jenis.
Saat ini RUU P-KS masuk dalam daftar Prolegnas 2021, dan ada lima fraksi yang sangat mendukung RUU tersebut yaitu Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai NasDem, Fraksi Partai Golkar, dan Fraksi PKB.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Willy Aditya menilai ada sekitar 6 poin krusial dalam RUU tersebut, pertama, terkait definisi "hasrat seksual" yang terdapat dalam Pasal 1 RUU P-KS yang harus benar-benar didefinisikan secara lebih arif, bijaksana, dan tepat.
Kedua, dalam Pasal 12 terkait pelecehan fisik dan non-fisik, yang mengenai "sweeping" sehingga harus dibicarakan tentang mekanisme kontrol masyarakat. Misalnya, dalam beberapa kasus ketika seorang ketahuan berzina, lalu yang bersangkutan ditelanjangi dan dibawa keliling kampung, itu yang dipertanyakan apakah itu tindakan beradab.
Karena itu Baleg mengusulkan adanya pendekatan berbasis sosiokultural dalam mengatur ketentuan dalam pasal 12 tersebut.
Ketiga, Pasal 15 tentang pemaksaan aborsi, yang dianggap sebagai "pintu masuk" legalisasi aborsi, karena itu perlu didiskusikan bagaimana bentuknya.
Poin krusial keempat adalah terkait pemaksaan perkawinan yang diatur dalam Pasal 17 RUU P-KS yang dikhawatirkan terjadi benturan pandangan di masyarakat. Kelima, dalam Pasal 18 terkait pemaksaan pelacuran, kalau anggota Baleg yang menolak mengatakan kalau ada pemaksaan pelacuran maka artinya sepakat dengan legalisasi prostitusi.
Poin keenam, dalam Pasal 19 tentang perbudakan seksual, yang terkait dengan relasi perkawinan sehingga harus meletakan-nya secara "clear and clean", mana yang menjadi domain privat dan publik.
Saat ini RUU P-KS sudah menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan berbagai kalangan seperti Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan The Body Shop Indonesia.
2. RUU Otonomi Khusus Papua
Dalam Rapat Paripurna DPR Penutupan Masa Persidangan III Tahun Sidang 2020-2021 pada Rabu (10/2) telah diambil keputusan pembentukan Pansus RUU tentang Perubahan Kedua atas UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua.
Pansus tersebut berisi 30 orang anggota dari 9 fraksi, terdiri dari F-PDIP 7 orang, F-Golkar 4 orang, F-Gerindra 4 orang, F-NasDem 3 orang, F-PKB 3 orang, F-Demokrat 3 orang, F-PKS 3 orang, F-PAN 2 orang, dan F-PPP 1 orang.
Dalam perkembangannya, Rapat Pansus pada Selasa (30/3) telah menetapkan unsur pimpinan yang terdiri dari Ketua Pansus Otsus Papua Komarudin Watubun (F-PDI Perjuangan) dengan didampingi tiga Wakil Ketua yaitu Agung Widyantoro (F-Partai Golkar), Yan Mandenas (F-Gerindra), dan Marthen Douw (F-PKB).
Pemilihan dan penetapan pimpinan Pansus Otsus Papua tersebut sempat tertunda karena pada Rapat Internal Pansus pada Rabu (17/3), fraksi-fraksi belum mencapai kesepakatan sehingga pengambilan keputusan harus ditunda.
Namun rapat pansus pada Selasa (30/3), sebanyak 9 fraksi telah menyepakati nama-nama Pimpinan Pansus Otsus Papua.
Dalam revisi UU Otsus yang diajukan pemerintah itu, ada dua poin krusial yang menjadi sorotan yaitu pertama terkait besaran anggaran yang akan diberikan kepada Papua dan Papua Barat; kedua terkait penambahan kewenangan pemekaran wilayah.
Terkait anggaran ada dalam Pasal 34, sedangkan mengenai penambahan kewenangan pemekaran wilayah diatur dalam Pasal 76.
Dalam UU nomor 21/2001 Pasal 34 ayat 3 huruf (c) angka 2 disebutkan bahwa "Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2 persen dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan".
Pasal 34 ayat 3 huruf (c) angka 3 disebutkan "Dana tambahan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur".
Dalam draf RUU revisi UU Otsus, usulan dana otsus untuk Papua dan Papua Barat naik dari 2 persen menjadi 2,25 persen dari DAU.
RUU Otsus Pasal 34 ayat 3 huruf (e) disebutkan bahwa "penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2,25 persen dari plafon Dana Alokasi Umum nasional, yang terdiri atas, pertama, penerimaan yang bersifat umum setara dengan 1 persen dari plafon Dana Alokasi Umum nasional; dan kedua, penerimaan yang telah ditentukan penggunaannya dengan berbasis kinerja pelaksanaan setara dengan 1,25 persen dari plafon Dana Alokasi Umum nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan.
Selain itu, terkait kewenangan pemekaran wilayah, yang sebelumnya diatur hanya satu ayat, saat ini dijabarkan hingga tiga ayat.
Dalam UU 21/2001 Pasal 76 disebutkan bahwa "Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang".
Aturan pemekaran tersebut direvisi dalam draf RUU Otsus menjadi tiga ayat, yang disebutkan dalam Pasal 76 yang berbunyi:
Pasal 76
(1) Pemekaran daerah provinsi menjadi provinsi-provinsi dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.
(2) Pemerintah dapat melakukan pemekaran daerah provinsi menjadi daerah otonom untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan kesatuan sosial budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.
(3) Pemekaran daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak melalui tahapan daerah persiapan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai pemerintahan daerah.
Keberadaan Pasal 76 ayat 2 dan ayat 3 yang kemudian banyak dikritisi banyak kalangan karena dinilai pemerintah pusat bersifat otoritatif dalam pembentukan atau pemekaran wilayah tanpa melibatkan MRP dan DPRP.
3. RUU Kejaksaan
Revisi UU nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan merupakan usul inisiatif Komisi III DPR RI yang prosesnya saat ini sudah disetujui Baleg DPR untuk diharmonisasi.
Persetujuan Baleg tersebut diambil dalam rapat Baleg pada Kamis (25/3) dengan menghadirkan Pimpinan Komisi III DPR. Dalam rapat tersebut terungkap beberapa poin revisi UU Kejaksaan.
Pertama, penyempurnaan rumusan terkait kepegawaian dan delegasi pengaturannya lebih lanjut serta norma masa transisi yang diatur pada angka 11 Pasal 7A, angka 45 pasal 39A, angka 46 Pasal 41.
Kedua, penyempurnaan rumusan terkait dengan syarat usia minimum untuk diangkat menjadi jaksa yang diatur pada angka 14 Pasal 9. Ketiga, penyempurnaan rumusan terkait gaji, tunjangan dan hak-hak lainnya pada Pasal 17.
Keempat, penyempurnaan rumusan mengenai persyaratan usia untuk diangkat menjadi Jaksa Agung yang diatur pada angka 26 Pasal 20. Kelima, penghapusan rumusan pasal 30 terkait dengan kewenangan jaksa, kembali ke rumusan sebagaimana diatur dalam UU nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan.
Dan terakhir penambahan rumusan terkait penggunaan tanda nomor kendaraan bagi jaksa pada angka 38 Pasal 34b.
Fraksi PAN memberikan catatan terkait poin-poin krusial RUU Kejaksaan, pertama terkait kewenangan penyelidikan dan penyidikan Jaksa. Misalnya tugas dan kewenangan Jaksa tidak hanya sebagai Penuntut Umum (Pasal 1 angka 1), tapi juga melakukan wewenang Penyelidikan (Pasal 30 C) dan Penyidikan (Pasal 30 huruf d).
Padahal Pasal 1 angka 6 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada pokoknya dengan tegas menyebutkan bahwa Jaksa merupakan Penuntut Umum, sedangkan tugas penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh Kepolisian.
Lalu terkait kewenangan penyadapan yang diatur dalam Pasal 30 huruf (e) RUU Kejaksaan, menyebutkan bahwa di bidang pidana Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyadapan dan menyelenggarakan pusat pemantauan.
Penyadapan dalam usaha penertiban dan ketenteraman umum dikhawatirkan akan melanggar jaminan, perlindungan dan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Selain itu, terkait Pasal 35 huruf a disebutkan Jaksa Agung berwenang menetapkan dan mengendalikan politik hukum, sedangkan dalam UU yang lama menyebutkan menetapkan dan mengendalikan kebijakan penegakan hukum.
Padahal politik hukum seharusnya merupakan ranah DPR dan Pemerintah bukan domain pada Jaksa Agung.
Sementara itu, Fraksi PDI Perjuangan menyarankan perluasan kewenangan Kejaksaan untuk penyidikan tindak pidana tertentu yang tidak hanya pada tindak pidana korupsi yaitu seperti Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), tindak pidana kehutanan, pelanggaran HAM berat dan tindak pidana lainnya
Selain itu, F-PDIP menilai pengaturan penyadapan Kejaksaan perlu disajikan dengan kebutuhan pelaksanaan UU dan diatur batas kewenangan-nya agar tidak terjadi konflik antar-aparat yang berwenangan dalam melakukan penyadapan dalam konteks penegakan hukum maupun intelijen.
Selain itu muncul juga gagasan anggota Baleg DPR RI John Kenedy Azis (F-Golkar) dan Bukhori (F-PKS) yang menyarankan agar calon Jaksa Agung sebelum diangkat oleh Presiden, menjalani uji kelayakan dan kepatutan di DPR RI, yang diatur dalam revisi UU nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan.
Dijelaskan, pucuk pimpinan KPK dan Kapolri yang memiliki tugas hampir sama dengan Kejaksaan, menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR sebelum dilantik oleh Presiden.
Dari 33 RUU yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021, kemungkinan tidak semua bisa diselesaikan pembahasannya, pertama, karena kondisi pandemik COVID-19 yang masih melanda Indonesia sehingga dikhawatirkan kinerja DPR dalam menyelesaikan 33 RUU tersebut akan terkendala karena karena pembahasannya mengandalkan rapat virtual.
Kedua, pembahasan daftar Prolegnas Prioritas 2021 yang terlalu lama membuat waktu pembahasan RUU tidak bisa maksimal karena sebuah RUU belum bisa dibahas apabila Prolegnas belum disetujui dalam Rapat Paripurna DPR.
Padahal Prolegnas Prioritas 2021 sudah dibahas sejak November 2020 namun baru Maret 2021 diambil keputusan dalam Rapat Paripurna DPR. Padahal bulan Januari-Maret 2021 bisa dimanfaatkan untuk pembahasan RUU, namun kenyataannya waktu tersebut terbuang sia-sia.
Karena itu skala prioritas pembahasan RUU harus menjadi poin utama sehingga perlu dipertimbangkan RUU mana saja yang urgen dan dibutuhkan masyarakat.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2021