Direktur Eksekutif LSM LembAHtari Sayed Zainal menilai lembaga DPRK Aceh Tamiang tidak serius memperjuangkan nasib ribuan pegawai daerah dengan perjanjian kerja (PDPK/Honorer) di kabupaten itu yang kena pemutusan hubungan kerja (PHK).

Sebab, kata Sayed rekomendasi hasil rapat dengar pendapat (RDP) unsur pimpinan dan anggota Komisi I DPRK Aceh Tamiang bersama pihak eksekutif dan delegasi forum tenaga PDPK pada 28 November 2022 tidak ditindak lanjuti.

"Hasil rekomendasi RDP mereka (legislatif dan eksekutif) akan melakukan konsultasi ke Jakarta menemui Kemenpan RB namun tidak terlaksana sampai ketok palu pengesahan APBK TA 2023 tidak jadi pergi," kata Sayed Zainal dalam keterangan pers di Karang Baru, Aceh Tamiang, Selasa.

Baca juga: Nasib honorer di Aceh Tamiang di "ujung tanduk"

“Rekomendasi RDP tersebut tidak pernah terlaksana alias gagal total. Janji pihak eksekutif dan legislatif  di forum rapat akan berangkat ke Jakarta menghadap Menpan RB kandas di tengah jalan,” sambungnya.

Selain itu, ungkap Sayed Zainal rencana anggota dewan akan studi banding ke kabupaten lain di Aceh yang masih mengalokasikan anggaran tenaga honorer sampai akhir 2023 juga tidak diketahui publik apa hasilnya.

Kini realitanya sekitar 3.800 orang dari gelombang PDPK telah menjadi pengangguran baru Kabupaten di Aceh Tamiang. Jumlah tersebut meliputi sekitar 2.000 PDPK bertugas di instansi pemerintahan dan selebihnya PDPK tenaga kesehatan (Nakes) dan guru.

Baca juga: Disdikbud Banda Aceh gunakan dana bos untuk sejahterakan guru honorer

Mirisnya lagi mantan tenaga PDPK yang diputuskan kontraknya ini tanpa ada kepastian hak dan hukum. Nasib pegawai daerah kontrak berseragam biru hitam ini berakhir ketika APBK TA 2023 disahkan DPRK Aceh Tamiang tanpa mengakomodir biaya sumber gaji untuk PDPK.

“Saya rasa pimpinan DPRK Aceh Tamiang secara kolektif perlu menjelaskan ke publik mengapa anggaran PDPK sebesar Rp24 miliar/tahun dihilangkan, tapi tunjangan ASN seperti tambahan penghasilan pegawai (TPP) Rp59 miliar mulus. Wakil rakyat kita kok kalem dengan TPP ASN seolah takut memangkasnya,” tandasnya.

Menurut Sayed Zainal secara politis DPRK Aceh Tamiang juga tidak berbuat apa-apa untuk mempertahankan PDPK. Diketahui penghapusan PDPK/honorer se Indonesia berdasarkan  Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 49/2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), dan Surat Edaran (SE) Menpan RB RI Nomor. B/185/M.SM.02.03/2022 tentang Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Baca juga: Bakri Siddiq komit perjuangkan kesejahteraan guru di Banda Aceh

Seharusnya, saran Sayed Zainal partai politik  (Parpol) yang ada di daerah yang punya keterwakilan (kursi) di DPR RI Senayan wajib mengirimkan surat ke pusat untuk merevisi PP 49/2018.

“Ini tugasnya anggota dewan dari partai nasional (Parnas), karena yang bisa merevisi itu Parnas bukan partai lokal (Parlok). Kalau PP 49 itu direvisi, maka surat edaran Menpan RB Nomor 185 terdiri dari lima poin itu gugur demi hukum,” ujar alumni Fakultas Hukum Unsyiah ini.

Namun Sayed Zainal menyayangkan upaya itu sama sekali tidak pernah dilakukan DPRK Aceh Tamiang sejak PP Nomor 49/2018 terbit pada 28 November 2018. Padahal batas waktu selambat-lambatnya PP 49/2018 itu harus sudah terlaksana dan berakhir pada 28 November 2023. Artinya, sampai hari ini PP tersebut masih berlaku dan bisa direvisi.

“Sekarang bagaimana PP 49 itu diubah dan menerbitkan PP terbaru dengan menghapus pasal 6 menambahkan satu poin. Karena di pasal 6 disebut, yang dimaksud dengan ASN adalah PNS dan PPPK. Kenapa tidak ditambah poin honor daerah atau sebutan lain. Itu yang harus dilakukan dewan, karena hanya ada dua kategori saja,” saran Sayed.

“Tapi mana dewan kita dari Parnas ada buat surat ke DPR RI, coba tunjukkan publik ingin tahu perjuangan anggota dewan untuk rakyat. Paling hanya beri janji manis ‘angin surga’ kepada anak honorer di daerah supaya tidak demo,” pungkas Sayed Zainal, menyesalkan.

Pewarta: Dede Harison

Editor : Heru Dwi Suryatmojo


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2023