Menjelang pengajuan nama untuk menggantikan penjabat kepala daerah oleh DPR provinsi dan kabupaten/kota pada sejumlah daerah pada Juli 2023 mendatang, sebagian masyarakat mulai menyuarakan keberlanjutan masa tugas maupun pergantian penjabat.

Kota Lhokseumawe adalah salah satunya yang saat ini banyak suara dari warga yang mendukung Imran untuk tetap sebagai Penjabat (Pj) Wali Kota Lhokseumawe melanjutkan masa tugasnya di wilayah tersebut. Hal itu tidak lepas dari kontribusi dan aksi yang dilakukannya selama 11 bulan terakhir untuk proses pembangunan di Lhokseumawe. Mulai dari pengelolaan sampah untuk mengantisipasi banjir, peningkatan kapasitas SDM, pembinaan terhadap pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), penataan kota, peningkatan kinerja Aparatur Sipil Negara, dan beberapa hal lainnya.

Namun, ada juga sebagian warga yang ingin keberadaan penjabat daerah digantikan dengan orang lain. Dibuktikan dengan adanya rencana pengusulan nama oleh DPRK Lhokseumawe kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Itulah demokrasi, siapa pun bisa berpendapat hingga ke akar rumput.


Baca juga: Ikhtiar Menyelamatkan Puluhan Aset Pemerintah yang Mangkrak di Kota Lhokseumawe

Tim Antara Aceh mewawancarai sejumlah kalangan tentang kinerja Pj Wali Kota Lhokseumawe Imran. Akademisi dari Universitas Malikussaleh Dr. Damanhur Abbas, LC,. MA, mengatakan di Kota Lhokseumawe saat ini sedang terjadi proses normalisasi ibarat orang yang telah dipenjara di bawah tanah selama 10 tahun dan tidak pernah melihat matahari. 

Ketika orang diminta untuk menatap matahari lagi, maka matanya akan pedih untuk sesaat.

"Padahal matahari itu indah sekali, banyak manfaatnya seperti ultravioletnya baik untuk kesehatan. Namun pada orang yang telah dipenjara 10 atau 16 tahun, dia tetap tidak akan suka. Akan menangis dia melihatnya," kata Damanhur di Lhokseumawe, Kamis (15/6).
 
Akademisi dari Universitas Malikussaleh Dr. Damanhur Abbas, LC,. MA (ANTARA/Try Vanny)


Menurut dia, dari kinerja pemerintahan Imran selama ini seharusnya tidak lagi menjadi penjabat melainkan langsung sebagai wali kota. Masyarakat yang aliansinya tidak ditunggangi, lanjutnya, maka pasti akan sependapat untuk penugasan Imran terus diperpanjang karena ada trauma dengan pemerintahan yang lama.

"Warga sudah trauma dengan pemimpin daerah yang tidak ada apa-apanya, tidak ada pengaruh sama sekali itu yang paling menyedihkan. Kita lihat saja bagaimana beliau (Imran) mengatasi banjir, dulu 15 menit saja Lhokseumawe diguyur hujan sedang maka air langsung tergenang. Sekarang ini terlihat sekali perubahannya, pengelolaan sampah yang dilakukan sangat baik," jelasnya.

Menurut Damanhur, tata kelola pemerintah juga menjadi perubahan menonjol yang dilakukan oleh Imran. Diberlakukannya assesment terhadap pejabat dengan melibatkan banyak elemen untuk membuktikan kualifikasi pada bidangnya masing-masing. Hal tersebut yang dari dulu tidak ada.

"Mohon maaf, kadang sarjana kesehatan ditempatkan bukan pada bagian kesehatan. Ini yang menjadi fitnah bagi pejabat tersebut, ada indikasi jual beli jabatan. Seharusnya orang mengurus sesuai dengan keahliannya, ini perubahan yang sangat signifikan," pungkasnya. 
 


Salah seorang tokoh pemuda Lhokseumawe Rizki Azkia berpendapat, terkait adanya pengusulan nama untuk pergantian Pj Wali Kota membuat dirinya kaget karena kinerja pemerintahan saat ini sangat baik dalam hal kesehatan maupun pendidikan. Dirinya mempertanyakan mengapa DPRK tidak pernah berbicara kritis pada pemerintahan sebelumnya. 

"Kita melihat secara nyata, ada beberapa program yang dijalankan oleh Pak Pj sayangnya dewan tidak mendukung itu. Saya setuju kalau selama 10 hingga 15 tahun terakhir, Lhokseumawe ini mati suri," ucapnya.

Menurut Azkia, seharusnya untuk pembenahan Kota Lhokseumawe jangan ada pemimpin yang diusung dari partai karena dikhawatirkan akan lebih banyak kepentingannya atau "banyak bagi-bagi kuenya". Dibutuhkan pemimpin yang independen untuk memajukan Lhokseumawe.

Baca juga: Kejaksaan sudah sita aset Hariadi tersangka RS Arun Lhokseumawe Rp10 miliar

 
Tokoh pemuda Lhokseumawe Rizki Azkia (ANTARA/Try Vanny)



Terkait aksi Imran untuk menertibkan Pedagang Kaki Lima (PKL) dan pengurangan tenaga honorer di pemerintahan, Azkia menganggap itu hal yang wajar untuk menuai kontroversi karena bukan kebijakan populis. Namun, seharusnya warga berfikir realistis terkait perubahan yang telah terjadi di Lhokseumawe karena pemerintah tidak bisa mengambil kebijakan yang memuaskan semua pihak, namun keputusan yang bijak itu harus dilakukan.

"Terkait penertiban, Pj juga sudah memberikan solusi dengan pemindahan pedagang dari titik A ke titik B. Tapi masyarakat mungkin masih kaget, karena sudah 15 tahun seperti mati suri," ungkapnya.


Baca juga: Puluhan tenaga kesehatan kembali berunjuk rasa di Lhokseumawe tolak dirumahkan

Dirinya juga menanggapi terkait pengurangan honorer, dimana dengan pendapatan Kota Lhokseumawe yang tidak banyak dan telah adanya intruksi dari pusat, maka pengurangan memang harus dilakukan. Daripada nantinya pekerja tidak bisa menerima gaji, maka seharusnya bisa berbesar hati untuk menerima keputusan itu.

Bagi pihak tertentu yang berusaha mengganti Pj, Azkia menganggap hal tersebut hanya dilakukan oleh pihak yang tidak dapat memperoleh keuntungan. 

"Saya selalu mendukung penuh Pj asalkan itu untuk kebaikan Lhokseumawe, beliau tidak sendirian. Respon dan kepeduliannya cepat, contoh kasus saat kami berikan laporan ada anak disabilitas di Pusong membutuhkan bantuan, langsung ditindak lanjuti," ujarnya.

 


Hal senada juga disampaikan oleh seorang aktivis sosial Dwi Fitri, bahwa pemimpin Lhokseumawe selama 10 tahun terakhir tidak solutif dalam melihat dan menyelesaikan masalah kota. Untuk mengelola kota yang sudah kronis, lanjutnya, memang membutuhkan pemimpin yang berani dan "gila" dalam mengambil keputusan.

"Masa bertugasnya masih belum setahun, tapi gebrakan yang dilakukannya luar biasa. Bagaimana dia membenahi pasar, pedagang ditata kembali sampai pada penjahit sepatu, saya memperhatikan itu. Hingga kegiatan warga cerita di hari Minggu pada Ahad Festival, yang membuat UMKM bergeliat kembali," katanya.

Menurut Dwi, jika adanya riak-riak yang ingin menggantikan keberadaan Pj wali kota maka menurutnya itu hanyalah pihak yang merasa "gerah" dengan keberadaan Imran. Terlebih dengan gerak cepat dan aksi "gila" yang dilakukan Imran, ada pihak yang tersudutkan karena berada di zona nyaman dengan tata kelola, birokrasi, dan tata ruang yang semberaut.

"Kita harus melihat lagi, orang yang menolak keberadaan Pj itu murni atau murni-murnian," tegasnya.

 
Aktivis sosial Dwi Fitri di Lhokseumawe. (ANTARA/Try Vanny)


Menurut Dwi, Imran seharusnya menjadi wali kota karena merupakan putra daerah yang memang punya rasa kepemilikan yang begitu tinggi kepada Kota Lhokseumawe. Mungkin sebelumnya hanya bisa mendengar tanpa bisa berbuat, sekarang saatnya untuk berbuat. 

"Kita tidak mungkin terus mementingkan ego sendiri maupun ego kelompok, tapi lihat kemaslahatannya untuk masyarakat umum, itu yang lebih penting. 

Pada pertemuan ilmiah, Dwi juga mengaku selalu mendukung Imran melalui ide inovatif dan memberikan apresiasi terhadap yang telah dilakukan. Dirinya selalu mendukung program yang dilakukan hingga saat ini, terlebih adanya perubahan besar yang terlihat.

"Lhokseumawe ini harus membangun, jangan lagi jadi kota yang jorok, tata ruang amburadul, belum lagi program pemberdayaan masyarakat yang bisa dikatakan nihil. Saya bisa tegaskan itu nihil, karena saya juga bergerak pada bidang sosial dan pengabdian masyarakat. Jangankan memberi bantuan, melihat sebelah matapun tidak mau. Jadi saya memiliki optimisme yang tinggi pada Pj saat ini," tegasnya.

 


Baca juga: Pj Wali Kota: Program satu juta buku tingkatkan minat baca di Lhokseumawe

Pewarta: Tim Antara Aceh

Editor : Febrianto Budi Anggoro


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2023