Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) melakukan revisi Qanun (peraturan daerah) Aceh Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pilkada dalam rangka penyesuaian kembali dengan regulasi dan peraturan perundang-undangan terbaru di pusat.
"Jadi dalam revisi ini ada beberapa memang yang dihapus dan ada beberapa ditambahkan, serta ada yang disesuaikan," kata Ketua Komisi I DPRA Iskandar Usman Al Farlaky, di Banda Aceh, Kamis.
Iskandar menyampaikan, revisi qanun tersebut sebenarnya sudah dimulai lama sewaktu perencanaan Pilkada Aceh dilaksanakan 2022. Tetapi kemudian Pemerintah Pusat menentukan serentak pada 2024. Maka poin tersebut juga disesuaikan.
Baca juga: Tunggakan iuran kesehatan ke BPJS Rp761 miliar, begini komitmen Pemerintah Aceh menyelesaikannya
Kemudian, kata Iskandar, terdapat beberapa regulasi, Undang-undang, termasuk putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan peraturan lainnya sudah berubah, maka itu juga dijadikan pedoman penyesuaian kembali Qanun Aceh.
Kemudian, beberapa aturan lainnya terkait dengan pengawasan harus disesuaikan kembali, soal anggaran juga harus disesuaikan lagi dengan nasional.
"Maka direvisi qanun kita ini kita masukan itu, tetapi revisinya tidak perlu banyak, karena hanya mengadopsi dan menyesuaikan dengan UU dan peraturan Pemerintah Pusat," ujarnya.
Iskandar menuturkan, revisi qanun Pilkada Aceh juga terdapat beberapa pasal yang tidak sesuai lagi. Misalnya, terkait hukuman bagi terpidana itu sudah ada putusan MK. Di mana sebelumnya Aceh hanya merujuk pada UU Pemerintah Aceh saja.
"Tetapi kemudian ada gugatan di MK yang sifat final, maka kita harus merubah kembali, termasuk mengubah nya dalam revisi UUPA nanti," katanya.
Tak hanya itu, lanjut Iskandar, terkait dengan penganggaran Pilkada, sesuai petunjuk teknis dan UU. Banyak yang dibebankan pada anggaran daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota, serta sharing APBA hingga APBN.
Kemudian, ada surat edaran Mendagri terkait dengan anggaran Pilkada itu diwajibkan pada anggaran perubahan hanya 40 persen dari jumlah total yang diusulkan. Kemudian di 2024 itu dibebankan 60 persen.
Kondisi tersebut sangat tidak memungkinkan bagi daerah yang defisit seperti salah satu kabupaten di Aceh yakni Aceh Utara. Daerah itu tidak memiliki anggaran yang cukup seperti yang dibebankan seperti edaran Mendagri.
Sementara anggaran yang mereka miliki dari perubahan ini hanya Rp70 miliar, kalau semua di plot ke Pilkada sebagaimana diwajibkan Mendagri, itu secara otomatis (daerah) tidak punya belanja untuk sektor lain.
Daerah yang kekurangan anggaran seperti itu hanya berharap adanya dana sharing, misalnya dari pemerintah provinsi. Karena itu, qanun Aceh tersebut perlu dilakukan penyesuaian kembali.
"Maka saya juga meminta KIP Aceh untuk rapat koordinasi dengan melibatkan KIP kabupaten/kota, perwakilan pemerintah dari biro anggaran masing-masing untuk membicarakan persoalan ini," demikian Iskandar Usman Al Farlaky.
Baca juga: Sekda: Aceh memerlukan regulasi ketahanan pangan
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2023
"Jadi dalam revisi ini ada beberapa memang yang dihapus dan ada beberapa ditambahkan, serta ada yang disesuaikan," kata Ketua Komisi I DPRA Iskandar Usman Al Farlaky, di Banda Aceh, Kamis.
Iskandar menyampaikan, revisi qanun tersebut sebenarnya sudah dimulai lama sewaktu perencanaan Pilkada Aceh dilaksanakan 2022. Tetapi kemudian Pemerintah Pusat menentukan serentak pada 2024. Maka poin tersebut juga disesuaikan.
Baca juga: Tunggakan iuran kesehatan ke BPJS Rp761 miliar, begini komitmen Pemerintah Aceh menyelesaikannya
Kemudian, kata Iskandar, terdapat beberapa regulasi, Undang-undang, termasuk putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan peraturan lainnya sudah berubah, maka itu juga dijadikan pedoman penyesuaian kembali Qanun Aceh.
Kemudian, beberapa aturan lainnya terkait dengan pengawasan harus disesuaikan kembali, soal anggaran juga harus disesuaikan lagi dengan nasional.
"Maka direvisi qanun kita ini kita masukan itu, tetapi revisinya tidak perlu banyak, karena hanya mengadopsi dan menyesuaikan dengan UU dan peraturan Pemerintah Pusat," ujarnya.
Iskandar menuturkan, revisi qanun Pilkada Aceh juga terdapat beberapa pasal yang tidak sesuai lagi. Misalnya, terkait hukuman bagi terpidana itu sudah ada putusan MK. Di mana sebelumnya Aceh hanya merujuk pada UU Pemerintah Aceh saja.
"Tetapi kemudian ada gugatan di MK yang sifat final, maka kita harus merubah kembali, termasuk mengubah nya dalam revisi UUPA nanti," katanya.
Tak hanya itu, lanjut Iskandar, terkait dengan penganggaran Pilkada, sesuai petunjuk teknis dan UU. Banyak yang dibebankan pada anggaran daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota, serta sharing APBA hingga APBN.
Kemudian, ada surat edaran Mendagri terkait dengan anggaran Pilkada itu diwajibkan pada anggaran perubahan hanya 40 persen dari jumlah total yang diusulkan. Kemudian di 2024 itu dibebankan 60 persen.
Kondisi tersebut sangat tidak memungkinkan bagi daerah yang defisit seperti salah satu kabupaten di Aceh yakni Aceh Utara. Daerah itu tidak memiliki anggaran yang cukup seperti yang dibebankan seperti edaran Mendagri.
Sementara anggaran yang mereka miliki dari perubahan ini hanya Rp70 miliar, kalau semua di plot ke Pilkada sebagaimana diwajibkan Mendagri, itu secara otomatis (daerah) tidak punya belanja untuk sektor lain.
Daerah yang kekurangan anggaran seperti itu hanya berharap adanya dana sharing, misalnya dari pemerintah provinsi. Karena itu, qanun Aceh tersebut perlu dilakukan penyesuaian kembali.
"Maka saya juga meminta KIP Aceh untuk rapat koordinasi dengan melibatkan KIP kabupaten/kota, perwakilan pemerintah dari biro anggaran masing-masing untuk membicarakan persoalan ini," demikian Iskandar Usman Al Farlaky.
Baca juga: Sekda: Aceh memerlukan regulasi ketahanan pangan
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2023