Polres Lhokseumawe, Aceh, mendorong penyelesaian kasus tindak pidana ringan (tipiring) di desa dapat diselesaikan secara hukum adat oleh pemangku kepentingan di wilayah masing-masing.
"Penegakan hukum secara adat tersebut ada dalam Pasal 14 Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008, yang mengatur tata cara penyelesaian sengketa adat," kata Kapolres Lhokseumawe AKBP Henki Ismanto melalui Kasikum Polres Lhokseumawe, AKP J Situmorang, di Lhokseumawe, Senin.
Situmorang mengatakan, dalam qanun tersebut terdapat 18 kasus tindak pidana ringan yang seharusnya dapat diselesaikan melalui peradilan adat di gampong (desa), tanpa perlu diproses ke kantor polisi.
Kemudian, kata dia, pada pasal 13 ayat 3, penegak hukum memberikan kesempatan agar sengketa/ perselisihan diselesaikan terlebih dahulu secara adat di gampong dengan melibatkan pemangku adat seperti keuchik (kepala desa), imum meunasah, tuha peut, sekretaris gampong, ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya.
"Jika di gampong tidak selesai maka diselesaikan tingkat mukim dengan pemangku adat," ujarnya.
Namun, kata dia, jika perselisihan di laut, maka diselesaikan oleh Panglima Laot (laut) atau lembaga adat laut di Aceh.
Lalu, kalau perkara tidak menemukan solusi pada tingkatan adat, maka korban dapat meminta surat keterangan kepada kepala desa sebagai dasar melanjutkan laporan polisi, agar permasalahan tersebut dapat ditindaklanjuti sampai ada kepastian hukum
"Kasus-kasus tipiring kita harapkan bisa diselesaikan di tingkat gampong tanpa harus ke ranah hukum. Tapi, bila tidak ada solusi, maka bisa saja mengarah ke proses hukum," katanya.
Dirinya juga berharap, penegakan hukum adat untuk menyelesaikan perselisihan dengan cara yang lebih bermartabat dan adil, sesuai nilai-nilai kearifan lokal yang berlaku di Aceh.
"Sebagai aparat penegak hukum, kami mendukung penuh pelaksanaan hukum adat yang telah menjadi bagian integral dari identitas masyarakat Aceh," demikian J Situmorang.
Adapun perkara di tingkat gampong yang bisa diselesaikan dengan hukum adat yakni masalah rumah tangga, sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh, perselisihan antar warga, khalwat (mesum), tentang hak milik, pencurian dalam keluarga.
Kemudian, perselisihan harta sehareukat, pencurian ringan, pencurian ternak peliharaan, pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan, persengketaan di laut, pasar, penganiayaan ringan, pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat).
Selanjutnya, pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik, pencemaran lingkungan (skala ringan), ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman), perselisihan lain yang melanggar adat istiadat.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024
"Penegakan hukum secara adat tersebut ada dalam Pasal 14 Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008, yang mengatur tata cara penyelesaian sengketa adat," kata Kapolres Lhokseumawe AKBP Henki Ismanto melalui Kasikum Polres Lhokseumawe, AKP J Situmorang, di Lhokseumawe, Senin.
Situmorang mengatakan, dalam qanun tersebut terdapat 18 kasus tindak pidana ringan yang seharusnya dapat diselesaikan melalui peradilan adat di gampong (desa), tanpa perlu diproses ke kantor polisi.
Kemudian, kata dia, pada pasal 13 ayat 3, penegak hukum memberikan kesempatan agar sengketa/ perselisihan diselesaikan terlebih dahulu secara adat di gampong dengan melibatkan pemangku adat seperti keuchik (kepala desa), imum meunasah, tuha peut, sekretaris gampong, ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya.
"Jika di gampong tidak selesai maka diselesaikan tingkat mukim dengan pemangku adat," ujarnya.
Namun, kata dia, jika perselisihan di laut, maka diselesaikan oleh Panglima Laot (laut) atau lembaga adat laut di Aceh.
Lalu, kalau perkara tidak menemukan solusi pada tingkatan adat, maka korban dapat meminta surat keterangan kepada kepala desa sebagai dasar melanjutkan laporan polisi, agar permasalahan tersebut dapat ditindaklanjuti sampai ada kepastian hukum
"Kasus-kasus tipiring kita harapkan bisa diselesaikan di tingkat gampong tanpa harus ke ranah hukum. Tapi, bila tidak ada solusi, maka bisa saja mengarah ke proses hukum," katanya.
Dirinya juga berharap, penegakan hukum adat untuk menyelesaikan perselisihan dengan cara yang lebih bermartabat dan adil, sesuai nilai-nilai kearifan lokal yang berlaku di Aceh.
"Sebagai aparat penegak hukum, kami mendukung penuh pelaksanaan hukum adat yang telah menjadi bagian integral dari identitas masyarakat Aceh," demikian J Situmorang.
Adapun perkara di tingkat gampong yang bisa diselesaikan dengan hukum adat yakni masalah rumah tangga, sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh, perselisihan antar warga, khalwat (mesum), tentang hak milik, pencurian dalam keluarga.
Kemudian, perselisihan harta sehareukat, pencurian ringan, pencurian ternak peliharaan, pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan, persengketaan di laut, pasar, penganiayaan ringan, pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat).
Selanjutnya, pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik, pencemaran lingkungan (skala ringan), ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman), perselisihan lain yang melanggar adat istiadat.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024