Banda Aceh (Antaranews Aceh) - Aroma tak sedap menyambar penciuman, tumpukan botol-botol plastik bekas minuman tergelatak hampir di setiap serambi rumah.
Tak ada bunga warna-warni yang terlihat. Bangunan dari triplek itu terlihat seperti gudang tempat menyimpan barang bekas, bukan layaknya rumah.
Setiap pemiliknya duduk bersama tumpukan botol-botol sambil memegang pisau, menyayat pinggir bibir gelas plastik.
Sore itu, matahari masih terik, Dewi Sartika memilih kembali ke rumah setelah mengantar kue dan minuman untuk rekan kerjanya, sekitar satu kilometer dari tempat kerja.
Rumah Dewo berada di bantaran laut di Gampong (desa) Jawa, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh. Sebuah desa tak jauh dari pusat Ibu kota Provinsi Aceh.
Tempat itu memang sejak lama dikenal dengan warganya yang mayoritas berprofesi sebagai pemulung. Wajar saja jika setiap rumah di sini hampir semuanya terdapat tumpukan sampah plastik.
Pemulung, di masyarakat sering dianggap memiliki konotasi yang negatif, padahal pemulung merupakan pahlawan kebersihan yang turut membantu menjaga kebersihan kota. Meskipun harus mengorbankan rumahnya dipenuhi dengan tumpukan sampah.
Hampir setiap orang tidak akan terlepas dari yang namanya bahan plastik dalam kehidupan sehari-hari. Plastik memang telah menjadi komponen penting dalam kehidupan modern saat ini. Bahkan perannya dapat menggantikan kayu dan logam, karena sifatnya yang lebih fleksibel. Peningkatan penggunaan bahan plastik ini mengakibatkan meningkatnya pula sampah plastik.
Sampah plastik merupakan satu dari banyaknya jenis sampah yang sangat sulit diurai dalam tanah. Melakukan pembuangan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah juga bukan solusi yang bijak.
Oleh sebab itu, peran pemulung patut diapresiasikan. Walaupun tidak seratus persen dapat mengurangi sampah itu sendiri.
Sudah sepuluh tahun Dewi melakukan profesinya sebagai pemulung, setelah memutuskan menikah dan ikut bersama suaminya ke kota Banda Aceh.
Mereka tidak hanya mengumpulkan barang bekas plastik saja, namun juga pakaian-pakaian bekas yang masih layak pakai namun sengaja dibuang oleh pemiliknya. Barang-barang ini akan ia jual kembali. Biasanya ia menjual botol bekas setiap seminggu sekali atau bahkan sebulan sekali.
Barang yang ia kumpulkan sengaja diambil dari TPA Gampong Jawa, yang ia lakukan setiap pagi dan sore hari. Bukan hanya bau tak sedap yang sering ia rasakan, resiko burukpun kerap terjadi.
Ia mengaku hampir setiap hari terkena pecahan kaca ketika mengambil barang bekas, bahkan kepalanya pernah tak sengaja terkena ujung alat keruk dari excavator hingga membuatnya harus melakukan kontrol ke rumah sakit setiap dua minggu sekali.
Sebelum adanya larangan pembuangan sampah medis yang disatukan dengan sampah masyarakat, ia juga kerap terkena ujung jarum suntik.
Hidup bersama sampah
Ia bersama suami dan dua anak serta ibu kandungnya, memilih hidup bersama sampah. Baginya itu lebih baik dari pada harus meminta-minta atau bekerja pada orang lain.
"Kalau saya, tidak apa apa hidup bersama sampah. Yang penting halal. Tidak bekerja dengan bergantung sama orang lain. Apalagi sampai minta-minta," katanya.
Memang tak seberapa hasil yang ia dapatkan, tapi baginya cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan juga sekolah anak. Biasanya ia bisa memperoleh uang Rp300.000 dalam waktu seminggu. Anak pertamanya kini berada di bangku kelas satu sekolah dasar.
Ia tidak malu memperkenalkan dirinya sebagai pemulung. Tanggapan negatif dari masyarakat tentang pemulung ia anggap biasa saja.
Menurutnya masyarakat masih banyak yang belum tau bagaimana kehidupan mereka aslinya. Padahal sama saja dengan masyarakat pada umumnya. Hanya saja, kehidupan mereka berdampingan langsung dengan sampah sehingga terkadang memiliki penilaian yang negatif.
"Saya nggak malu jadi pemulung. Orang di luar sana, anggap remeh kami pemulung. Padahal kami sama aja. Cuma karena hidup bersama sampah aja yang buat beda," ujarnya.
Hidup di lingkungan yang penuh dengan sampah tentunya menurut pandangan banyak orang memiliki resiko gangguan kesehatan yang besar.
Gangguan pernafasan, kulit, hingga diare misalnya, tentu menjadi bayang-bayang dalam kehidupan di lingkungan seperti ini.
Bau busuk sampah tentu tidak sehat jika dihirup setiap hari. Demikian juga dengan fisik sampah yang diharapkan tidak berdampingan langsung dengan warga.
Hal ini tentunya mengundang banyak pihak kesehatan terkait, seperti mahasiswa yang menempuh pendidikan kesehatan, memilih tempat ini sebagai sample penelitian.
Namun demikian, hidup 24 jam bersama sampah nyatanya justru melahirkan kekebalan fisik tersendiri untuk keluarga pemulung.
Dewi mengaku dirinya dan keluarga hampir bisa dikatakan tidak pernah menderita penyakit yang serius.
"Alhamdulillah, saya udah sepuluh tahun tinggal di sini tapi sehat-sehat aja. Anak-anak juga. Paling sakit biasa, batuk, pilek, demam, wajar. Apalagi kalau lagi musimnya. Mau di tempat seperti ini maupun di kota sekalipun, kalau cuma flu pun pasti kena," jelasnya.
Ia juga bercerita, dirinya kerap dimintai untuk menjadi sample penilitian. Meskipun ia yakin akan kesehatannya. Ia tetap bersedia.
Menurut Dewi, tetap ada kebaikan yang diberikan atas dasar kepedulian akan kesehatan oleh mereka yang hidup lebih layak darinya.
"Walaupun saya yakin sama kesehatan saya, kadang saya kasih juga apa yang diminta. Cuma kadang kalau keseringan, capek juga kan. Jadi kadang saya jawab semalam baru aja minum obat," ujarnya diselingi dengan tawa.
Pendidikan pemulung
Meskipun kehidupannya kerap di pandang negatif, namun orang tua di sini tetap mengutamakan pendidikan untuk anak-anak mereka. Anak-anak pemulung Gampong Jawa tetap bersekolah sebagaimana anak-anak pada umumnya, mereka juga mendapat bimbingan belajar gratis.
Bimbingan belajar gratis ini merupakan inisiatif Maulidar bersama rekannya. Mereka membentuk sebuah taman edukasi sejak tahun 2012.
Awalnya taman edukasi ini tidak memiliki tempat yang tetap, kerap kali berpindah-pidah, tanpa sekat dinding maupun bangku yang berjejer layaknya taman belajar pada umumnya.
Hanya terpal yang digelar di tanah lapang di Lorong Ujong. Namun sejak enam bulan terakhir, taman belajar ini kini memiliki tempat sendiri. Sederhana memang, berbentuk balai namun setidaknya mereka tetap bisa belajar ketika musim hujan.
Sore itu, anak-anak mulai berlarian menghampiri relawan muda, mereka takzim menyalami guru tanpa pamrih satu persatu. Kegimbaraan jelas terlihat di raut wajahnya.
"Kak, kita jangan libur-libur lagi lah," kata seorang anak sambil mengacungkan tangannya. Ada delapan puluh siswa di taman belajar ini. Semuanya terdiri dari siswa SD hingga SMA.
Mereka mulai ramai berdatangan, semakin bertambah setiap menitnya. Berebut untuk duduk di samping relawan muda yang mengajari mereka. Putri, siswi kelas dua SD yang belajar di tempat tersebut, sibuk menenteng tas dari plastik. Di dalam tas itu ia membawa buku tulis dan buku kecil yang sudah ia tempeli gambar-gambar.
"Senang belajar di sini. Biasanya belajar tempel gambar, belajar nari, pokoknya banyak," katanya.
Di Taman edukasi ini, mereka ditempa dengan berbagai ilmu pengetahuan, baik ilmu agama, belajar membaca, menulis, menghitung, bahasa Inggris, dan juga kesenian. Anak-anak pemulung yang belajar di sini juga merupakan mereka yang mengenyam pendidikan formal, dan hasilnya mereka kerap meraih prestasi di sekolahnya.
Maqfirah misalnya, siswi kelas dua SMP ini kerap meraih peringkat satu di ekolahnya. Menurut dia, taman edukasi yang ada di lingkungan tempat tinggalnya dapat membantu dirinya dalam menuntut ilmu.
Biasanya ia akan meminta bantuan kakak-kakak relawan di taman edukasi ini dalam mengerjakan tugas sekolah.
"Biasanya kalau ada tugas, sering minta bantu kakak-kakak di sini. Alhamdulillah sering dapat peringkat satu di sekolah," ujarnya.
Mereka tak hanya meraih prestasi di sekolah formal saja. Di taman edukasi ini mereka juga diberi penghargaan untuk yang memiliki kelebihan dalam menguasai pelajaran. Biasanya anak-anak yang meraih prestasi, selain mendapatkan hadiah, juga akan diajak jalan-jalan oleh relawan di sini.
Kegiatan belajar mengajar ini dilakukan lima hari dalam seminggu, yaitu dari hari Rabu hingga Minggu. Relawan yang mengajar juga berganti-ganti. Hanya ada empat relawan tetap yang dikoordinasikan oleh Maulidar. Selebihnya terkadang ada mahasiswa yang secara sukarela meminta untuk mengajar di sini.
"Kalau untuk relawan tetap, kami cuma berempat. Selebihnya biasanya ganti-ganti, ada mahasiswa yang sukarela mau mengajar di sini," kata Zimmi, salah satu relawan yang telah bergabung selama satu tahun.
Qanun sampah
Pemerintah Kota Banda Aceh melalui Dinas Lingkungan Hidup Kebersihan dan Keindahan Kota (DLHK3) Banda Aceh, terhitung sejak 1 Januari 2019, mulai menindak pelanggar Qanun Kota Banda Aceh Nomor 1 tahun 2017 tentang pengelolaan sampah.
Bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran dengan membuang sampah sembarangan, baik sampah dari kendaraan, dapat dikenakan sanksi pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda maksimal Rp10 juta.
Selaras dengan kebijakan pemerintah tersebut, maka peran pemulung yang ada di Kota Banda Aceh tentunya menjadi salah satu upaya membantu pemerintah dalam menjaga kebersihan dan keindahan kota. Hal itu ditegaskan pula oleh Kepala DLHK3 Banda Aceh, Teuku Samsuar.
"Keberadaan pemulung di Gampong Jawa tentunya juga kami bina, dan kami beri kesempatan. Selama mereka juga mengikuti aturan yang telah dibuat oleh pemerintah," ujar dia.
sampah itu juga dikelola, ditimbun dan didaur ulang. Dari kebijakan pemerintah juga, telah memberikan kepada para pemulung bantuan seperti sepatu sebagai atribut bekerja, katanya.
Menurutnya, pemulung juga melakukan demikian untuk menyambung hidup dan meningkatkan perekonomian. Peran mereka dalam memanfaatkan barang bekas tentunya sangat bagus dan bernilai ekonomis. Dalam hal ini baik pemerintah maupun pemulung juga saling menguntungkan.
"Artinya mereka sudah dari tahun ke tahun bekerjasama dengan pemerintah, sehingga saling menguntungkan. Sampah yang dibuang, yang tidak bisa diurai oleh tanah, mereka kumpulkan, mereka jual kembali. Karena tidak seluruhnya sampah juga dibuang ke TPA," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019
Tak ada bunga warna-warni yang terlihat. Bangunan dari triplek itu terlihat seperti gudang tempat menyimpan barang bekas, bukan layaknya rumah.
Setiap pemiliknya duduk bersama tumpukan botol-botol sambil memegang pisau, menyayat pinggir bibir gelas plastik.
Sore itu, matahari masih terik, Dewi Sartika memilih kembali ke rumah setelah mengantar kue dan minuman untuk rekan kerjanya, sekitar satu kilometer dari tempat kerja.
Rumah Dewo berada di bantaran laut di Gampong (desa) Jawa, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh. Sebuah desa tak jauh dari pusat Ibu kota Provinsi Aceh.
Tempat itu memang sejak lama dikenal dengan warganya yang mayoritas berprofesi sebagai pemulung. Wajar saja jika setiap rumah di sini hampir semuanya terdapat tumpukan sampah plastik.
Pemulung, di masyarakat sering dianggap memiliki konotasi yang negatif, padahal pemulung merupakan pahlawan kebersihan yang turut membantu menjaga kebersihan kota. Meskipun harus mengorbankan rumahnya dipenuhi dengan tumpukan sampah.
Hampir setiap orang tidak akan terlepas dari yang namanya bahan plastik dalam kehidupan sehari-hari. Plastik memang telah menjadi komponen penting dalam kehidupan modern saat ini. Bahkan perannya dapat menggantikan kayu dan logam, karena sifatnya yang lebih fleksibel. Peningkatan penggunaan bahan plastik ini mengakibatkan meningkatnya pula sampah plastik.
Sampah plastik merupakan satu dari banyaknya jenis sampah yang sangat sulit diurai dalam tanah. Melakukan pembuangan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah juga bukan solusi yang bijak.
Oleh sebab itu, peran pemulung patut diapresiasikan. Walaupun tidak seratus persen dapat mengurangi sampah itu sendiri.
Sudah sepuluh tahun Dewi melakukan profesinya sebagai pemulung, setelah memutuskan menikah dan ikut bersama suaminya ke kota Banda Aceh.
Mereka tidak hanya mengumpulkan barang bekas plastik saja, namun juga pakaian-pakaian bekas yang masih layak pakai namun sengaja dibuang oleh pemiliknya. Barang-barang ini akan ia jual kembali. Biasanya ia menjual botol bekas setiap seminggu sekali atau bahkan sebulan sekali.
Barang yang ia kumpulkan sengaja diambil dari TPA Gampong Jawa, yang ia lakukan setiap pagi dan sore hari. Bukan hanya bau tak sedap yang sering ia rasakan, resiko burukpun kerap terjadi.
Ia mengaku hampir setiap hari terkena pecahan kaca ketika mengambil barang bekas, bahkan kepalanya pernah tak sengaja terkena ujung alat keruk dari excavator hingga membuatnya harus melakukan kontrol ke rumah sakit setiap dua minggu sekali.
Sebelum adanya larangan pembuangan sampah medis yang disatukan dengan sampah masyarakat, ia juga kerap terkena ujung jarum suntik.
Hidup bersama sampah
Ia bersama suami dan dua anak serta ibu kandungnya, memilih hidup bersama sampah. Baginya itu lebih baik dari pada harus meminta-minta atau bekerja pada orang lain.
"Kalau saya, tidak apa apa hidup bersama sampah. Yang penting halal. Tidak bekerja dengan bergantung sama orang lain. Apalagi sampai minta-minta," katanya.
Memang tak seberapa hasil yang ia dapatkan, tapi baginya cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan juga sekolah anak. Biasanya ia bisa memperoleh uang Rp300.000 dalam waktu seminggu. Anak pertamanya kini berada di bangku kelas satu sekolah dasar.
Ia tidak malu memperkenalkan dirinya sebagai pemulung. Tanggapan negatif dari masyarakat tentang pemulung ia anggap biasa saja.
Menurutnya masyarakat masih banyak yang belum tau bagaimana kehidupan mereka aslinya. Padahal sama saja dengan masyarakat pada umumnya. Hanya saja, kehidupan mereka berdampingan langsung dengan sampah sehingga terkadang memiliki penilaian yang negatif.
"Saya nggak malu jadi pemulung. Orang di luar sana, anggap remeh kami pemulung. Padahal kami sama aja. Cuma karena hidup bersama sampah aja yang buat beda," ujarnya.
Hidup di lingkungan yang penuh dengan sampah tentunya menurut pandangan banyak orang memiliki resiko gangguan kesehatan yang besar.
Gangguan pernafasan, kulit, hingga diare misalnya, tentu menjadi bayang-bayang dalam kehidupan di lingkungan seperti ini.
Bau busuk sampah tentu tidak sehat jika dihirup setiap hari. Demikian juga dengan fisik sampah yang diharapkan tidak berdampingan langsung dengan warga.
Hal ini tentunya mengundang banyak pihak kesehatan terkait, seperti mahasiswa yang menempuh pendidikan kesehatan, memilih tempat ini sebagai sample penelitian.
Namun demikian, hidup 24 jam bersama sampah nyatanya justru melahirkan kekebalan fisik tersendiri untuk keluarga pemulung.
Dewi mengaku dirinya dan keluarga hampir bisa dikatakan tidak pernah menderita penyakit yang serius.
"Alhamdulillah, saya udah sepuluh tahun tinggal di sini tapi sehat-sehat aja. Anak-anak juga. Paling sakit biasa, batuk, pilek, demam, wajar. Apalagi kalau lagi musimnya. Mau di tempat seperti ini maupun di kota sekalipun, kalau cuma flu pun pasti kena," jelasnya.
Ia juga bercerita, dirinya kerap dimintai untuk menjadi sample penilitian. Meskipun ia yakin akan kesehatannya. Ia tetap bersedia.
Menurut Dewi, tetap ada kebaikan yang diberikan atas dasar kepedulian akan kesehatan oleh mereka yang hidup lebih layak darinya.
"Walaupun saya yakin sama kesehatan saya, kadang saya kasih juga apa yang diminta. Cuma kadang kalau keseringan, capek juga kan. Jadi kadang saya jawab semalam baru aja minum obat," ujarnya diselingi dengan tawa.
Pendidikan pemulung
Meskipun kehidupannya kerap di pandang negatif, namun orang tua di sini tetap mengutamakan pendidikan untuk anak-anak mereka. Anak-anak pemulung Gampong Jawa tetap bersekolah sebagaimana anak-anak pada umumnya, mereka juga mendapat bimbingan belajar gratis.
Bimbingan belajar gratis ini merupakan inisiatif Maulidar bersama rekannya. Mereka membentuk sebuah taman edukasi sejak tahun 2012.
Awalnya taman edukasi ini tidak memiliki tempat yang tetap, kerap kali berpindah-pidah, tanpa sekat dinding maupun bangku yang berjejer layaknya taman belajar pada umumnya.
Hanya terpal yang digelar di tanah lapang di Lorong Ujong. Namun sejak enam bulan terakhir, taman belajar ini kini memiliki tempat sendiri. Sederhana memang, berbentuk balai namun setidaknya mereka tetap bisa belajar ketika musim hujan.
Sore itu, anak-anak mulai berlarian menghampiri relawan muda, mereka takzim menyalami guru tanpa pamrih satu persatu. Kegimbaraan jelas terlihat di raut wajahnya.
"Kak, kita jangan libur-libur lagi lah," kata seorang anak sambil mengacungkan tangannya. Ada delapan puluh siswa di taman belajar ini. Semuanya terdiri dari siswa SD hingga SMA.
Mereka mulai ramai berdatangan, semakin bertambah setiap menitnya. Berebut untuk duduk di samping relawan muda yang mengajari mereka. Putri, siswi kelas dua SD yang belajar di tempat tersebut, sibuk menenteng tas dari plastik. Di dalam tas itu ia membawa buku tulis dan buku kecil yang sudah ia tempeli gambar-gambar.
"Senang belajar di sini. Biasanya belajar tempel gambar, belajar nari, pokoknya banyak," katanya.
Di Taman edukasi ini, mereka ditempa dengan berbagai ilmu pengetahuan, baik ilmu agama, belajar membaca, menulis, menghitung, bahasa Inggris, dan juga kesenian. Anak-anak pemulung yang belajar di sini juga merupakan mereka yang mengenyam pendidikan formal, dan hasilnya mereka kerap meraih prestasi di sekolahnya.
Maqfirah misalnya, siswi kelas dua SMP ini kerap meraih peringkat satu di ekolahnya. Menurut dia, taman edukasi yang ada di lingkungan tempat tinggalnya dapat membantu dirinya dalam menuntut ilmu.
Biasanya ia akan meminta bantuan kakak-kakak relawan di taman edukasi ini dalam mengerjakan tugas sekolah.
"Biasanya kalau ada tugas, sering minta bantu kakak-kakak di sini. Alhamdulillah sering dapat peringkat satu di sekolah," ujarnya.
Mereka tak hanya meraih prestasi di sekolah formal saja. Di taman edukasi ini mereka juga diberi penghargaan untuk yang memiliki kelebihan dalam menguasai pelajaran. Biasanya anak-anak yang meraih prestasi, selain mendapatkan hadiah, juga akan diajak jalan-jalan oleh relawan di sini.
Kegiatan belajar mengajar ini dilakukan lima hari dalam seminggu, yaitu dari hari Rabu hingga Minggu. Relawan yang mengajar juga berganti-ganti. Hanya ada empat relawan tetap yang dikoordinasikan oleh Maulidar. Selebihnya terkadang ada mahasiswa yang secara sukarela meminta untuk mengajar di sini.
"Kalau untuk relawan tetap, kami cuma berempat. Selebihnya biasanya ganti-ganti, ada mahasiswa yang sukarela mau mengajar di sini," kata Zimmi, salah satu relawan yang telah bergabung selama satu tahun.
Qanun sampah
Pemerintah Kota Banda Aceh melalui Dinas Lingkungan Hidup Kebersihan dan Keindahan Kota (DLHK3) Banda Aceh, terhitung sejak 1 Januari 2019, mulai menindak pelanggar Qanun Kota Banda Aceh Nomor 1 tahun 2017 tentang pengelolaan sampah.
Bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran dengan membuang sampah sembarangan, baik sampah dari kendaraan, dapat dikenakan sanksi pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda maksimal Rp10 juta.
Selaras dengan kebijakan pemerintah tersebut, maka peran pemulung yang ada di Kota Banda Aceh tentunya menjadi salah satu upaya membantu pemerintah dalam menjaga kebersihan dan keindahan kota. Hal itu ditegaskan pula oleh Kepala DLHK3 Banda Aceh, Teuku Samsuar.
"Keberadaan pemulung di Gampong Jawa tentunya juga kami bina, dan kami beri kesempatan. Selama mereka juga mengikuti aturan yang telah dibuat oleh pemerintah," ujar dia.
sampah itu juga dikelola, ditimbun dan didaur ulang. Dari kebijakan pemerintah juga, telah memberikan kepada para pemulung bantuan seperti sepatu sebagai atribut bekerja, katanya.
Menurutnya, pemulung juga melakukan demikian untuk menyambung hidup dan meningkatkan perekonomian. Peran mereka dalam memanfaatkan barang bekas tentunya sangat bagus dan bernilai ekonomis. Dalam hal ini baik pemerintah maupun pemulung juga saling menguntungkan.
"Artinya mereka sudah dari tahun ke tahun bekerjasama dengan pemerintah, sehingga saling menguntungkan. Sampah yang dibuang, yang tidak bisa diurai oleh tanah, mereka kumpulkan, mereka jual kembali. Karena tidak seluruhnya sampah juga dibuang ke TPA," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019