Pria paruh baya itu bernama Muhammad Yusuf (78), duduk bersimpuh di sisi kuburan massal Siron, Kabupaten Aceh Besar, Minggu (5/5).

Mulutnya komat-kamit, kedua tanganya ikut terbentang saat ia bermunajat doa untuk istrinya, yang dianggapnya masuk dalam daftar ratusan ribu korban tewas akibat bencana tsunami Aceh 2004.

Matahari pagi tengah meranjak naik. Yusuf sudah bergerak dari kediamannya di Desa Kaju, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar. Menumpangi angkutan Trans Kuataraja.

Tepat sehari menjelang dimulainya puasa Ramadhan 1440 hijriah, Yusuf menyempatkan diri untuk "bertemu" sang istri, meskipun hanya sebatas menghadiahkan doa.

Yusuf begitu yakin bahwa istrinya dimakamkan di kuburan massal Siron. Sebab itu yang menjadi alasannya saban hari menyambut bulan suci Ramadhan dan lebaran, selalu berziarah ke kuburan massal tersebut.

"Saya tahu istri saya dari kantor Gebernur Aceh (saat tsunami 2004) dibawa ke sini untuk dikuburkan. Makanya kalau badan saya sehat, setiap mau puasa dan lebaran juga saya datang ke sini untuk berziarah," kata pria asal Medan, Sumatera Utara.

Tak hanya Yusuf, puluhan masyarakat Aceh lain juga mendatangi kuburan massal Siron. Tujuannya sama, untuk berziarah. Muhammad Jamil (53), warga Desa Pelanggahan Banda Aceh yang menyebutkan berziarah kubur sudah menjadi tradisi masyarakat Aceh.

Tidak mesti ke kuburan massal, banyak masyarakat Aceh juga menyambangi tempat pemakaman umum lainnya untuk berziarah, termasuk ke para makam ulama-ulama Aceh.

"Jadi tradisi ini sudah semacam adat di Aceh. Apalagi yang korban tsunami ini kan bencana besar, yang tinggal (selamat dari bencana) pun tidak lengkap lagi, ada yang selamat hanya istri saja, atau suami saja, mungkin anak saja gitu. Jadi kalau saya setiap mau puasa insya Allah selalu berziarah," kata Jamil.

Biasanya setiap berziarah, kata Jamil, masyarakat memanjatkan shalawat, membacakan Surah Yasin, dan doa-doa lainnya. Meskipun usai ibadah shalat wajib lima waktu selalu mengirim doa kepada orang tua, maupun saudara yang sudah menghadap sang pencipta, tetapi menurutnya alangkah baiknya juga bisa mengirim doa di makamnya langsung.

"Kalau kita bilang ziarah ini memang sudah harus, tidak boleh tidak ada. Untuk mengenang saudara kita yang sudah tidak ada. Kalau berziarah itu rasa kita dekat dengan mereka. Orang jauh-jauh pulang ke kampung itu hanya untuk ziarah, menyempatkan diri untuk ziarah," kata Jamil, menambahkan.

Mimi (45) warga Merduati Banda Aceh juga mengungkapkan hal yang senada. Baginya selain menghadiahkan doa-doa untuk para almarhum dan almarhumah, berziarah juga dapat mengingatkan seseorang terhadap hadirnya kematian.
Katanya, semua ciptaan yang benyawa akan mati, tak ada yang kekal dan abadi selain yang sang pencipta, Allah SWT.

"Kita dengan rutin berziarah kubur ini juga mengingatkan kita pada kematian. Kita tahu semua kita makhluk ciptaan Allah ini akan kembali ke pencipta. Tidak ada yang kekal dan abadi selain Allah SWT," jelas Mimi.

Mimi berziarah bersama suami dan anak-anaknya. Mereka selalu menyempatkan diri untuk berziarah baik menyambut puasa Ramadhan dan lebaran. Dan juga saat peringatan tsunami Aceh saban 26 Desember.

"Kalau Idul Fitri saya tidak mudik ke Bireuen saya ziarah disini, tapi kalau mudik nanti waktu Idul Adha pula saya ziarah di sini," katanya.

Budayawan Aceh, Tarmizi A Hamid mengatakan tradisi berziarah kuburan salah satu dari tradisi kebudayaan Islam. Meski tidak dianjurkan dalam Islam, namun Aceh sebagai daerah yang mayortitas memeluk Islam dan begitu sakral dalam beragam Islam maka tradisi seperti itu sudah berlangsung sangat lama.

"Tahun (dimulainya ziarah kuburan) disebutkan dalam manuskrip itu masa Kesultanan Aceh, artinya kita ambil saja puncak peradaban Islam pada abat ke 17 atau pertengahan abad ke 18, itu sudah mulai semua kegiatan yang menyangkut kebudayaan Islam dilakukan," kata Cek Midi—sapaan akrab Tarmizi A Hamid.

Artinya, kata Cek Midi, masyarakat Aceh memaknai bahwa ketika tahun lalu menyambut bulan Ramadhan masih bersama keluarga yang utuh, tetapi sekarang ini sudah tidak lagi. Maka begitu teringat dengan salah seorang anggota keluarganya yang meninggal, secara langsung mereka melakukan ziarah kuburan.

"Jadi sudah sewajarnya ketika teringat, baik itu orang tua, saudara, kita menziarahkan kuburan dengan memanjatkan doa-doa, ayat-ayat suci Al-quran. Di Aceh karena sakralnya terhadap itu maka terlaksana sampai sekarang ini. Malah oleh raja-raja dulu di Aceh memang dianjurkan demikian," kata Cek Midi, menambahkan.

Pengoleksi manuskrip Aceh ini juga menyebutkan ziarah kuburan tersebut juga sebagai tempat berkaca. Artinya berziarah itu juga mengingatkan bahwa setiap manusia juga akan merasakan hal yang sama seperti itu nantinya. Akan diziarahi oleh orang lain.

"Ini memberi pelajaran kehidupan kepada kita bahwa kita juga seperti itu juga nanti, diziarahi orang juga nanti. Mengingatkan kita sebagai pesan sangat penting dalam hidup. Ziarah kuburan itu salah satu identitas Aceh yang sangat kita lestarikan," tutupnya.

Pewarta: Khalis

Editor : Heru Dwi Suryatmojo


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019