Banda Aceh (ANTARA) - Akademisi Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, Kurniawan menilai pengadaan bantuan lahan untuk eks kombatan GAM harus diprioritaskan kepada para janda maupun anak dari mereka yang telah meninggal baik di masa konflik maupun pascakonflik.
"Dengan demikian, lahan yang akan didistribusikan pemerintah tersebut dapat menjadi penyokong serta bekal untuk keberlanjutan pemenuhan kebutuhan ekonomi para janda dan pendidikan anak-anak dari mantan kombatan GAM," kata kata Kurniawan, di Banda Aceh, Senin.
Pernyataan itu disampaikan Kurniawan merespon hasil rapat koordinasi Pemerintah Aceh dengan Kementerian ATR/BPN serta pemangku kebijakam terkait lainnya mengenai penyelesaian penyediaan lahan untuk para eks kombatan GAM di wilayah Aceh Timur seluas sekitar 22 ribu hektare.
Karena itu, dirinya mengingatkan agar pemerintah harus memastikan penerima lahan eks kombatan GAM tersebut benar-benar kepada orang yang tepat, jangan sampai diberikan kepada orang yang bukan bagian dari GAM.
"Kepada para mantan kombatan GAM sebagai penerima manfaat juga harus memperhatikan hal ini," ujarnya.
Selain itu, juga perlu dilakukan inventarisasi dan investigasi terhadap nama-nama para mantan kombatan GAM yang diusulkan sebagai calon penerima manfaat. Pastikan penerima manfaat tersebut benar-benar mantan kombatan GAM.
Karena, saat ini di Aceh banyak yang mengklaim diri sebagai mantan kombatan GAM.
Pakar Hukum Tata Negara ini menuturkan, penyediaan lahan eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka itu sebagai bentuk komitmen negara terhadap UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
"Penyediaan lahan bagi mantan kombatan GAM tersebut merupakan wujud komitmen dan tanggung jawab negara dalam memenuhi apa yang diamanatkan MoU Helsinki (kesepakatan damai) dan UUPA," katanya.
Dirinya mengatakan, langkah yang Kementerian ATR/BPN memprioritaskan penyediaan lahan untuk mantan kombatan GAM di Aceh juga sebagai bagian dari upaya reintegrasi.
Di sisi lain, dirinya menjelaskan bahwa untuk mengadakan lahan seluas 22 ribu hektare di Aceh Timur bagi para kombatan tersebut tentunya sulit tersedia di luar kawasan hutan.
Hal itu dikarenakan sebagian besar lahan sudah berstatus hak milik, termasuk ada yang berstatus izin usaha. Artinya, kebijakan pengadaan lahan tersebut tidak dapat dihindari, ditempuh melalui pengalihan hutan.
Dirinya mengingatkan, Kementerian ATR/BPN dalam melakukan pengalihan hutan menjadi lahan produktif yang nantinya akan didistribusikan kepada para mantan kombatan GAM harus memperhatikan prosedur legalitas sebagaimana PP Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.
Menurutnya, peraturan tersebut mencabut enam PP terdahulu terkait kehutanan, salah satunya adalah PP Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.
Dirinya menegaskan, selain menjadikan PP Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan sebagai pedoman dalam proses legalitas pengalihan hutan, kiranya juga wajib memperhatikan serta mempedomani berbagai peraturan pelaksana dari keenam PP terdahulu yang telah dicabut tersebut.
Tak hanya itu, kata dia, selain aspek prosedur legalitas, pemerintah juga harus memperhatikan aspek ekologis dengan perhitungan secara cermat terkait keberlanjutan/kelestarian kawasan hutan pasca pengalihan untuk para mantan kombatan GAM.
"Maka, kebijakan pengalihan kawasan hutan yang diambil nantinya tidak semata-mata memperhatikan pemenuhan kebutuhan penerima saja, tetapi juga tanpa mengurangi potensi kemampuan hutan dalam memenuhi kebutuhan generasi di masa mendatang," ujarnya.
Ia menambahkan, salah satu strategi yang dapat dilakukan pemerintah dalam kebijakan pengalihan kawasan hutan dengan tetap memperhatikan aspek keberlanjutan ekologi setelah membuka lahan seluas 22 ribu hektare nanti adalah tidak terfokus pada satu titik saja.
Melainkan, harus disebar ke beberapa lokasi strategis. Sehingga, tidak memotong jalur satwa (khususnya satwa liar besar seperti harimau dan gajah liar sumatera).
"Dengan demikian, potensi terjadinya masalah di masa mendatang terkait konflik manusia dengan satwa liar sebagaimana yang marak terjadi di Aceh dalam dalam sekitar 10 tahun terakhir dapat dihindari," demikian Kurniawan.
Baca juga: Akademisi: Pengadaan lahan untuk eks kombatan GAM sebagai langkah reintegrasi