Banda Aceh (ANTARA) - “Keluar dari airport, saya harus berhijab enggak?,” tanya Adelaida kepada seseorang yang menjemputnya, ketika pertama sekali mendarat di Aceh melalui Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda (SIM) Aceh Besar.
Ia sengaja membuka pembicaraan dengan pertanyaan itu agar tak lebih jauh salah dalam bersikap selama berada di bumi Serambi Makkah itu. Apalagi, dirinya seorang non Muslim.
Pertanyaan itu, akuinya, adalah titipan dari rekannya di Jakarta. Pasalnya, ia membawa segudang kekhawatiran ketika mendengar dapat tugas ke Aceh sebagai Technical Delegate cabang olahraga korfball Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI Aceh-Sumatera Utara.
Muncul berbagai pertanyaan di benak pemilik nama lengkap Adelaida Koraag ini; apakah Aceh aman? non Muslim harus berhijab? perempuan berduaan dengan lawan jenis bermasalah tidak? dan segala macam.
Sebab itu, sebelumnya bertolak ke Tanah Rencong, ia sudah siap sedia. Membawa hijab, hingga manset lengan yang akan digunakan apabila mengenakan baju kaos lengan pendek, sehingga menutupi aurat.
Baca juga: Syariat Islam Aceh di mata kontingen PON XXI: jauh dari stigma menyeramkan
Mendengar pertanyaan Adelaida kala itu, sontak seseorang yang menjemputnya menjawab, “Oh tidak bu, Aceh itu toleransi tinggi. Kalau kita lihat disini ada yang tidak berhijab, kita sudah tahu bahwa non Muslim. Tapi kalau yang Muslim, sebaiknya berhijab,” ujarnya saat meniru jawaban rekannya itu.
“Jadi saya akhirnya seperti biasa saja,” lanjut Adelaida, saat bercerita kepada Antara ketika ditemui di sela-sela pertandingan korfball di GOR Merah Putih Kota Sabang beberapa waktu lalu.
Bagi Adelaida, pandangan terhadap Aceh sebagai daerah yang intoleran, kaku, tertutup bagi orang luar, bahkan tidak aman, lenyap bak ditelan bumi usai dirinya melihat langsung sambutan masyarakat daerah Serambi Makkah ini kepada dirinya.
Selama masa persiapan hingga saat perhelatan PON XXI, dirinya sudah tiga kali bolak-balik Jakarta-Aceh. Akuinya, tidak pernah sedikit pun mendapat perlakuan intimidasi dan gangguan keamanan lainnya.
Sambutan masyarakat sangat ramah. Tak ada yang mengganggu aktivitasnya selama di provinsi paling barat Indonesia itu. Bahkan masyarakat cenderung ikut membantu berbagai persiapan saat ajang PON XXI berlangsung.
“Jadi kalau secara toleransi agama atau dari keamanan, tidak ada masalah. Sengaja saya dibawa sama teman-teman di Aceh sampai jam 11 malam. Yang saya lihat, aman banget, warung kopi buka, dan baik baik saja, enggak ada rasa ketakutan,” ujarnya.
Kendati demikian, Adelaida tetap menghargai adat dan budaya lokal. Seperti yang disampaikan dalam sebuah peribahasa “Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”.
Dalam artian, menurutnya, setiap orang yang berkunjung ke suatu daerah lain, maka sudah seyogyanya harus menghargai aturan masyarakat setempat, dengan berbagai kearifan lokal.
“Cuma yang diingatkan tidak boleh pakai baju yang ketat, celana jeans ketat, dan itu namanya masyarakat adat, ya saya berusaha untuk melaksanakan itu. Makanya di korfball yang biasanya main pakai rok mini, hot pant di dalam, maka di Aceh pakai lagging. Jadi menyesuaikan,” ujarnya.
Kondisi seperti tersebut harus dimaklumi, sebagai bentuk menunjukkan rasa hormat kepada penduduk lokal.
“Dan saya sampaikan kepada teman-teman, ketika saya sudah pulang dari Aceh, kebiasaan di Aceh ini-ini, ayo kita ikuti karena kita menghormati aturan adat yang ada,” ujarnya.
Baca juga: PB PON Aceh: Kami tak datangkan Rara pawang hujan, tidak sesuai syariat islam
Toleransi tinggi
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh menyebut Aceh merupakan daerah yang penuh dengan keramahtamahan. Masyarakatnya memegang teguh adat-istiadat “Pemulia Jamee Adat Geutanyoe” atau memuliakan tamu.
Masyarakat Tanah Rencong ini juga sangat sopan dan moderat dalam hal menerima tamu dan menyesuaikan dengan perkembangan adat budaya. Seperti, Aceh dikenal dengan Serambi Mekkah, tentu pelaksanaan syariat Islam sangat kental di tengah masyarakat.
“Namun masyarakat Aceh juga bersikap sangat toleran, ketika ada tamu yang datang ke Aceh selain Muslim atau saudara-saudara non Muslim, itu tetap dihargai dan dihormati,” kata Kepala Kantor Wilayah Kemenag Aceh Azhari.
Dalam perhelatan PON XXI, berbagai provinsi di Indonesia hadir ke Aceh, dengan ragam budaya, sikap, agama. Masyarakat Aceh juga memahami itu, sehingga sangat menerima tamu dengan berbagai etnis.
“Mungkin saudara-saudara, teman-teman, sebelum ke Aceh menganggap kondisi Aceh bagaimana? Tetapi dapat dilihat, setelah tiba di Aceh bagaimana kondisinya, baik di tempat-tempat penginapan, di arena pertandingan, di venue-venue PON yang telah ditetapkan, tentu masyarakat sangat terbuka, sangat ramah dan welcome,” ujarnya.
Kendati demikian, kata Azhari, masyarakat Aceh hanya berharap bagi seluruh tamu yang hadir untuk menyesuaikan dari segi sikap hingga cara berpakaian, baik yang Muslim maupun non Muslim.
“Bagi yang Muslim tentu berpakaian Muslim dan bagi yang non Muslim tidak dipaksa harus menggunakan jilbab, tapi menyesuaikan dengan situasi dan kondisi,” ujar Azhari.
Jauh sebelum PON XXI, Kementerian Agama melalui penyuluh, penghulu, dan guru juga telah menyampaikan pesan tentang ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariyah sebagai upaya menjaga toleransi.
Konsep ini menekankan tentang saling menguatkan, saling menghormati, saling meningkatkan rasa persaudaraan satu sama lain, serta toleransi dalam kehidupan bersama antar umat manusia.
“Ada image barangkali yang seolah olah, Aceh kurang aman, tentu bapak, ibu, saudara-saudara kami dari seluruh Indonesia yang hadir di Aceh dapat melihat sendiri bagaimana tolerannya masyarakat Aceh, bagaimana sikap dan kultur budaya,” ujarnya.
Baca juga: Kejari Aceh Selatan eksekusi cambuk sembilan terpidana
Menepis stigma intoleran masyarakat bumi Serambi Mekkah
Minggu, 22 September 2024 22:08 WIB