Perhelatan Pekan Olahraga Nasional XXI 2024 di Aceh tidak hanya mendongkrak popularitas kebudayaan dan kepariwisataan bumi Serambi Mekkah di pentas nusantara. Lebih dari itu, ajang olahraga ini juga berhasil mengubah pandangan masyarakat luar mengenai pemberlakuan syariat Islam yang ada di provinsi ini.
Stigma yang beredar sering kali menggambarkan aturan syariat Islam Aceh sebagai sesuatu yang “mengerikan”. Banyak yang beranggapan keislaman di Aceh kaku, mengekang, dan mempunyai banyak larangan.
Di tambah adanya ancaman hukuman cambuk bagi pelanggar syariat, semakin membuat masyarakat luar yang datang dari latar belakang budaya dan agama yang berbeda merasa khawatir untuk berkunjung ke Aceh.
Baca juga: Annuar, sang penakluk laut Pulau Weh peraih medali emas PON XXI
Baca juga: Annuar, sang penakluk laut Pulau Weh peraih medali emas PON XXI
Kekhawatiran itu pernah dialami Andre Prasetyo, salah seorang jurnalis dari Lampung yang mendapatkan kesempatan meliput perhelatan PON XXI pada September 2024 di Provinsi Aceh dari Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).
Sebelum berangkat ke Tanah Rencong, Ketua Harian KONI Lampung, Amalsyah Tarmizi, memberikan pesan agar dirinya menjaga sikap, menunaikan salat lima waktu, khususnya salat Jumat karena akan terjaring razia apabila seorang muslim tidak menunaikannya.
Amalsyah juga mengingatkan pria kelahiran Bogor itu agar selama berada di Aceh mengenakan pakaian yang sopan dan menutup aurat serta tidak berdua-duaan dengan lawan jenis yang bukan muhrim.
“Nah, khusus di Aceh ditekankan banget oleh Ketua Harian KONI Lampung, selalu mewanti-wanti agar kontingen Lampung tidak melanggar aturan yang berakibat pada hukuman cambuk,” katanya mengenang pesan Amalsyah.
Baca juga: Sensei Shoji Arai dari Jepang puji pelaksanaan kempo PON XXI Aceh-Sumut
Baca juga: Sensei Shoji Arai dari Jepang puji pelaksanaan kempo PON XXI Aceh-Sumut
Kekhawatiran serupa dirasakan Serli Mahindas. Perempuan dari Tanah Papua yang menjadi Kapten Rugby itu juga merasa sedikit ketakutan saat bertanding di Aceh, terutama dalam hal berpakaian.
Sebagai atlet Rugby, dia terbiasa bermain di lapangan dengan baju lengan terbuka dan celana pendek sebatas pangkal paha. Ia berpikir bahwa aturan syariat Islam mungkin memaksanya yang bukan seorang muslim juga harus tampil dengan pakaian yang lebih tertutup dan mengenakan kerudung saat bertanding membawa nama Papua di PON XXI.
“Tapi sesudah sampai ke sini ternyata tidak seseram itu. Bebas-bebas saja. Cuma, ya, itu masih agak-agak takut untuk mengenakan celana pendek di luar dari arena pertandingan. Tapi sebenarnya itu kan masing-masing daerah punya kewajiban. Jadi, kita yang datang menyesuaikan saja,” katanya.
Tidak mengerikan
Selama perhelatan PON, banyak atlet yang datang dengan stigma negatif tentang syariat Islam di Aceh. Mereka mendengar berbagai cerita mengenai larangan-larangan yang ketat, seperti aturan berpakaian dan interaksi sosial antara lawan jenis.
Namun, setibanya di Aceh, kebanyakan di antara mereka terkejut oleh keramah-tamahan masyarakat dan menyadari bahwa penerapan syariat Islam di Aceh ternyata tidak "seekstrem" seperti yang mereka bayangkan selama ini.
Syifa Nurfadillah, seorang atlet Rugby yang mewakili kontingen Jawa Tengah dalam PON XXI, berbagi pandangannya tentang Aceh yang selama ini dianggap sebagai daerah yang sangat Islami.
"Dulu, saya mendengar banyak cerita tentang Aceh. Banyak yang bilang perempuan tidak boleh memakai celana, tidak boleh berduaan dengan lawan jenis, dan tidak boleh pacaran, apalagi berzina," tuturnya.
Namun, setibanya di Aceh, pandangannya berubah. "Ternyata tidak semengerikan itu. Di sini, orang-orangnya tetap bisa bersosialisasi dengan lawan jenis, asal tidak berlebihan dan tidak melebihi jam 6 sore kalau tidak salah," ujarnya.
Syifa awalnya juga menganggap pemberlakuan syariat Islam di Aceh bersifat kaku. Dalam pikirannya, perempuan di Aceh harus selalu mengenakan gamis panjang atau pakaian ala-ala perempuan muslim Arab.
"Ternyata kalau olahraga, pakaiannya juga bisa menyesuaikan dengan tetap menutup aurat," katanya.
Tidak beranggapan syariat Islam di Aceh mengerikan, Syifa justru kagum dengan keislaman yang ada di Aceh. Menurut dia, gaya pakaian baik perempuan maupun laki-laki di Aceh sangat elok dilihat karena santun. Tidak seperti gaya pakaian anak muda saat ini terutama di wilayah ibukota yang kerap mengenakan baju terbuka seperti crop top.
"Rasanya menyenangkan melihat perempuan yang mengenakan hijab dengan anggun. Di kota lain, seperti Bandung atau Jakarta, terkadang ada yang mengenakan pakaian yang lebih terbuka, jadi tidak nyaman melihatnya," katanya.
Seperti halnya Syifa, atlet Rugby asal Jawa Tengah lainnya yakni Tri Nur Faidah juga merasa kagum dengan pemberlakuan syariat Islam di Aceh. Apalagi, dia mengamati banyak perempuan di Aceh mengenakan hijab dengan syar’i tidak hanya sekadar menutup kepala.
"Setiap jalan kita lihat perempuan mengenakan hijab semua. Hijabnya syar’i. Masya Allah. Sangat-sangat-sangat perlu diterapkan di Jawa Tengah. Tidak hanya di Jawa Tengah sih. Kalau bisa namanya syariat lah diterapkan,” katanya.
Aceh moderat
Meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam dan dikenal dengan penerapan syariat Islam, bukan berarti Aceh intoleran terhadap perbedaan. Bumi Serambi Mekkah ini juga dihuni oleh penduduk beragama Kristen, Katolik, Budha, dan Hindu. Dengan beragam keyakinan tersebut, masyarakat Aceh tetap menunjukkan sikap moderat dan berupaya menjaga harmoni sosial dalam keberagaman.
Dalam budaya Aceh, pepatah “Pemulia Jamee Adat Geutanyoe” yang berarti ‘memuliakan tamu adalah adat kita’ menjadi landasan sikap masyarakat. Tradisi ini masih terus dipertahankan di tengah dinamika global seperti yang terlihat dalam perhelatan Pekan Olahraga Nasional XXI.
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh, Azhari, mengatakan masyarakat Aceh terkenal religius, tetapi sangat moderat dan terbuka dalam hal menerima jamee (tamu) dari latar belakang agama dan budaya berbeda.
"Ketika ada tamu yang datang ke Aceh selain muslim atau saudara-saudara non-muslim, mereka tetap dihargai dan dihormati," ujar Azhari. Dalam pelaksanaan PON, Aceh menyambut kehadiran kontingen dari berbagai provinsi dengan budaya dan agama yang beragam. Masyarakat Aceh memahami dan menerima keragaman ini dengan baik,” katanya.
Azhari menjelaskan bahwa Aceh menerapkan syariat dalam pemerintahannya. Namun, aturan tersebut seperti cara berpakaian hanya berlaku bagi penduduk atau tamu yang beragama Islam. Tamu nonmuslim tidak diwajibkan mengenakan hijab atau penutup kepala, tetapi mereka diminta untuk menyesuaikan diri dengan situasi setempat.
“Tentu, bagi tamu yang datang dari berbagai provinsi, baik muslim maupun non-muslim, mereka hanya perlu menyesuaikan sikap dan berpakaian. Yang non-muslim tidak harus menggunakan jilbab,” jelasnya.
Sebagai bagian dari upaya menjaga semangat toleransi, Kementerian Agama melalui penyuluh, penghulu, dan guru terus menyampaikan pesan tentang ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariyah sejak sebelum pesta olahraga tersebut digelar.
Ukhuwah wathaniyah sendiri merupakan konsep dalam Islam yang merujuk pada hubungan dan persaudaraan yang terjalin di antara sesama warga negara, tanpa memandang agama, suku, atau latar belakang lainnya.
Konsep itu menekankan pentingnya menjaga keutuhan negara, sedangkan ukhuwah basyariyah merujuk pada hubungan antarseluruh umat manusia bukan karena dalam konteks atas kesamaan negara.
Sejarah pemberlakuan syariat Islam
Pemberlakuan syariat Islam di Aceh telah dimulai sejak 23 tahun lalu, setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Aceh.
Dalam undang-undang ini, Aceh diberikan hak untuk menerapkan syariat Islam dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk hukum, pendidikan, dan sosial. Sejak saat itu, Aceh menerapkan berbagai peraturan dan kebijakan terkait syariat Islam yang dituangkan dalam peraturan daerah yang dikenal dengan istilah Qanun.
Qanun menjadi pijakan hukum dan pedoman penerapan syariat yang mengatur perilaku masyarakat Aceh sesuai dengan nilai-nilai Islam. Tercatat hingga saat ini, ada lebih dari 40 aturan Qanun yang telah ditetapkan mencakup bidang hukum jinayah (pidana syariah), ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan adat.
Selain aturan Qanun, Aceh juga memberlakukan hukum cambuk bagi yang melanggar syariat, seperti zina, khalwat (mesum), ikhtilat (berbaur antara laki-laki dan perempuan di luar ikatan pernikahan), qadzaf, minum minuman keras (khamar), maisir (perjudian), pencurian (sariqah), dan liwath dan musahaqah.
Hukuman cambuk dikenakan kepada pelanggar syariat yang telah melalui proses hukum dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan syariat. Hukum cambuk ini hanya berlaku bagi warga Aceh yang beragama Islam, sedangkan umat agama lain di Aceh dapat dikenakan sanksi administratif atau denda, bukan cambuk.
Eksekusi hukuman cambuk dilaksanakan di tempat terbuka dengan tujuan memberikan efek jera kepada pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya. Selain itu, pelaksanaan ini dimaksudkan sebagai pembelajaran bagi masyarakat, agar mereka tidak tergoda untuk melakukan pelanggaran yang serupa.
Biasanya, eksekusi hukuman cambuk dilaksanakan di masjid gampong atau di ruang terbuka seperti Taman Bustanussalatin di Kota Banda Aceh. Pukulan cambuk diberikan oleh seorang algojo, di mana untuk pelanggar perempuan, algojo juga seorang perempuan dan begitu pula sebaliknya.
Sebelum eksekusi dilakukan, para pelanggar mendapatkan pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu. Selain itu, mereka juga didampingi oleh tenaga medis selama proses penghukuman berlangsung.