Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil mengatakan, survei Litbang Kompas menunjukkan mayoritas masyarakat mendukung revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Singkat kata itu adalah contoh masyarakat yang memberikan dukungan kepada pemerintah dan DPR dalam rangka merevisi UU KPK," kata Nasir di Jakarta, Senin.
Dikutip dari Harian Kompas edisi Senin (16/9), survei Litbang Kompas menyatakan 44,9 persen masyarakat mendukung revisi UU KPK, sementara yang tidak setuju 39,9 persen, dan yang menjawab tidak tahu 15,2 persen.
Baca juga: Revisi UU KPK yang baru - KNPI sesalkan cover Majalah Tempo
Mayoritas responden juga menyatakan setuju terhadap poin-poin revisi UU KPK yang selama ini menjadi polemik. Misalnya, 64,7 persen mayoritas publik setuju pembentukan Dewan Pengawas KPK dan 55,5 persen perlu ada Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) di KPK.
Menurut Nasir, hasil survei itu juga menggambarkan keprihatinan masyarakat terhadap situasi dan kondisi pemberantasan korupsi selama ini, salah satunya terkait dengan regulasi tentang KPK.
Aspirasi mayoritas masyarakat Indonesia untuk merevisi UU KPK, kata Nasir, juga menunjukkan keinginan adanya checks and balances di KPK, sebagaimana lembaga negara lain di negara demokrasi seperti Indonesia.
Baca juga: Presiden Jokowi: Pemerintah sedang bertarung dengan DPR bahas RUU KPK
"Saya sebenarnya tidak setuju dengan istilah menguatkan atau melemahkan. Kita tidak ingin dalam dua ekstrem itu, tapi kita ingin aturan perundang-undangan itu menjamin adanya checks and balances," ujar Nasir.
Meski demikian, Nasir juga menganggap wajar jika masih terjadi penolakan revisi UU KPK dari kalangan internal lembaga tersebut dan sejumlah LSM.
"Jadi, kalau ada teman-teman LSM yang menolak itu hak mereka untuk menolak, cuma mungkin saran saya dikritisi saja pasal-pasal yang direvisi oleh DPR dan pemerintah," ucap Nasir.
Baca juga: Presiden Jokowi: Tidak ada pengembalian mandat dalam UU KPK
Dia melanjutkan, kalau dalam pandangan LSM pasal-pasal yang direvisi tidak sejalan dengan konstitusi maka mereka bisa melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Itu lebih elegan. Apa pun ceritanya, DPR punya kewenangan membentuk undang-undang," ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.