Takengon, Aceh (ANTARA) - Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRK Aceh Tengah Samsuddin mendesak pihak PLN sebagai pelaksana proyek PLTA Pesangan untuk segera menyelesaikan persoalan ganti rugi lahan milik warga di Kampung Sanehen, Kecamatan Silih Nara.
Menurutnya harus ada tempo waktu yang disepakati bersama dalam penyelesaian ganti rugi tersebut sampai ke tahap pembayaran.
"Karena masyarakat ingin kepastian itu, agar mereka tidurnya bisa nyenyak," kata Samsuddin di Takengon, Senin.
Samsuddin mengatakan saat ini masyarakat tidak ingin lagi proses pembayaran ganti rugi tersebut terus berlarut karena telah menunggu selama 20 tahun sejak 1998.
"Selama kurun waktu 20 tahun kalau masyarakat meminta kompensasi bayangkan, kalau 20 tahun lahan itu digarap oleh masyarakat ditanami padi, berapa hasilnya," ucap Samsuddin.
Karena itu dia juga menyampaikan dalam hal ini akan sepakat dengan tuntutan warga bahwa jika persoalan ganti rugi tersebut belum diselesaikan maka aktifitas pekerjaan proyek PLTA di lokasi dimaksud harus dihentikan sementara.
"Kami menyepakati apa yang disampaikan perwakilan masyarakat kalau ini tidak selesai maka jangan ada kegiatan di Kampung Sanehen," tutur Samsuddin.
Dia menambahkan warga dalam hal ini hanya menuntut haknya dan tidak sedang berusaha menghambat proses pembangunan.
"Perlu dicatat bahwa masyarakat dan kami sebagai penampung aspirasi rakyat tidak ada keinginan untuk menghambat program pembangunan. Karena kami pahami dan masyarakat juga paham bahwa PLN badan usaha milik negara," tutur Samsuddin.
Sementara puluhan warga pemilik lahan pada Kamis (21/11) lalu mendatangi DPRK setempat untuk kembali menuntut penyelesaian ganti rugi lahan tersebut.
Mereka diterima oleh Komisi A DPRK setempat yang kemudian memfasilitasi pertemuan dengan pihak PLN dan pihak-pihak terkait lainnya dalam masalah ini.
Pertemuan tersebut juga belum menghasilkan kata sepakat kapan pembayaran ganti rugi akan dilakukan oleh pihak PLN.
Dewan menutup pertemuan itu dengan kesimpulan akan memanggil pihak manajeman PLN dari Medan Sumatera Utara yang punya otoritas dalam persoalan ganti rugi tersebut.