Jakarta (ANTARA) - Suksesi kepemimpinan di negeri "Abang Sam", Amerika Serikat, merupakan momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh semua negara di dunia.
Tidak dimungkiri bahwa perubahan tampuk pimpinan di Amerika Serikat akan membawa implikasi penting bagi tatanan global, baik dari segi politik-keamanan, maupun ekonomi dan perdagangan.
Merujuk pada informasi yang disampaikan oleh media-media arus utama Amerika Serikat seperti CNN, NBC News, dan CBS News, Joseph Robinette Biden Jr atau Joe Biden, dipastikan akan menduduki posisi sebagai orang nomor satu di Amerika Serikat dengan mengantongi 290 suara elektoral, jauh mengungguli Donald Trump yang hanya memperoleh 214 suara elektoral.
Apa yang terjadi dalam pemilihan presiden Amerika Serikat tahun ini dan apa signifikansinya bagi Indonesia?
Dua pijakan
Sebelum menjawab pertanyaan krusial tersebut, saya hendak menekankan bahwa ada dua hal penting yang harus kita cermati terlebih dahulu sebagai pijakan dalam menjawab pertanyaan tersebut, yakni sepak terjang Trump yang memimpin Amerika Serikat selama empat tahun terakhir, serta visi kepemimpinan yang diusung oleh Biden sehingga menuai dukungan publik secara luas, baik dari ranah domestik maupun publik internasional.
Pertama, saya hendak menyoal kemenangan Trump pada 2016 yang lalu, agar analisisnya tidak ahistoris. Kemenangan ini bisa dikatakan di luar prediksi mengingat saingannya adalah politisi senior Partai Demokrat dan mantan ibu negara, Hillary Rodham Clinton. Trump sendiri hanya berstatus sebagai pengusaha, tidak pernah memegang jabatan publik dan tidak memiliki pengalaman panjang sebagai politisi.
Namun demikian, di atas segala prediksi yang ada, suara rakyat Amerika Serikat akhirnya mengantarkan Trump menjadi presiden ke-45 Amerika Serikat. Ada banyak argumentasi untuk menjelaskan kemenangan Trump waktu itu, tapi yang paling mencolok adalah suasana kebatinan rakyat Amerika Serikat yang menginginkan perubahan, sehingga sosok Trump yang jauh dari hiruk-pikuk perpolitikan menjadi daya tarik tersendiri.
Rakyat Amerika Serikat membutuhkan figur yang berbeda. Hal ini dipertegas dengan jargon yang didengungkan oleh Trump dan pendukungnya tanpa henti selama masa kampanye, yakni “Make America Great Again”. Trump dengan cerdik membakar kebanggaan masyarakat Amerika Serikat yang sempat padam karena terpapar krisis ekonomi dan pudarnya pengaruh negara mereka di kancah internasional.
Barangkali menjadi sebuah pelajaran berharga bahwa apa yang disampaikan selama masa kampanye belum tentu segaris dengan realitas ketika sang calon sudah duduk di tampuk kekuasaan.
Realitas yang “ditulis” Trump selama empat tahun masa jabatannya sulit untuk dikatakan telah berhasil menaikkan kembali pamor Amerika Serikat di kancah dunia: Amerika Serikat terpuruk dan dihujat!
Amerika Serikat bertindak tidak adil dan melukai masyarakat global ketika mendukung penjajahan Israel atas bangsa Palestina. Amerika Serikat juga melakukan pengingkaran terhadap berbagai kesepakatan global tentang lingkungan dan perdamaian. Perang dagang yang dikobarkan Amerika Serikat terhadap Tiongkok demi menggerus laju ekonomi Tiongkok yang tumbuh pesat memberikan implikasi negatif terhadap negara-negara lainnya di dunia.
Di level domestik, masyarakat Amerika Serikat kecewa dengan cara Trump menangani isu-isu rasial. Puncaknya adalah kegagalan Trump dalam menangani penyebaran pandemi COVID-19 tahun ini.
Berbagai kegagalan tersebut menjadi kausa penjelas sekaligus penegas, mengapa “jualan” Trump pada pemilihan presiden tahun ini bak gayung tak bersambut. Masyarakat domestik Amerika Serikat, serta masyarakat global, dibuat kecewa dengan kebijakan-kebijakan yang diambil Trump. Harapan akan lahirnya anasir yang berbeda dari keterpilihan Trump empat tahun silam tidak terealisasi. Hal inilah yang mengantarkan kemenangan Joe Biden dan pasangannya, Kamala Harris, melebihi 270 suara elektoral sebagai syarat kemenangan.
Singkat kata, rakyat Amerika Serikat benar-benar menginginkan sirkulasi elit dalam pemilihan presiden tahun ini untuk memenuhi harapan dan tentu saja kebanggaan mereka. Hal inilah yang akan membawa kita pada diskursus selanjutnya, visi-misi apa yang diusung oleh Joe Biden dan Kamala Harris sehingga mampu terpilih sebagai presiden dan wakil presiden untuk masa pemerintahan empat tahun ke depan?
Visi-misi yang diambil oleh Joe Biden sejatinya mengambil bentuk yang paling sederhana tapi sangat bertenaga untuk mengalahkan Trump, yakni antitesis dari kebijakan-kebijakan Trump yang mengecewakan publik selama empat tahun terakhir. Diksi “sederhana” saya pakai di sini untuk menggambarkan betapa mudahnya Joe Biden mengambil positioning atas Trump. Sangat jelas bahwa Joe Biden memahami kelemahan Trump dan ekspektasi publik, baik domestik maupun internasional.
Dalam sesi-sesi kampanye, Biden berkali-kali menegaskan bahwa ia akan menerapkan strategi nasional yang komprehensif dalam menangani pandemi COVID-19, dengan mewajibkan penggunaan masker secara nasional dan menggratiskan pemeriksaan COVID-19 yang selama ini tidak bisa dinikmati oleh seluruh kalangan masyarakat. Yang paling signifikan, ia akan melakukan pembatalan proses penarikan diri Amerika Serikat dari WHO.
Di bidang ekonomi, Biden menggagas strategi “Build Back Better”, yakni alokasi dana 9,9 triliun USD untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Amerika Serikat, khususnya yang kehilangan pekerjaan akibat terdampak COVID-19.
Joe Biden dalam kampanyenya juga berjanji untuk bergabung kembali dengan kesepakatan Paris tentang pemeliharaan lingkungan, yang mana pada masa Trump, Amerika Serikat memutuskan untuk keluar pada 2017. Di mata masyarakat domestik, visi ini sangat rasional karena masyarakat Amerika Serikat sendiri begitu merasakan dampak perubahan iklim yang terjadi seperti masifnya kebakaran hutan dan badai yang kerapkali melanda beberapa negara bagian Amerika Serikat.
Hal lainnya yang dijanjikan oleh Biden dalam kampanye adalah reformasi imigrasi yang memberikan kemudahan bagi para dreamers (imigran yang bermimpi tinggal dan bekerja di Amerika Serikat) untuk mendapatkan kewarganegaraan, hal yang begitu dihambat Trump selama masa kepemimpinannya.
Saya secara pribadi menyebut visi-misi Biden dengan dua kata, yakni “sederhana” dan “populis”. Sederhana karena mengambil posisi sebagai antitesis Trump, dan populis karena memenuhi ekspektasi masyarakat domestik dan potensial untuk menurunkan tensi politik global. Kedua hal itulah yang membawa Biden menapak jalan kemenangannya.
Signifikansi bagi Indonesia
Selanjutnya kita semua masuk pada hal yang paling penting bagi Indonesia, yakni apa implikasi kemenangan Biden bagi kepentingan nasional Indonesia? Pertanyaan ini relatif mudah untuk dijawab karena kultur demokrasi Amerika Serikat cukup matang. Visi-misi seorang calon presiden Amerika Serikat begitu kental dengan corak ideologi partai pengusungnya, meskipun improvisasi tetap dimungkinkan.
Sejauh ini, visi-misi yang disampaikan Biden segaris dengan warna kebijakan yang diusung oleh Partai Demokrat yang cenderung humanis dan mengedepankan kerja sama dalam relasi antarnegara. Jadi sederhananya, saya asumsikan bahwa Biden akan berkhidmat pada apa yang sudah disampaikan selama kampanye.
Amerika Serikat diprediksi akan berupaya keras memperbaiki citra mereka yang “sangar” di bawah Trump menjadi lebih humanis dan pro-kerja sama. Artinya, Amerika Serikat berpotensi untuk dijadikan mitra dialog sekaligus aktor penting dalam menyelesaikan beberapa krisis global.
Indonesia bisa mengajak Amerika Serikat untuk berdialog bersama mencari model perdamaian terbaik bagi Palestina melalui berbagai instrumen organisasi internasional tempat Indonesia bernaung seperti DK PBB. Dalam konteks Asia Tenggara, melalui forum ASEAN, Indonesia bisa mengajak Amerika Serikat menjadi mitra dialog strategis untuk menurunkan ketegangan di Laut Cina Selatan yang selama ini menjadi sumber instabilitas keamanan bagi negara-negara yang bermukim di kawasan tersebut.
Upaya menanggulangi pandemi COVID-19 bukan saja merupakan masalah global, tapi juga jalan panjang yang harus ditempuh secara kolaboratif di antara negara-negara di dunia. Visi Biden untuk membatalkan penarikan diri Amerika Serikat dari WHO yang telah dimulai sejak Juli lalu, setidaknya menunjukkan komitmen negara tersebut dalam perang global melawan pandemi. Indonesia bisa merangkul Amerika Serikat untuk mendukung pendanaan dan penelitian jangka panjang dalam menemukan obat untuk menangani virus.
Wacana reformasi imigrasi yang didengungkan Biden merupakan “angin segar” dalam hubungan kerja sama antarnegara. Di bawah pemerintahan Trump, tidak dimungkiri terjadi penguatan Islamofobia. Para pendatang Muslim dicurigai sebagai sumber terorisme dan radikalisme.
Namun dengan kebijakan Biden yang lebih terbuka, diharapkan Islamofobia tersebut dapat menurun dan perlahan tapi pasti mampu menghilangkan diskriminasi terhadap umat Islam yang bermukim di sana. Indonesia perlu memberikan atensi lebih pada kebijakan ini mengingat Indonesia adalah negara dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia.
Terlepas dari segala anggapan dan prediksi bahwa Amerika Serikat di bawah Biden akan lebih sejuk dibandingkan sebelumnya, Amerika Serikat tetaplah Amerika Serikat, sebuah negara adidaya yang akan tetap berjuang teguh dalam mengukuhkan supremasi mereka di segala lini. Oleh sebab itu, poin kebijakan Amerika Serikat dalam hubungan antarnegara akan tetap dilandasi pada pencapaian kepentingan nasional dan pengukuhan supremasi mereka, namun dikemas dalam corak diplomasi yang lebih lunak dan humanis.
Implikasinya, perang dagang dengan Tiongkok yang berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia masih mungkin terjadi. Dikarenakan keduanya adalah mitra dagang Indonesia, perlambatan ekonomi di kedua negara sebagai imbas perang dagang, akan berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Campur tangan Amerika Serikat dalam konflik Laut Cina Selatan juga tidak bisa dihilangkan sepenuhnya.
Namun demikian, yang harus digarisbawahi adalah Amerika Serikat akan lebih terbuka untuk berdialog dan mendengarkan pendapat global, terlebih lagi dengan mitra strategisnya di berbagai kawasan. Inilah celah yang bisa dimanfaatkan bagi Indonesia yang tentu saja tetap berkomitmen untuk menjadi negara yang mandiri dan berdaulat, terlepas dari siapapun yang memimpin Amerika Serikat.
*) Dr. H. Jazilul Fawaid, S.Q., M.A., Wakil Ketua MPR RI Periode 2019-2024