Takengon (ANTARA) - Kopi arabica Gayo sejak dulu tumbuh baik di kawasan pegunungan Dataran Tinggi Gayo khususnya di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah yang berada dalam wilayah tengah Provinsi Aceh.
Luas lahan kopi di kedua daerah ini mencapai lebih dari 90.000 hektare dengan perincian seluas 49.835 hektare di Aceh Tengah dan seluas 46.273 hektare di Kabupaten Bener Meriah, sehingga menjadikannya sebagai sentra penghasil kopi arabica terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.
Seluruh perkebunan kopi di kedua daerah ini juga merupakan perkebunan kopi rakyat tanpa ada penguasaan oleh perusahan besar. Sedangkan produktifitas rata-rata setiap kebun kopinya tercatat di angka 700-800 kg/Ha/tahun.
Kopi arabica Gayo juga dikenal sebagai kopi kualitas terbaik dunia yang tumbuh pada ketinggian rata-rata antara 1.200-1.800 meter di atas permukaan laut.
Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah menyebut setiap tahunnya kopi Gayo diekspor ke lebih dari 16 negara dengan nilai pasok rata-rata mencapai 7.000 ton per tahun.
Tercatat arabica gayo sangat digemari oleh konsumen di Amerika, Eropa, dan Jepang. Mereka menyebut kopi gayo sangat istimewa dan dikatagorikan sebagai kopi spesialty karena memiliki aroma khas dengan perisa (flavor) kompleks, dan kekentalan (body) yang kuat.
Berdasarkan hasil uji citarasa kopi yang diterapkan oleh asosiasi kopi di Amerika yakni Specialty Coffee Asotiation of Amerika (SCAA), kopi Gayo disebut sebagai kopi dengan skor nilai sempurna.
Bagi SCAA kopi dengan skor poin di atas angka 80 berdasarkan hasil uji citarasa (Cupping test) sudah dianggap sebagai kopi spesialty.
Sedangkan kopi Gayo selalu mendapatkan nilai tertinggi di angka 86-90 poin. Nilai itu cukup untuk menobatkan kopi gayo sebagai kopi terbaik nomor 1 di dunia.
Kopi dan tradisi masyarakat Gayo
"Tak ada kopi tak ada cerita," begitulah ungkapan penyair nasional asal Gayo Fikar W Eda dalam setiap kesempatannya mempromosikan kopi Gayo.
Penyair ini selalu mengatakan bahwa bagi masyarakat Gayo kopi bukan hanya sekedar komoditi tapi juga memiliki nilai-nilai tradisi yang tak dapat dipisahkan dari sendi kehidupan di tengah masyarakatnya.
Masyarakat Gayo tempo dulu mengenal kopi dengan sebutan Kewe atau Kahwa. Kopi ditanam berbanjar-banjar, dirawat dengan teliti dan penuh kepedulian, dan menjadikannya sebagai sumber penghidupan.
"Bismillah..Siti Kewe, kunikahen ko urum kuyu, tanoh kin saksimu, wih kin walimu, lo kin saksi kalammu," ucap Fikar W Eda pada penggalan puisinya di sebuah pentas acara ngopi di kebun kopi di Takengon.
Jika diartikan "Bismillah..Siti Kewe. Kunikahkan kau dengan angin, tanah jadi saksimu, air jadi walimu, hari jadi saksi kalammu".
Kalimat itu merupakan mantra yang pernah menjadi bagian dari tradisi menanam kopi di tengah masyarakat Gayo tempo dulu.
Menurut penyair ini kalimat yang diucapkan dalam bahasa Gayo itu adalah bentuk simbol penghormatan saat petani kopi di Gayo tempo dulu akan memulai menanam bibit-bibit kopi untuk diharapkan tumbuh menjadi batang-batang yang tangguh.
Kalimat itu adalah saksi dari sebuah sejarah panjang kehidupan masyarakat Gayo yang begitu dekat dengan alam. Itulah sebuah cerminan tradisi di tengah masyarakatnya yang begitu menghargai kopi dan alam.
Bagi masyarakat Gayo kopi bukan hanya tentang minuman hangat di pagi hari atau menjadi tradisi menu hidangan dalam setiap kebersamaan, tapi lebih dari itu juga diresapi sebagai bagian dari nilai-nilai kearifan dan keelokan berbudaya.
Kebun-kebun kopi di sini bukan hanya sekedar menjadi ladang sumber ekonomi bagi masyarakatnya, tapi juga merupakan 'rumah' yang mampu memberikan ketenangan dan kenyamanan bagi setiap pemiliknya.
"Mamak saya walaupun sudah tua enggak bisa dilarang ke kebun, malah sakit badannya kalau enggak ke kebun," kata seorang petani kopi di Takengon, Aman Fitrah.
Nasib petani di tengah pandemi
Di tengah pandemi COVID-19 saat ini, masyarakat Gayo tetap merawat kebun-kebun kopinya dengan teliti. Mayoritas masyarakat di sini atau 85 persennya memang merupakan petani kopi.
Walau pandemi telah berdampak pada penurunan harga kopi secara signifikan, masyarakat Gayo tetap tak meninggalkan kebun-kebun kopi mereka.
"Kalau sekarang nasip petani memang sangat memprihatinkan, harga kopi (gelondongan) cuma Rp6.000 per bambu. Biasanya Rp10.000 sampai Rp12.000 per bambu," kata Iwan (40), seorang petani kopi di Takengon.
"Harga segitu cuma cukup untuk menutupi ongkos panen saja kalau kita bayar orang untuk memetik kopi. Tapi kalau untuk menutupi biaya perawatan kebun tidak cukup, belum lagi untuk kebutuhan ekonomi keluarga," ujarnya lagi.
Tapi walau begitu ayah tiga anak ini mengaku tak pernah meninggalkan kebun kopinya. Ia hanya berharap pandemi dapat segera berakhir dan harga kopi dapat kembali normal seperti sedia kala.
Sepertinya halnya Iwan, Aman Fitrah (39) juga tak lantas meninggalkan kebun kopinya akibat dampak pandemi. Ia tetap pergi ke kebun setiap harinya dan merawat kebun kopinya dengan baik.
Tapi menurutnya petani kopi seperti dirinya saat ini memang harus berjuang dengan keadaan.
Kata dia, petani kopi harus bisa memanfaatkan lahan kebunnya untuk tanaman sampingan seperti menanam sayur-sayuran untuk menambah pendapatan.
"Kalau saya selingannnya tanam cabai, enggak banyak, untuk bisa nambah-nambah penghasilan saja selain kopi," kata Aman Fitrah.
Sejak pandemi COVID-19 melanda dunia, kopi Gayo sebagai komoditi ekspor memang merasakan langsung dampaknya. Banyak pembeli luar negeri menyetop pembeliannya atau membeli lebih sedikit dari biasanya.
Hal itu tak terlepas dari dampak kemerosotan ekonomi yang dirasakan oleh setiap negara-negara di dunia saat ini akibat pandemi.
Ketua Asosiasi Produser Fairtrade Indonesia (APFI) Armiadi di Takengon mengatakan permintaan ekspor kopi Gayo selama pandemi sangat minim.
Menurut dia kondisi ini membuat kopi Gayo lebih banyak menumpuk di gudang. Para eksportir lokal kewalahan mendapatkan kontrak pembelian seperti biasanya dari para pembeli luar negeri.
"Kopi tertumpuk di gudang, kopi tidak terjual, kopi tidak dibeli. Itu kondisi saat ini," kata Armiadi.
Jika pun ada transaksi pembelian atau ekspor kopi Gayo di masa pandemi saat ini maka diprediksi tak lebih dari kisaran 10 sampai 20 persen saja.
Sedangkan sisanya, kata dia, kopi menumpuk di gudang tanpa ada permintaan beli dari para buyer luar negeri.
"Banyak persepsi tentang berapa banyak kopi yang tertumpuk di gudang saat ini, secara pasti tidak bisa terdata karena berada ditangan petani dan pedagang lokal. Ada yang memprediksi 15.000 ton, tapi memang tidak tertebak," ujarnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Aceh Armia yang menjelaskan bahwa pandemi saat ini memang sangat berdampak pada perdagangan kopi dunia, termasuk menyebabkan anjloknya harga jual kopi Gayo.
"Tak hanya kopi Gayo saja, tapi kopi dunia (anjlok harga),” kata dia.
Karena, menurut dia, 85 persen masyarakat Gayo menggantungkan perekonomiannya pada sektor kopi, maka kondisi sekarang ini memang dirasakan sangat berat bagi masyarakat di daerah itu.
"Berbeda dengan daerah penghasil kopi arabica lainnya di Indonesia, seperti Sintong, Temanggung, dan lainnya. Ekonomi masyarakatnya tidak terlalu berpengaruh, karena kopi bukan penghasilan utama bagi mereka," kata Armia.
Dia juga mengatakan anjloknya harga kopi Gayo bukan diakibatkan oleh adanya permainan dagang. Ia menilai negara-negara pengimpor kopi Gayo selama ini memang sedang terpuruk akibat COVID-19.
"Banyak cafe-cafe di negara tujuan kopi Gayo yang tutup, roaster juga tutup. Dan ada negara buyer kita yang terkena resesi, ini juga sangat berpengaruh," ujarnya.
"Jadi negara-negara buyer seperti Amerika, Eropa Barat, Australia, saat ini memang masih menyetop pembelian. Jika pun ada permintaan jumlahnya sedikit," kata Armia.
Sementara untuk soal harga, kata dia, harga jual kopi Gayo saat ini sebenarnya masih relatif baik jika dibandingkan dengan harga kopi dunia asal negara lainnya.
"Harga kopi Gayo saat ini berkisar Rp6.000 hingga Rp7.000 per bambu. Sedangkan harga di Terminal New York saat ini hanya berkisar 2 dolar US saja," katanya.
Artinya harga kopi kita saat ini masih tergolong tinggi, jika dibandingkan dengan kopi Brazil yang hanya berkisar Rp2.000 sampai Rp3.000 per bambu, katanya lagi.
Selain itu Armia juga menuturkan bahwa memang tidak ada solusi yang tepat untuk saat ini selain berharap pandemi segera berakhir. "Jika mau cepat ayo sama-sama kita akhiri COVID-19 ini, dengan mematuhi protokol kesehatan," ujarnya.