Meulaboh (ANTARA Aceh) - Harga tampung tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di tingkat petani lokal di Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh, mengalami kenaikan dari Rp11.000 menjadi Rp13.000 per kilogram, karena tingginya permintaan perusahaan pengolah bahan mentah.
Jauhari (48), salah seorang di Nagan Raya, Selasa mengatakan bahwa pada pekan lalu harga tampung kelapa sawit mengalami kenaikan sebesar Rp1.000 per kilogram, namun ada sebagian penampung berani membeli seharga Rp13.500/kilogram.
"Sebenarnya kalau harga naik ada keuntungan bagi petani sawit, tapi saat harga TBS naik kami baru saja panen, jadi tunggu panen selanjutnya lagi. Tapi biasanya saat panen harga tampung jadi murah," katanya.
Kabupaten Nagan Raya merupakan salah satu daerah sentra produksi kelapa sawit dan minyak sawit mentah (crude palm oil) terbesar di Aceh dengan produksi rata-rata 24 ton per hektare TBS, kawasan tersebut sampai 2015 ini terdapat lebih dari 20 ribu hektare lahan perkebunan di kelola sejumlah perusahaan dan kebun rakyat.
Dia menjelaskan, masyarakat setempat setiap panen menjual kepada penampung lokal atau diistilahkan "gudang", kemudian dari penampung tersebut barulah dijual kembali pada sejumlah perusahaan pengolah bahan minyak mentah di kawasan mereka.
Untuk setiap agen penampung lokal biasanya daya beli ditampung sebanyak-banyaknya akan tetapi persoalan harga terkadang tidak menyentuh, malahan sering di bawah standar atau jatuh ke level terendah Rp5.000 per kilogramnya.
"Sejak memasuki awal 2015 ini harganya sudah mulai normal, walaupun ada beda harga antar para penampung paling cuma Rp1.000 sampai Rp1.500 per kilogram, tergantung kebutuhan penampung juga," imbuhnya.
Jauhari menyatakan, mayoritas masyarakat di Kecamatan Darul Makmur selain berprofesi sebagai petani sawit juga memiliki tanaman kakao, perpaduan kedua jenis tanaman tersebut selama ini menjadi pendonkrak ekonomi masyarakat sekitar.
Meskipun terkadang harga sawit merosot akan tetapi dirinya berkomitmen tidak beralih profesi untuk budidaya tanaman kakao karena resiko dan modal usaha lebih besar, apalagi kebun kelapa sawit miliknya masih membutuhkan biaya perawatan secara berkelanjutan.
Petani kawasan setempat berharap adanya dukungan dari pemerintah kabupaten untuk membantu mereka menyediakan perluasan lahan, karena saat ini sudah begitu sempit seiring tingginya kebutuhan lahan perkebunan untuk perusahaan perkebunan yang berinvestasi ke daerah itu.
"Kalau dibilang harapan kami ya pemerintah kasih tanah untuk kebun, karena kami sudah sulit mendapatkan lahan untuk berkebun," katanya menambahkan.
Jauhari (48), salah seorang di Nagan Raya, Selasa mengatakan bahwa pada pekan lalu harga tampung kelapa sawit mengalami kenaikan sebesar Rp1.000 per kilogram, namun ada sebagian penampung berani membeli seharga Rp13.500/kilogram.
"Sebenarnya kalau harga naik ada keuntungan bagi petani sawit, tapi saat harga TBS naik kami baru saja panen, jadi tunggu panen selanjutnya lagi. Tapi biasanya saat panen harga tampung jadi murah," katanya.
Kabupaten Nagan Raya merupakan salah satu daerah sentra produksi kelapa sawit dan minyak sawit mentah (crude palm oil) terbesar di Aceh dengan produksi rata-rata 24 ton per hektare TBS, kawasan tersebut sampai 2015 ini terdapat lebih dari 20 ribu hektare lahan perkebunan di kelola sejumlah perusahaan dan kebun rakyat.
Dia menjelaskan, masyarakat setempat setiap panen menjual kepada penampung lokal atau diistilahkan "gudang", kemudian dari penampung tersebut barulah dijual kembali pada sejumlah perusahaan pengolah bahan minyak mentah di kawasan mereka.
Untuk setiap agen penampung lokal biasanya daya beli ditampung sebanyak-banyaknya akan tetapi persoalan harga terkadang tidak menyentuh, malahan sering di bawah standar atau jatuh ke level terendah Rp5.000 per kilogramnya.
"Sejak memasuki awal 2015 ini harganya sudah mulai normal, walaupun ada beda harga antar para penampung paling cuma Rp1.000 sampai Rp1.500 per kilogram, tergantung kebutuhan penampung juga," imbuhnya.
Jauhari menyatakan, mayoritas masyarakat di Kecamatan Darul Makmur selain berprofesi sebagai petani sawit juga memiliki tanaman kakao, perpaduan kedua jenis tanaman tersebut selama ini menjadi pendonkrak ekonomi masyarakat sekitar.
Meskipun terkadang harga sawit merosot akan tetapi dirinya berkomitmen tidak beralih profesi untuk budidaya tanaman kakao karena resiko dan modal usaha lebih besar, apalagi kebun kelapa sawit miliknya masih membutuhkan biaya perawatan secara berkelanjutan.
Petani kawasan setempat berharap adanya dukungan dari pemerintah kabupaten untuk membantu mereka menyediakan perluasan lahan, karena saat ini sudah begitu sempit seiring tingginya kebutuhan lahan perkebunan untuk perusahaan perkebunan yang berinvestasi ke daerah itu.
"Kalau dibilang harapan kami ya pemerintah kasih tanah untuk kebun, karena kami sudah sulit mendapatkan lahan untuk berkebun," katanya menambahkan.