Pada penghujung tahun 2015 Pemerintah Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh meresmikan satu unit Conseration Respon Unit (CRU) Sampoiniet di tengah hutan belantara berjarak sekitar 16 kilometer lintas Provinsi Aceh.
Untuk sampai ke lokasi CRU Sampoiniet, membutuhkan waktu sekitar 1 jam perjalanan apabila mengunakan kendaraan roda empat, melewati sejumlah pegunungan dan perkampungan penduduk dalam Kecamatan Sampoiniet.
Setelah melewati satu persimpangan, menelusuri jalan setapak yang dipenuhi lumpur serta jatuhan bongkahan tanah longsor disepanjang jalan.
Di sana akan terlihat relatif sangat banyak tanda kehidupan satwa liar di hutan, terutama adalah gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus).
Di kawasan itu juga sering ditemukan konflik satwa liar gajah sumatra dengan masyarakat. Kondisi tersebut dinyatakan sebagai satu bencana yang membutuhkan upaya mitigasi atau mempersiapkan masyarakat menghadapinya.
Sesampainya di lokasi dibentuknya Base Camp CRU Sampoiniet, belasan pemuda serta ada di antaranya pawang gajah sudah mengenakan seragam lengkap berwarna hitam, kemudian dilakukan ritual masyarakat Aceh "peusijuk" (tepung tawar) sebagai petanda bahwa sudah ada tim CRU penanggung jawab di kawasan itu.
Menurut catatan dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh sepanjang 2015 tidak luput terjadi konflik satwa dengan masyarakat, sembilan individu gajah betina mati. Masyarakat pun menjadi korban jiwa dan harta benda.
Jumlah satwa gajah sumatra di Aceh diperkirakan tersisa 500--530 individu, jumlah ini diperkirakan seperempat dari populasi gajah sumatra di Indonesia yang diperkirakan masih bertahan antara 2.400 dan 2.800 individu.
Untuk itulah pemerintah vertikal dan horizontal dan dunia usaha berkumpul pada peresmian Base Camp CRU Sampoiniet tersebut sebagai langkah strategis dalam upaya konservasi sumber daya satwa liar di kawasan itu.
"Sepanjag 2015 hampir setiap hari itu saya mendapatkan laporan ada konflik satwa dengan manusia, memang tidak disayu lokasi, tetapi di 17 kabupaten/kota itu secara bergiliran bisa juga bersamaan. Satwa ada sembilan individu yang sudah mati, umumnya korban itu adalah betina dan itu anakan, dan juga korban dari sisi harta benda masyarakat sangat banyak," katanya.
Pada masa depan, satwa gajah kawasan itu akan dilokalisasi dihabitat alaminya dalam kawasan sanctuary yang dikelola pengamanan lintas yang menjadi pintu keluar masuk satwa gajah liar dari hutan ke kawasan budidaya.
Individu gajah liar akan dipasangkan kalung GPS Collar untuk memonitor pergerakan kelompok gajah liar, petugas CRU juga dilengkapi dengan gajah jinak untuk patroli merevitalisasi kearifan budaya.
Skema resolusi ini akan dilengkapi dengan pengembangan budi daya lebah madu bersama masyarakat karena lebah madu diyakini dihindari oleh gajah menurut hasil sebuah penelitian di Afrika.
Ia menyebutkan semua pihak harus ikut terlibat dalam upaya mitigasi konflik gajah dan manusia. Misalnya, di Aceh Jaya, BKSDA mendapat respons pertama dari kelompok dunia usaha PT Astra Agro Lestari yang peduli dengan kondisi sulit yang dialami masyarakat yang konflik dengan gajah.
"CRU Sampoiniet adalah ujung tombak yang sudah beroperai di Aceh untuk meredam konflik dan akan segara menyusul di wilayah lain, seperti Bener Meriah, Aceh Barat, dan Aceh Timur, insya Allah ke depan konflik satwa liar akan segera cepat ditangani,"imbuhnya.
Ikon Wisata
Pada saat bersamaan Pemerintah Kabupaten Aceh Jaya akan merintis pola pengembangan kawasan konservasi satwa gajah sumatra di kawasan itu sebagai salah satu ikon wisata alam yang diberi nama "Gampong Gajah" karena terdapat jumlah individu gajah relatif cukup banyak.
Bupati Aceh Jaya Ir. Azhar Abdurrahman mengatakan bahwa pengembangan wisata alam Gampong Gajah Sumatra sebagai upaya mendekatkan masyarakat untuk bersahabat dengan alam serta menjadi pusat edukasi masyarakat luar bersahabat dengan alam.
Konflik satwa gajah dengan manusia sangat rentan terjadi di kawasan perkampungan berjarak sekitar 16 kilometer dari jalan lintas Provinsi Aceh tersebut. Kondisi itu harus ditanggulangi untuk dimanfaatkan dengan lebih baik.
Dengan adanya pengelolaan yang lebih baik, diyakini akan mampu menjadi salah satu aset pendapatan daerah serta pengembangan ekonomi masyarakat pedalaman yang merasakan penderitaan akibat konflik dengan satwa.
Menurut dia, suatu kawasan yang didiami oleh satwa gajah yang biasa disebut dalam bahasa Aceh "Tengku Rayek" maka tempat tersebut mendapat sebuah keberkahan, hanya saja bila terjadi perselisihan perebutan tempat tinggal maupun makanan dengan masyarakat harus ada sebuah penyelesaian yang arif.
Satwa gajah hidup di hutan yang memang merupakan habitat alaminya, sementara masyarakat juga membutuhkan area untuk pengembangan usaha perkebunan maupun permukiman penduduk. Oleh karena itu, solusinya harus ada pihak yang menjadi juru runding.
"CRU inilah yang kita harapkan menjadi juru runding masyarakat dengan gajah, pada akhirnya terjalin perdamaian sehingga bisa hidup berdampingan. Bila masyarakat lokal sudah berdamai, tentunya menjadi modal. Orang lain akan melihat dan bersahabat dengan satwa yang ada di Aceh," katanya.
Berkenaan pengelolaan wisata alam gampong gajah ini dikalaborasikan, pemda mempersiapkan berbagai kebutuhan fasilitas infrastruktur jalan dan sebagainya, sementara BKSDA tentunya menjadi garda terdepan.
Selain itu, diharapkan dunia usaha lain, terutama yang bergerak di sektor perkebunan, dapat mewujudkan kepedulian terhadap keseimbangan lingkungan tentunya dengan ikut serta dalam menjaga pengendalian satwa gajah.
Dengan adanya kepedulian bersama, manajemen perkebunan pun akan merasa nyaman tidak terganggu dalam aktivitas karena konflik satwa. Demikian halnya pemerintah dan masyarakat tidak dirugikan akibat konflik tersebut.
Persoalan konflik masyarakat dan satwa dilindungi undang-undang tersebut selama sedikit banyak sudah merugikan kedua belah pihak, ada gajah yang mati. demikian juga manusia ada yang korban jiwa serta harta benda tidak ternilai.
"Harapan kita kalau bisa CRU yang sudah ditempatkan, mereka tinggal di sini, masyarakat dapat datang melihat setiap saat gajah-gajah bermain. Di sini juga dapat menjadi tempat edukasi bersahabat dengan alam," katanya.
Pernyataan Azhar Abdurrahman tersebut sejalan dengan keinginan pemerintah pusat dalam hal ini Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, patut dicontoh sebagian daerah lain di Indonesia yang sudah mampu menerapkan.
Kasubdit Pengawetan Jenis dari Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) RI Puja Utama menyampaikan satwa gajah harus dilindungi karena populasinya makin terancam punah.
Untuk mempertahankan populasi gajah, pemerintah dihadapkan dengan tantangan berat karena habitat hidup gajah tersebut kurang lebih 85 persen berada di luar kawasan konservasi sehingga rawan terjadi konflik dengan manusia.
Dalam program pembangunan jangka menengah KLH dan Kehutanan RI mempunyai target untuk meningkatkan populasi 25 spesies satwa dilindungi yang kondisinya terancam punah sebesar 10 persen, termasuk gajah.
Puja Utama mengatakan bahwa pembangunan tersebut merupakan indikator keberhasilan di samping memiliki target dari paket kebijakan KLH dapat membangun satwa gajah sebanyak 50 jenis. Di Aceh merupakan salah satu lokasi dibangunnya sanctuary sebagai alternatif.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan 294 jenis satwa dan tumbuhan yang dilindungi undang-undang, tidak boleh ditangkap, tidak boleh buru, tidak boleh dimiliki, tidak boleh dimatikan, dan tidak boleh diperdagangkan.
"Kenapa dilindungi undang-undang? Karena populasi gajah dialamnya mengalami ancaman kepunahan. Harapan kita bersama suatu saat masyarakat dapat hidup berdampingan dengan satwa," katanya.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Jaya Tengku Saudi mengajak semua tokoh masyarakat mendukung program itu dan bersama-sama mengawal pelaksana program secara sungguh-sungguh sebagaimana direncanakan.
"Kami memuji langkah Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Jaya yang sigap menggandengkan program ini dengan program tambahan, yaitu program wanawisata," katanya.
Masyarakat Gampong sekitar juga menyatakan komitmen mendukung upaya pembentukan CRU ini sehingga diharapkan menjadi benteng pertahanan masyarakat dengan satwa liar yang hidup dialam.
"Dengan adanya tim CRU ini tentunya akan banyak masyarakat sudah berkebun kembali dan akan berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat Ie Jeureungeh," kata Geuchik (Kades) Ie Jeureungeh Khairil Anwar.
Untuk sampai ke lokasi CRU Sampoiniet, membutuhkan waktu sekitar 1 jam perjalanan apabila mengunakan kendaraan roda empat, melewati sejumlah pegunungan dan perkampungan penduduk dalam Kecamatan Sampoiniet.
Setelah melewati satu persimpangan, menelusuri jalan setapak yang dipenuhi lumpur serta jatuhan bongkahan tanah longsor disepanjang jalan.
Di sana akan terlihat relatif sangat banyak tanda kehidupan satwa liar di hutan, terutama adalah gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus).
Di kawasan itu juga sering ditemukan konflik satwa liar gajah sumatra dengan masyarakat. Kondisi tersebut dinyatakan sebagai satu bencana yang membutuhkan upaya mitigasi atau mempersiapkan masyarakat menghadapinya.
Sesampainya di lokasi dibentuknya Base Camp CRU Sampoiniet, belasan pemuda serta ada di antaranya pawang gajah sudah mengenakan seragam lengkap berwarna hitam, kemudian dilakukan ritual masyarakat Aceh "peusijuk" (tepung tawar) sebagai petanda bahwa sudah ada tim CRU penanggung jawab di kawasan itu.
Menurut catatan dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh sepanjang 2015 tidak luput terjadi konflik satwa dengan masyarakat, sembilan individu gajah betina mati. Masyarakat pun menjadi korban jiwa dan harta benda.
Jumlah satwa gajah sumatra di Aceh diperkirakan tersisa 500--530 individu, jumlah ini diperkirakan seperempat dari populasi gajah sumatra di Indonesia yang diperkirakan masih bertahan antara 2.400 dan 2.800 individu.
Untuk itulah pemerintah vertikal dan horizontal dan dunia usaha berkumpul pada peresmian Base Camp CRU Sampoiniet tersebut sebagai langkah strategis dalam upaya konservasi sumber daya satwa liar di kawasan itu.
"Sepanjag 2015 hampir setiap hari itu saya mendapatkan laporan ada konflik satwa dengan manusia, memang tidak disayu lokasi, tetapi di 17 kabupaten/kota itu secara bergiliran bisa juga bersamaan. Satwa ada sembilan individu yang sudah mati, umumnya korban itu adalah betina dan itu anakan, dan juga korban dari sisi harta benda masyarakat sangat banyak," katanya.
Pada masa depan, satwa gajah kawasan itu akan dilokalisasi dihabitat alaminya dalam kawasan sanctuary yang dikelola pengamanan lintas yang menjadi pintu keluar masuk satwa gajah liar dari hutan ke kawasan budidaya.
Individu gajah liar akan dipasangkan kalung GPS Collar untuk memonitor pergerakan kelompok gajah liar, petugas CRU juga dilengkapi dengan gajah jinak untuk patroli merevitalisasi kearifan budaya.
Skema resolusi ini akan dilengkapi dengan pengembangan budi daya lebah madu bersama masyarakat karena lebah madu diyakini dihindari oleh gajah menurut hasil sebuah penelitian di Afrika.
Ia menyebutkan semua pihak harus ikut terlibat dalam upaya mitigasi konflik gajah dan manusia. Misalnya, di Aceh Jaya, BKSDA mendapat respons pertama dari kelompok dunia usaha PT Astra Agro Lestari yang peduli dengan kondisi sulit yang dialami masyarakat yang konflik dengan gajah.
"CRU Sampoiniet adalah ujung tombak yang sudah beroperai di Aceh untuk meredam konflik dan akan segara menyusul di wilayah lain, seperti Bener Meriah, Aceh Barat, dan Aceh Timur, insya Allah ke depan konflik satwa liar akan segera cepat ditangani,"imbuhnya.
Ikon Wisata
Pada saat bersamaan Pemerintah Kabupaten Aceh Jaya akan merintis pola pengembangan kawasan konservasi satwa gajah sumatra di kawasan itu sebagai salah satu ikon wisata alam yang diberi nama "Gampong Gajah" karena terdapat jumlah individu gajah relatif cukup banyak.
Bupati Aceh Jaya Ir. Azhar Abdurrahman mengatakan bahwa pengembangan wisata alam Gampong Gajah Sumatra sebagai upaya mendekatkan masyarakat untuk bersahabat dengan alam serta menjadi pusat edukasi masyarakat luar bersahabat dengan alam.
Konflik satwa gajah dengan manusia sangat rentan terjadi di kawasan perkampungan berjarak sekitar 16 kilometer dari jalan lintas Provinsi Aceh tersebut. Kondisi itu harus ditanggulangi untuk dimanfaatkan dengan lebih baik.
Dengan adanya pengelolaan yang lebih baik, diyakini akan mampu menjadi salah satu aset pendapatan daerah serta pengembangan ekonomi masyarakat pedalaman yang merasakan penderitaan akibat konflik dengan satwa.
Menurut dia, suatu kawasan yang didiami oleh satwa gajah yang biasa disebut dalam bahasa Aceh "Tengku Rayek" maka tempat tersebut mendapat sebuah keberkahan, hanya saja bila terjadi perselisihan perebutan tempat tinggal maupun makanan dengan masyarakat harus ada sebuah penyelesaian yang arif.
Satwa gajah hidup di hutan yang memang merupakan habitat alaminya, sementara masyarakat juga membutuhkan area untuk pengembangan usaha perkebunan maupun permukiman penduduk. Oleh karena itu, solusinya harus ada pihak yang menjadi juru runding.
"CRU inilah yang kita harapkan menjadi juru runding masyarakat dengan gajah, pada akhirnya terjalin perdamaian sehingga bisa hidup berdampingan. Bila masyarakat lokal sudah berdamai, tentunya menjadi modal. Orang lain akan melihat dan bersahabat dengan satwa yang ada di Aceh," katanya.
Berkenaan pengelolaan wisata alam gampong gajah ini dikalaborasikan, pemda mempersiapkan berbagai kebutuhan fasilitas infrastruktur jalan dan sebagainya, sementara BKSDA tentunya menjadi garda terdepan.
Selain itu, diharapkan dunia usaha lain, terutama yang bergerak di sektor perkebunan, dapat mewujudkan kepedulian terhadap keseimbangan lingkungan tentunya dengan ikut serta dalam menjaga pengendalian satwa gajah.
Dengan adanya kepedulian bersama, manajemen perkebunan pun akan merasa nyaman tidak terganggu dalam aktivitas karena konflik satwa. Demikian halnya pemerintah dan masyarakat tidak dirugikan akibat konflik tersebut.
Persoalan konflik masyarakat dan satwa dilindungi undang-undang tersebut selama sedikit banyak sudah merugikan kedua belah pihak, ada gajah yang mati. demikian juga manusia ada yang korban jiwa serta harta benda tidak ternilai.
"Harapan kita kalau bisa CRU yang sudah ditempatkan, mereka tinggal di sini, masyarakat dapat datang melihat setiap saat gajah-gajah bermain. Di sini juga dapat menjadi tempat edukasi bersahabat dengan alam," katanya.
Pernyataan Azhar Abdurrahman tersebut sejalan dengan keinginan pemerintah pusat dalam hal ini Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, patut dicontoh sebagian daerah lain di Indonesia yang sudah mampu menerapkan.
Kasubdit Pengawetan Jenis dari Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) RI Puja Utama menyampaikan satwa gajah harus dilindungi karena populasinya makin terancam punah.
Untuk mempertahankan populasi gajah, pemerintah dihadapkan dengan tantangan berat karena habitat hidup gajah tersebut kurang lebih 85 persen berada di luar kawasan konservasi sehingga rawan terjadi konflik dengan manusia.
Dalam program pembangunan jangka menengah KLH dan Kehutanan RI mempunyai target untuk meningkatkan populasi 25 spesies satwa dilindungi yang kondisinya terancam punah sebesar 10 persen, termasuk gajah.
Puja Utama mengatakan bahwa pembangunan tersebut merupakan indikator keberhasilan di samping memiliki target dari paket kebijakan KLH dapat membangun satwa gajah sebanyak 50 jenis. Di Aceh merupakan salah satu lokasi dibangunnya sanctuary sebagai alternatif.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan 294 jenis satwa dan tumbuhan yang dilindungi undang-undang, tidak boleh ditangkap, tidak boleh buru, tidak boleh dimiliki, tidak boleh dimatikan, dan tidak boleh diperdagangkan.
"Kenapa dilindungi undang-undang? Karena populasi gajah dialamnya mengalami ancaman kepunahan. Harapan kita bersama suatu saat masyarakat dapat hidup berdampingan dengan satwa," katanya.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Jaya Tengku Saudi mengajak semua tokoh masyarakat mendukung program itu dan bersama-sama mengawal pelaksana program secara sungguh-sungguh sebagaimana direncanakan.
"Kami memuji langkah Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Jaya yang sigap menggandengkan program ini dengan program tambahan, yaitu program wanawisata," katanya.
Masyarakat Gampong sekitar juga menyatakan komitmen mendukung upaya pembentukan CRU ini sehingga diharapkan menjadi benteng pertahanan masyarakat dengan satwa liar yang hidup dialam.
"Dengan adanya tim CRU ini tentunya akan banyak masyarakat sudah berkebun kembali dan akan berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat Ie Jeureungeh," kata Geuchik (Kades) Ie Jeureungeh Khairil Anwar.