Banda Aceh (ANTARA) - Berada di desa terpencil yang jauh dari hiruk pikuk kota tidak membuat perempuan di Linge, Aceh Tengah, duduk diam menunggu para suami pulang menderes getah pinus. Kekayaan alam di Desa Linge yang melimpah ruah dimanfaatkan oleh para ine menjadi sumber ekonomi yang mampu menghidupkan dapur keluarga.
Desa ini berjarak puluhan kilometer dari Kota Takengon. Perjalanan menuju Desa Linge memakan waktu yang tidak sedikit di tambah lagi tidak ada jaringan telekomunikasi di desa ini.
Warga Desa Linge hanya mengandalkan jaringan yang hanya terdapat persis di depan rumah sekretaris desa. Jaringan itu pun tidak selalu bisa diakses.
Bukan saja keterbatasan akses dengan dunia luar, warga desa juga mengalami keterbatasan pendidikan hingga membuat mereka mengalami keterbatasan dalam mendapatkan pekerjaan.
Mata pencaharian utama warga adalah menderes getah dari hutan pinus, petani lebah hutan, dan peternak kerbau.
Terutama sekali bagi perempuan, tidak ada pilihan pekerjaan yang layak. Keterbatasan pilihan itulah yang kemudian membuat ine di Desa Linge memaksimalkan lahan mereka untuk ditanami tanaman yang memiliki nilai tukar rupiah.
Ine Bas- Ine dalam bahasa Gayo yang berarti ‘ibu’ dan Bas adalah nama anaknya, merupakan salah satu dari para puan di Linge yang memanfaatkan lahan di samping rumah untuk untuk bercocok tanam kapulaga (amomum compactum).
Budidaya kapulaga di Kecamatan Linge ini sudah dimulai sejak 15 tahun lalu dan menjadi pendongkrak perekonomian warga Kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah.
Dari 26 desa yang ada di Kecamatan Linge, beberapa desa membudidayakan tanaman asli yang hanya terdapat di Bangladesh, Bhutan, India, Indonesia, Nepal, dan Pakistan.
Di Desa Linge sendiri, budidaya rempah yang dihasilkan dari biji beberapa tanaman genera Elettaria dan Amomum dalam keluarga Zingiberaceae (keluarga jahe-jahean) baru dilakukan oleh para ine Linge selama dua tahun terakhir.
Sebelumnya, para ine lebih banyak yang menanam serai wangi, tetapi kemudian banyak yang beralih menanam kapulaga karena nilai jual yang cukup menggiurkan.
Pada masa pandemi, harga kapulaga sangat tinggi mencapai Rp300 ribu per kg, tetapi sekarang harga jual jauh merosot, harga jual ke Kota Takengon mencapai Rp70 ribu per kg sedangkan harga jual ke pengepul hanya Rp30-35 ribu per kg.
“Awal pandemi Covid-19, ibu-ibu Desa Linge mulai menanam kapulaga karena harganya yang menjanjikan. Semua peluang yang ada tidak mereka lewatkan sedikitpun demi mencari tambahan untuk memenuhi kebutuhan keluarga,” ujar Ine Bas.
Selain itu, tanaman kapulaga ini juga mudah untuk dirawat. Suhu di Linge sangat cocok untuk pertumbuhan kapulaga karena lebih hangat dibandingkan daerah lain di Aceh Tengah yang berhawa sejuk.
Kapulaga yang dibudidayakan oleh para ine di Linge merupakan Kapulaga Jawa yang bentuknya bulat berwarna merah, bukan kapulaga India yang berbentuk agak lonjong dan berwarna lebih pucat.
Biasanya, kapulaga ini sudah dapat dipanen dalam sebulan sekali serta perawatannya cukup mudah tanpa perlu pupuk dan jarang diserang hama. Saat ini, hampir semua warga Linge menanam kapulaga di kebun dan pekarangan rumah. Ekonomi warga sangat terbantu dengan adanya tanaman rempah tersebut.
Manfaatkan pandan berduri
Tidak hanya kapulaga, tanah Desa Linge juga subur dengan tanaman daun pandan duri atau oleh masyarakat setempat disebut ‘bengkoang’. Daun bengkoang itu dapat mereka manfaatkan menjadi kerajinan anyaman dapat berupa tikar, tas, dompet, dan topi.
“Kerajinan ini harganya bervariasi tergantung ukuran dan pembuatannya, tikar ukuran 4 meter paling murah Rp200-300 ribu,” kata Ine Bas.
Anyaman dari daun pandan duri merupakan tradisi kebudayaan yang sudah ada sejak zaman nenek moyang. Ine Bas pun mengakui mendapatkan keterampilan menganyam tersebut sejak masa kanak-kanak dari istri tengku-guru mengaji. Tengku menyuruhnya menganyam tikar sebagai alas duduk saat mengaji. Dari situlah kemampuan menganyam Ine Bas dilatih.
“Semua ibu-ibu di sini pasti bisa menganyam, dulu kami diajarkan orang tua atau guru saat ada waktu senggang,” kata Ine Bas.
Kehidupan warga Desa pun juga masih tradisional, segala aktivitas masyarakat tak terlepas dari produk anyaman. Misalnya, ada tape ‘wadah beras’ yang terbuat dari anyaman dibawa saat ada acara khitan dan kunjungan orang meninggal. Kemudian, ada juga ampang ‘alas tempat duduk’ bagi para reje dan sepasang pengantin saat resepsi pernikahan.
Menganyam bagian dari aktivitas untuk mengisi waktu kosong para ine ketika menunggu suami pulang menderes getah pinus. Bukan untuk menjadi lahan bisnis awalnya.
Banyak produk anyaman yang dibuat oleh para ine setiap hari dipakai untuk diri sendiri ataupun dipinjamkan kepada orang yang akan membuat hajatan.
Akan tetapi, kini menganyam bukan lagi hanya sebatas mengisi waktu kosong. Bagi para ine yang menjadi ibu rumah tangga, anyaman dapat menjadi sumber penghasilan menghidupkan dapur.
Namun, tradisi ini pun juga sudah jarang ditemui. Tidak banyak lagi para perempuan desa yang mampu mengolah pandan berduri menjadi sebuah produk anyaman bernilai tinggi.
Hal ini pula yang kemudian membuat Dekranas Aceh Tengah mendatangkan warga dari daerah lainya untuk belajar menganyam dari Ine Bas.
“Tradisi ini hampir punah mungkin di desa ini hanya ibu-ibu yang sudah tua bisa menganyam, bahkan Dekranas Aceh Tengah pernah mendatangkan orang dari Langsa dan Gayo Lues untuk belajar sama saya,” katanya.
Selain diambang kepunahan SDM, tantangan lainnya yang dirasakan Ine Bas adalah tidak mempunyai modal yang cukup serta tidak mampu memasarkan produknya ke pasar yang lebih luas karena keterbatasan jaringan dan jauh dari kota tadi.
“Kalau kita bilang ini modalnya banyak, tetapi terkadang harga jual tidak sesuai,” ujarnya.
Dirinya berharap Dekranas Aceh Tengah dapat memberikan modal bagi para ine untuk belajar menganyam dan membeli segala peralatannya kemudian melestarikan tradisi menganyam kepada generasi muda mulai dari tingkat sekolah dasar.