Banda Aceh (ANTARA) - Selasa pagi, 22 April 2025, di tengah keheningan hutan Desa Bunin—desa yang bernaung di kaki Kawasan Ekosistem Leuser, tepatnya di Kecamatan Serbajadi, Aceh Timur—irama tepukan dada dari belasan penari Saman menggema nyaring berpadu dengan desau angin dan suara gemericik air sungai yang mengalir tidak jauh dari sana.
Dalam balutan baju seragam hitam berlengan pendek yang telah dibordir kerawang Gayo, tubuh mereka bergerak serempak mengikuti ritme syair tarian yang dilantunkan dalam bahasa khas dari suku dataran tinggi Aceh.
Gerakan dan irama nyanyian mereka kian lama kian cepat, membikin terkesima warga Bunin yang sudah berdatangan sejak pagi untuk menyaksikan pembukaan Festival Bunin 2025 yang dipromotori oleh Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA).
Penampilan Saman sendiri menjadi inti dari festival yang digelar selama tiga hari 22–24 April 2025 ini. Ada sebanyak 15 kelompok penari Saman antargampong di Kecamatan Serbajadi yang beradu kepiawaian.
Sekretaris Yayasan HAkA, Badrul Irfan, menjelaskan bahwa Saman bukanlah sekadar tarian, tiap tepukan dan gerakan yang dibawa tiap penari mengandung pesan tentang menjaga hutan, warisan mereka yang paling berharga.
Dia menilai warisan leluhur tersebut merupakan media yang efektif untuk menyampaikan pesan tentang perlindungan lingkungan, penguatan ekonomi lokal, serta pelestarian kearifan budaya yang telah diwariskan turun-temurun.
“Saman ini juga dulunya dipakai untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam ya. Jadi, sarananya ini juga kita pakai untuk menyampaikan pesan-pesan lingkungan. Bagaimana kita harus kembali lagi pada kearifan lokal,” katanya.

Ia menyampaikan bahwa seruan untuk menjaga lingkungan juga berarti merawat tradisi. Sebab, para indatu telah menekankan pentingnya menjaga keberlangsungan ruang hidup sejak dahulu.
Pesan-pesan mereka tersirat dalam tradisi dan kebudayaan yang diwariskan. Dalam budaya Gayo khususnya, banyak tradisi yang sarat dengan nilai-nilai konservasi dan penghormatan terhadap alam.
"Orang Gayo itu dari dulu sudah punya cara tersendiri dalam menata ruang hidupnya. Mereka mengenal istilah Weh Onen untuk menyebut sumber air yang harus dilindungi, dan Purworen sebagai wilayah penggembalaan," katanya.
Badrul menambahkan masih ada tradisi unik yang digunakan leluhur Gayo terdahulu dalam menjaga ekosistem alam. Salah satu caranya adalah menggulirkan batu bulat untuk menentukan kawasan hutan yang harus dilindungi.
"Apabila batu bergulir lancar sampai ke jalan, itu wilayah ditetapkan sebagai wilayah yang tidak boleh diganggu sama sekali," katanya.
Berbagai tradisi tersebut, lanjut Badrul, menunjukkan bahwa kesadaran ekologi masyarakat terutama dari suku Gayo sudah tumbuh sejak lama jauh sebelum hadirnya teknologi.
Karena itu, menurutnya, membangkitkan kembali kearifan lokal menjadi penting untuk mengingatkan bahwa menjaga hutan bukanlah konsep baru, melainkan warisan yang harus terus dilestarikan.
"Melestarikan hutan itu bukan hal yang baru, bukan sekarang saja. Itu sudah dari dulu, amanah orang-orang tua kita," katanya.
Potensi Bunin
Desa yang berada di kaki Kawasan Ekosistem Leuser—kawasan konservasi yang kaya keanekaragaman hayati di dunia—ini dikelilingi hutan lindung dengan luas hutan desa mencapai 2.698 hektar.
Untuk mencapai desa yang sebagian penduduknya merupakan keturunan dari suku Gayo ini, butuh menempuh perjalanan selama dua jam dari Jalan Banda Aceh-Sumatera Utara.
Lokasinya jauh dari hiruk pikuk kota, tersembunyi di tengah lebatnya hutan rimba. Meskipun begitu, keindahan alamnya begitu memukau. Tak sedikit orang akan rela menempuh perjalanan panjang demi menikmati surga tersembunyi di kaki Leuser.
Di desa ini, beragam suguhan wisata alam siap memanjakan pelancong, mulai dari jelajah hutan dan susur sungai, spot pemancingan, hingga Air Terjun Pamunggahan yang jernih, mengalir langsung dari Pegunungan Leuser.
Warga Bunin juga telah mengembangkan potensi ekowisata di desa mereka. Salah satunya Bunin Camping Ground, yang diperuntukkan bagi pengunjung yang ingin merasakan pengalaman berkemah di tengah alam. Di lokasi ini, terdapat aliran sungai yang tak hanya indah untuk dinikmati, tetapi juga cocok untuk aktivitas pemandian, arung jeram, dan river tubing.


Namun, di balik potensi itu, terdapat tantangan. Kehidupan masyarakat yang bergantung pada sumber daya hutan membuat Bunin rawan terhadap ancaman kerusakan lingkungan apabila tidak dikelola dengan baik.
Karena itu, Badrul mengatakan bahwa sejak 2018, HAkA mendampingi masyarakat Bunin dalam mengembangkan skema perhutanan sosial.
"Kalau tidak dilakukan pembinaan, tidak dilakukan edukasi, ini malah bisa jadi ancaman. Nah, untuk itulah kita pikir Bunin bisa menjadi salah satu prioritas kita untuk didampingi," katanya.
Pendampingan tersebut berbuah hasil dengan keluarnya Surat Keputusan (SK) Perhutanan Sosial, yang memberikan hak kepada masyarakat untuk mengelola kawasan hutan secara mandiri. Meski demikian, Badrul mengakui bahwa proses ini tidak mudah.
"Tantangan yang tidak sedikit adalah bagaimana menguatkan masyarakat secara kelembagaan. Kita nggak mau instan bisa langsung mencapai tujuan, tapi tiba-tiba ada hal yang tidak begitu mereka pahami," katanya.
Setelah terbitnya SK Perhutanan Sosial di Bunin, Badrul mengungkapkan bahwa HAkA membentuk Lembaga Pengelola Hutan Gampong (LPHG) Bunin yang bertugas melakukan patroli rutin untuk menjaga kelestarian hutan seluas 2.698 hektare yang telah mereka kelola.
"Setiap bulan, ranger melakukan patroli 4-5 hari. Harapannya dengan mereka sering patroli, suatu saat bila wisata sudah berkembang, mereka bisa jadi ranger sekaligus guide untuk para tamu," katanya.
Selain menjaga hutan, dia menyebutkan bahwa pendampingan juga diarahkan agar masyarakat kelak mampu mandiri, baik dari sisi ekonomi maupun dalam pengelolaan kawasan.
"Skema pendampingan ini juga membangun bagaimana satu saat mereka bisa mandiri. Kita berharap ada usaha-usaha yang bisa mendukung usaha konservasi mereka," katanya.
Surga bagi peneliti
Bupati Aceh Timur, Iskandar Usman Al-Farlaky, menilai kawasan hutan Bunin memiliki potensi besar. Tidak hanya sebagai lokasi wisata saja, tetapi juga bisa menjadi daya tarik bagi peneliti yang ingin melakukan riset tentang kekayaan sumber daya alam.
“Melalui festival ini, kita sudah melakukan mengkampanyekan potensi Bunin, saya berharap ke depan akan hadir penjelajah, penikmat alam, dan peneliti untuk mengkampanyekan potensi yang kita miliki. Tanpa itu daerah kita tidak dikenal oleh orang lain,” katanya dalam sambutan untuk membuka Festival Bunin 2025.
Dalam sambutannya itu, dia menyampaikan bahwa pemerintah daerah siap berkomitmen dalam mendukung upaya pelestarian hutan dan konservasi lingkungan, khususnya di Desa Bunin, Kecamatan Serbajadi.


Selain itu, ia menegaskan akan mendorong pemerintah pusat agar segera membuat kebijakan baru terkait status kawasan hutan Desa Bunin yang saat ini beberapa masih berada di bawah konsesi hak guna usaha (HGU) perusahaan.
"Pemerintah Aceh Timur juga akan melakukan tinjauan terkait beberapa HGU yang masuk dalam kawasan penduduk," katanya.
Menurut Iskandar, hal itu penting dilakukan mengingat potensi Desa Bunin sangat luar biasa, mulai dari ketersediaan sumber air bersih hingga kekayaan biodiversitas hutan. Ia menilai sumber air di Bunin berpotensi besar untuk diproduksi menjadi air kemasan yang dikelola langsung oleh badan usaha milik desa (BUMDes).
"Air bisa dibungkus dengan bagus dan dipasarkan di pusat pasar kita," katanya.
Ke depannya, Iskandar juga menyampaikan akan melanjutkan pembangunan Sanctuary Badak di Aceh Timur guna menjaga keberlangsungan hidup satwa lindung yang hampir punah tersebut yang diharapkan pula dapat mendatangkan banyak peneliti ke sana.