Sabang bak surga di ujung paling barat Indonesia yang menawarkan tujuan wisata lengkap bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.
Betapa tidak, dengan mengunjungi kota yang terletak di Pulau Weh, dengan luas kawasan mencapai 153 kilometer persegi itu, para pelancong tidak hanya dapat menikmati pesona pantai-pantai berpasir putih nan eksotis dan birunya laut.
Mereka pun dimanjakan oleh udara bersih, keindahan taman-taman bawah laut dengan bebatuan karang dan beraneka jenis ikan warna-warni, alam pegunungan dengan hutan lindungnya yang menghijau, serta tempat-tempat kuliner yang memanjakan lidah.
Tak hanya itu, tujuan wisata kota yang setiap tahun menjadi tempat berlabuhnya kapal-kapal layar (yacht) internasional guna mengikuti rangkaian acara Sabang Marine Festival itu pun mewariskan jejak sejarah era Belanda dan saksi bisu Perang Dunia II.
Bagi para wisatawan Eropa dan Jepang, keberadaan makam lama yang dikenal dengan "Kuburan Belanda Merbabu" atau "Kherkof Merbabu" yang terletak tak jauh dari Rumah Sakit Angkatan Laut J. Lilipory itu menjadi bukti sepak-terjang nenek moyang mereka di Sabang.
Di pemakaman warga sipil dan militer Eropa berkebangsaan Denmark, Yunani, Prancis, Jerman dan Belanda sejak 1800-an tersebut, terdapat pusara Jacques Carissan, pahlawan nasional Prancis.
Catatan di batu prasasti Makam Eropa (Het Kerkhof) itu menyebutkan, Carissan gugur dalam pertempuran laut antara kapal Prancis Mousquet dan kapal Jerman Emden pada Perang Dunia I di Selat Melaka, Oktober 1914.
Di seberang kompleks Makam Eropa yang menjadi tempat peristirahatan terakhir pahlawan Prancis dan puluhan warga Eropa lain yang pernah tinggal di Sabang di masa lalu itu, terdapat sejumlah kuburan orang-orang Eropa lain dan pusara orang-orang Jepang.
Hanya saja kondisi pemakaman warga asing yang semasa hidupnya pernah bersentuhan langsung dengan Sabang itu tampak memprihatinkan, dimana ada sejumlah bangunan makam yang lusuh dan tak lagi lengkap, serta tertutup tanaman liar di sana-sini.
Ketika Antara mengunjungi area pemakaman bangsa Eropa dan Jepang ini pada Kamis (9/3), tampak batu-batu nisan dan bangunan makam warga Jepang itu tak terawat dan pagar yang melindungi makam dari jalan ditumbuhi tanaman-tanaman liar.
Tak seperti Makam Eropa yang dilengkapi bangunan beton yang dilengkapi pintu gerbang dan prasasti yang memudahkan wisatawan masuk, area pemakaman Jepang sudah tertutup tanaman liar dan tak tampak akses pintunya.
Karenanya, untuk bisa melihat sisa-sisa pusara warga Jepang di Sabang itu, pengunjung harus menerobos pagar yang membatasi area pemakaman ini dengan pemakaman bangsa Eropa yang ada di seberang "Het Kerkhof".
Kehadiran sebuah batu prasasti hitam bertuliskan "Semoga Damai Abadi dan Kemakmuran di Lapangan Terbang Ini, Sabang 20 Mei 1979, T. Sato, Fukushima Jepang" di sudut pagar bagian dalam makam membantu wisatawan mengenali area pemakaman warga Jepang ini.
Persentuhan Sabang dan Pulau Weh dengan orang-orang asing itu sudah terjadi jauh sebelum era Belanda dan Perang Dunia II sebagaimana dapat dilihat dari keberadaan makam-makam tersebut.
Jauh sebelum pecah Perang Pasifik yang menyisakan banyak bangunan benteng dan bunker pertahanan Jepang di berbagai titik kota dan daerah pesisir pantainya maupun era perdagangan Kolonial Belanda, Sabang bahkan pernah disinggahi Laksamana Cheng Ho.
Menurut buku "Profil Museum Sabang" (2017), penjelajah China yang mengarungi perairan Kepulauan Indonesia selama tujuh kali dengan armada kapal terbanyak sepanjang sejarah itu pernah menyinggahi Pulau Weh pada 1413-1415.
Mengutip catatan Ma Huan, salah seorang penerjemah sang laksamana, Cheng Ho yang bernama asli Ma Sanbao (Hanyu Pinyin) atau Haji Mahmud Shams (Arab) ini menyebut Pulau Weh sebagai "daratan dengan gunung menjulang" atau "Gunung Mao".
Kurator Museum Sabang T. Mahliyuni yang ditemui Antara di gedung museum yang terletak di Jalan O. Surapati pada Kamis (9/3) dan Jumat (10/3) membenarkan informasi tentang jejak misi damai Cheng Ho di Aceh dan persinggahannya di Sabang tersebut.
Persinggahan Cheng Ho dan armadanya di Sabang itu konon dimaksudkan untuk mendapatkan persediaan air dalam pelayaran mereka menuju Afrika.
"Persediaan air tersebut diambil dari Danau Aneuk Laot, danau yang hingga kini merupakan sumber air minum utama masyarakat Sabang," katanya.
Semua keunggulan yang dimiliki pariwisata Sabang, termasuk tugu Kilometer Nol Indonesia, tugu Sabang-Merauke, dan taman-taman kota yang asri dan dilengkapi peta wisata yang jarang ditemui di kota-kota lain di Tanah Air, tak harus didapat dengan biaya mahal.
Bagi turis lokal asal Kota Banda Aceh, misalnya, perjalanan ke Sabang ini dapat dilakukan dengan mobil atau sepeda motor pribadi dengan menumpang feri penyeberangan dari Pelabuhan Ulee Lheue ke Pelabuhan Balohan.
Harga tiket penyeberangan sepeda motor dengan Kapal Motor Penyeberangan BRR mencapai Rp31.500 sedangkan mobil mini bus Rp206.500. Adapun tiket penumpang dewasa kelas ekonomi hanya sebesar Rp27.000 dan anak-anak Rp17.000.
Bagi mereka yang ingin menyeberang dengan Kapal Motor Express Bahari dan KM 3B/Cantika, tiket kelas ekonomi dihargai Rp75.000, kelas eksekutif Rp85.000 dan kelas VIP Rp105.000.
Para wisatawan dari luar Banda Aceh yang tidak membawa kendaraan bermotor disarankan untuk menyewa sepeda motor dari warga setempat setibanya di Pelabuhan Balohan karena Sabang tidak memiliki sistem transportasi umum, seperti angkutan kota dan taksi.
Karenanya, baik warga setempat maupun turis domestik dan mancanegara umumnya menggantungkan mobilitas mereka selama berada di Sabang pada kendaraan pribadi, mobil dan sepeda motor sewaan, bus pariwisata, atau jasa pengemudi becak bermotor.
Dari kelima jenis moda transportasi tersebut, penyewaan sepeda motor merupakan pilihan terbaik bagi para turis jika hendak menjelajahi kota yang berjarak sekitar 15 kilometer dari Pelabuhan Ulee Lheue itu seorang diri atau maksimal berdua.
Dengan uang sewa berkisar Rp80.000 sampai Rp100.000 per 24 jam pemakaian, mereka sudah dapat menelusuri berbagai destinasi wisata yang dimiliki kota ini, termasuk Gua Sarang yang eksotis, tanpa kesulitan yang berarti.
Bagaimana dengan biaya akomodasi dan makan? Wisatawan yang berkunjung pun tak perlu khawatir karena ada banyak pilihan penginapan dengan kisaran harga per malam mulai dari seratus ribuan sampai jutaan rupiah.
Bagi wisatawan pencinta kuliner, Sabang bak surga bagi mereka karena kota ini tak hanya menyajikan makanan yang sudah melegenda, seperti sate gurita, mi jalak, dan mi kocok, tetapi juga aneka masakan khas Aceh lainnya dengan menu makanan laut yang segar.
"Kami tiga hari di Sabang tapi banyak yang dapat dinikmati di sini," kata Amaranta dan Alaska, dua turis Spanyol yang menikmati semburat senja bersama belasan orang pengunjung lain di kawasan wisata Kilometer Nol Indonesia pada 7 Maret lalu.
Seperti Amaranta dan Alaska, pesona Sabang dengan kekayaan tujuan wisata bahari, pegunungan, gua, hutan, sejarah, seni-budaya dan kulinernya yang besar itu menjadi magnet yang menarik hati banyak wisatawan asing lain.
"Ini kunjungan kedua saya ke Sabang setelah beberapa tahun lalu. Kini saya kembali ke kota ini dengan membawa beberapa anggota keluarga saya," kata Salla, turis asal Berlin, Jerman, yang ditemui di kawasan wisata Pantai Sumur Tiga, Jumat (10/3).
Siapa pun yang pernah berkunjung ke kota ini akan merasakan dorongan dari dalam diri mereka untuk selalu ingin kembali.
Mereka seolah tak kuasa menolak pesonanya yang indah bak surga di ujung negeri di mana matahari terbenam paling akhir di negeri ini ditambah dengan keramahtamahan warganya dan kelezatan kulinernya.