Oleh Azhari
Banda Aceh, 22/11 (Antaraaceh) - Tidak hanya Tari Saman yang mendunia, namun dataran tinggi Tanah Gayo di Provinsi Aceh itu juga mulai dikenal dunia melalui produk pertaniannya berupa kopi arabika yang dikenal sebagai "kopi Gayo".
Dataran tinggi Tanah Gayo atau juga dikenal dengan sebutan "Aceh pedalaman" itu meliputi Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian petani.
Kopi arabika yang tumbuh di wilayah dingin di dataran tinggi Tanah Gayo itu kini telah digemari para penikmat kopi di dunia.
"Kopi Gayo" merupakan salah satu kopi sangat digemari penikmat kopi di dunia. Bahkan kopi ini disebut-sebut lebih nikmat dibanding kopi "Blue Mountain" dari Negara Jamaika," kata Gubernur Aceh Zaini Abdullah.
Gubernur menjelaskan bahwa petani di dataran tinggi Tanah Gayo itu mengembangkan tanaman kopi jenis arabika secara organik atau tanpa menggunakan senyawa kimia.
"Hal itulah yang membuat harga jual 'kopi gayo' menjadi tinggi dan mampu menembus pasar internasional. Pada tahun 2010, kopi gayo mendapat Sertifikat Indikasi Geografis yang tentunya memperkuat identitas kopi ini," katanya menjelaskan.
Zaini juga menyebutkan, ekspor kopi Gayo saat ini telah menembus 17 negara Eropa, Amerika dan sejumlah negara kawasan Asia. Sebesar 70 persen ekspor kopi arabika Indonesia berasal dari Aceh.
"Kami boleh berbangga, karena untuk Indonesia, Aceh adalah penghasil kopi arabika terbesar. Sekitar 70 persen ekspor kopi arabica Indonesia berasal dari Aceh," katanya menambahkan.
Total luas perkebunan kopi di Aceh sekitar 50.300 hektare terdiri dari 48 ribu hektare kopi arabika dengan tingkat produksi mencapai 25.370 ton/tahun. Selain arabika di dataran tinggi Tanah Gayo.
Gubernur juga menyebutkan di Aceh tumbuh dan berkembang kopi jenis robusta yang digemari penikmat kopi di Tanah Air. Robusta umumnya disajikan di warung-warung kopi di pesisir Aceh.
Khusus untuk kopi robusta yang banyak tumbuh seperti di Aceh Besar, Pidie, dan Aceh Jaya dengan luas tanaman 2.300 hektare dan produksinya sekitar 800 ton/tahun
Selain dua jenis kopi tersebut, juga ada kopi sangat khas yang juga banyak dihasilkan di Aceh, yaitu kopi Gayo luwak. Kopi ini sangat unik, karena diolah dari kopi sisa kotoran luwak yang sudah disamak atau dibersihkan, sehingga aman untuk dinikmati.
Harganya sangat mahal karena dipercaya memiliki cita rasa eksklusif. Tak heran jika usaha kopi luwak berkembang pesat karena prospek bisnisnya sangat menguntungkan.
Namun bukan berarti usaha perkebunan dan bisnis kopi selalu berjalan mulus, karena juga mengalami beberapa hambatan misalnya sistem perkebunan dan pengolahan kopi yang belum modern, permainan harga yang banyak dikendalikan orang luar, serta belum optimalnya koordinasi antara petani dan pedagang.
Gayo adalah "Negeri Kopi". Dipermukaan tanahnya yang subur tumbuhlah tanaman kopi arabika dengan berbagai varietas.
Di atas lahan seluas 95.520 hektare itu, kopi arabika diusahakan oleh 66.101 kepala keluarga petani. Sebanyak 33.100 KK petani berada di Kabupaten Aceh Tengah, 29.000 KK di Kabupaten Bener Meriah, dan 3.968 KK di Kabupaten Gayo Lues.
Dari 95.520 hektare tanaman kopi di tiga kabupaten penghasil kopi tersebut, di Kabupaten Aceh Tengah tercatat luas areal tanaman kopi adalah 48.300 hektare yang dibudidayakan pada lahan di ketinggian antara 900 sampai 1.500 meter dari permukaan laut. Budi daya tanaman kopi itu dikelola oleh 33.100 kepala keluarga dari 60.885 KK penduduk Kabupaten Aceh Tengah.
Bupati Aceh Tengah Nasaruddin menyebutkan bahwa rata-rata produktivitas kopi arabika Gayo di daerahnya belum maksimal, masih berkisar pada angka 0,725 ton per hektare/tahun.
Hal itu antara lain, disebabkan belum intensifnya budi daya dan perawatan yang dilakukan oleh petani. Sebaliknya, kebun kopi yang dirawat secara intensif oleh pemiliknya, produktivitasnya bisa mencapai 2,5 ton per hektare.
Nama besar kopi arabika Gayo terus melejit di dunia perkopian internasional. Lebih-lebih setelah terbitnya Hak Indikasi Geografis (IG) bernomor ID G 000000005 tanggal 28 April 2010, permintaan terhadap kopi arabika Gayo terus meningkat.
Informasi dari beberapa eksportir kopi, harga jual kopi arabika Gayo tergolong mahal. Di tingkat petani, satu kilogram "green bean" kopi arabika dijual Rp66.500-Rp70.000 per kilogram. Harga ini kadangkala lebih tinggi dari harga terminal di New York.
Permintaan meningkat
Walaupun harga jual kopi arabika Gayo di tingkat petani relatif mahal, namun tidak mengurangi permintaan. Beberapa buyer atau pembeli luar negeri harus antre menunggu masa panen kopi arabika Gayo.
Bupati menjelaskan, hasil kerja keras para petani kopi di daerahnya telah berhasil mempopulerkan kopi arabika Gayo. Kerja keras itu pula yang memompa denyut kehidupan ekonomi rakyat, para eksportir kopi, dan pemilik café.
Tidak terkecuali negara ini karena salah satu sumber devisa berasal dari komoditas ini. Kopi benar-benar telah menjadi soko guru ekonomi rakyat. Buktinya, panen kopi melimpah maka daya beli warga meningkat, aktivitas pasar ikut terdongkrak.
Produksi kopi arabika gayo keluar dari daerah Aceh Tengah (Januari - September 2014) sebanyak 7.000 ton. Sebanyak 4.015 ton SPEK nya diurus di Aceh Tengah. Tujuan ekspor terbanyak ke Amerika Serikat sebesar 3.707 ton.
Kemudian kopi arabika Gayo juga diekspor ke Kanada, Jerman, Swedia, Irlandia, New Zealand, Belanda, Taiwan, Malaysia, Hongkong, Turki, Jepang, Inggris, Australia dan Korea Selatan.
Meskipun permintaan ekspor kopi arabika Gayo terus meningkat dan harganya juga baik, namun bupati mengharapkan para petani benar-benar memperoleh nilai tambah yang memadai dari kerja kerasnya.
Hasil analisis sembilan sektor yang terdapat dalam PDRB Kabupaten Aceh Tengah, ternyata 50,74 persen struktur ekonomi bertumpu pada sektor pertanian, namun pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian relatif rendah, hanya 2,35 persen.
Menurut bupati, ketimpangan itu karena nilai tambah produk yang diperoleh petani sangat kecil, misalnya, selama ini petani menjual produknya berbentuk bahan mentah, seperti kopi gelondong merah sehingga harganya sangat rendah dibeli pedagang pengumpul.
Apabila produknya sudah berbentuk "green bean" atau "coffee roasted" yang dijual, pasti nilai tambahnya lebih besar.
"Untuk memacu pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian nilai tambah produk harus ditingkatkan," kata Bupati Aceh Tengah Nasaruddin.
Oleh karena itu, bupati menjelaskan sistem resi gudang dan pasar lelang serta industri pengolahan merupakan salah satu solusinya.
Pemkab Aceh Tengah telah merumuskan sebuah kerangka kebijakan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2012-2017.
Strateginya adalah pemantapan perekonomian masyarakat dan penciptaan lapangan kerja.
Sasaran yang ingin dicapai yakni meningkatnya kesejahteraan masyarakat, kemudian menurunnya pengangguran. Selanjutnya meningkatnya peran tenaga penyuluh.
Kemudian meningkatnya fungsi balai benih/ kebun bibit, meningkatnya pembinaan industri rumah tangga dan industri kecil.
Selanjutnya peningkatan sistem investasi yang mudah serta pelayanan perizinan yang cepat, dan meningkatnya industri pengolahan dengan bahan baku produksi pertanian masyarakat.
Berangkat dari strategi itu, bupati menyebutkan upaya yang sudah dilakukan untuk perbaikan kualitas dan kuantitas kopi arabika Gayo adalah dengan mengusulkan pelepasan kopi arabika sebagai varietas unggul kepada Menteri Pertanian.
"Usulan itu mendapat respon positif. Berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor 3998/Kpts/SR.120/12/2010 Tanggal 29 Desember 2010 telah dilepas varietas Arabusta Timtim menjadi varietas Gayo 1," kata Nasaruddin.
Kemudian, dengan SK Menteri Pertanian Nomor 3999/Kpts/SR.120/12/2010 Tanggal 29 Desember 2010 juga telah dilepas varietas Borbor menjadi varietas Gayo 2.
Kelebihan varietas Gayo 1 dan Gayo 2, tahan terhadap penyakit karat daun, serangan nematoda, dan penggerek buah kopi. Umur produktif varietas Gayo 1 selama 20 tahun yang memiliki citarasa excellent dengan potensi produksi rata-rata 0,9 sampai 1,2 ton/hektare.
Pada 2007, bupati menjelaskan bibit kopi unggul tersebut sudah didistribusikan kepada para petani sebanyak 160.000 batang, kemudian 2.550.000 batang 2008.
Selanjutnya sebanyak 150.000 batang 2009, dan 595.000 batang (2010), sebanyak 775.000 batang (2011), tercqatat 1.280.000 batang 2012. Kemudian sebanyak 316.650 batang (2013) dan tercatat 439.840 batang (2014).
Mendunianya kopi "Gayo" itu diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah sehingga cita-cita kesejahteraan masyarakat di "Aceh pedalaman" tersebut bisa segera terwujud dengan baik.