Oleh : Hayatullah Zuboidi
Antaraaceh - Pagi itu jalanan memang masih sepi, namun traffic light diperampatan jalan Simpang Surabaya Kota Banda Aceh berfungsi normal sebagai isyarat pengatur arus lalu lintas di ruas jalan tersebut.
Tapi, secara tiba-tiba dari arah selatan seunit sepeda motor menerobos lampu merah yang seharusnya memberi isyarat bahwa kendaraan dari arah itu berhenti, sementara dari arah barat, iring-iringan kendaraan terus berlaju seiring lampu hijau menyala.
Ternyata, sepeda motor yang melaju kencang dan menerobos lampu merah itu ditumpangi tiga remaja berseragam biru dan putih yang menunjukkan mereka adalah pelajar dari salah satu SMP di Kota Banda Aceh.
Dari tiga remaja bersepeda motor itu hanya satu yang menggunakan helm pengaman, dan tanpa merasa salah telah menerobos lampu merah dan nyaris bertabrakan, mereka tancap gas, melaju kencang.
Menerobos lampu merah, dan remaja yang diyakini belum berusia 17 tahun itu membawa sepeda motor ke sekolah ternyata sudah menjadi hal biasa. Pelajar SMP yang mengendarai sepeda motor itu diyakini tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM), karena terganjal usianya yang belum mencukupi.
Sebab, sesuai pasal 81 Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang persyaratan pemohon SIM perseorangan, antara lain syaratnya berusia 17 tahun untuk memperoleh SIM C sepeda motor dan SIM D khusus penyandang cacat.
Pihak kepolisian menyebutkan besarnya angka kecelakaan secara nasional itu didominasi usia produktif yakni antara 15 sampai 45 tahun. Korelasinya dengan anak sekolah yang sering menerobos lampu merah dan bersepeda motor ugal-ugalan di jalan raya.
Data dari Kepolisian Republik Indonesia, jumlah korban meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia pada 2013 tercatat 23.385 orang, namun jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2012) memang menurun, karena pada 2012 sebanyak 32.657 jiwa.
Direktur Lalu Lintas Polda Aceh Kombes Pol Drs Samsul Bahri, menyebutkan hasil analisa data peristiwa kecelakaan transportasi darat di Aceh beberapa tahun terakhir, korban meninggal dunia didominasi usia muda dan produktif yaitu antara 15-45 tahun dengan persentase 30–50 persen.
Penyebabnya antara lain kelalaian dan ngebut, hura-hura di jalan raya dan supir yang mengantuk saat mengendarai kendaraannya.
Data Dirlantas Polda Aceh merincikan jumlah yang meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas pada tahun 2012 mencapai 763 orang, dari 1.467 peristiwa kecelakaan lalu lintas yang terjadi sejak 1 Januari–31 Desember 2012 di Aceh.
Memang katanya pada 2013 terjadi penurunan kasus kecelakaan tapi diperlukan peran berbagai pihak untuk mengecilkan angka kematian orang secara sia-sia di jalan raya dikarenakan ulah manusia, seperti menerobos lampu merah, kebut-kebutan remaja.
Berdasarkan data menyebutkan bahwa jumlah kendaraan bermotor dari tahun ke tahun di Aceh meningkat, hingga saat ini saja tercatat 1,3 juta unit.
Para orang tua juga diimbau tidak memberikan ruang bagi anak-anak mereka mengemudi sepeda motor, khususnya ke sekolah karena selain tidak memiliki SIM C juga telah dilarang pihak sekolah.
Kepala SMP Negeri 3 Kota Banda Aceh, Farida menjelaskan hampir semua sekolah di Banda Aceh telah melarang siswa membawa motornya ke sekolah, termasuk SMP Negeri 3 di kawasan Neusu Jaya itu.
"Larang siswa tidak membawa sepeda motornya itu setiap kesempatan misalnya pada upacara Senin hari saya sampaikan. Dan tidak ada pembenaran memarkir sepeda motor siswa di perkarangan sekolah," katanya menjelaskan.
Namun, ketika pihak sekolah melarang namun siswa tidak kehabisan akal, bahkan sepeda motor yang mereka bawa itu diparkir di halaman rumah warga yang berdekatan dengan sekolah.
"Nanti kita bersama pihak sekolah juga mengajak masyarakat khususnya warga yang berdomisili di dekat sekolah agar tidak memberikan kesempatan bagi siswa memarkirkan kendaraannya," kata Farida menyebutkan.
Bahkan, pihaknya akan menyurati para orang tua agar tidak membiarkan anak-anak mereka membawa kendaraan ke sekolah karena lebih banyak mudharatnya, misalnya ugal-ugalan di jalan raya, juga bisa menganggu siswa berkosentrasi pada pelajarannya.
"Mereka (siswa) SMP itu masih labil, sehingga mudah terpengaruh oleh teman-teman lain yang sudah terbiasa tidak masuk sekolah. Saat jam sekolah, mereka lebih awal pulang untuk berkumpul sesama teman yang bersepeda motor," katanya menambahkan.
Sementara itu, pemerhati perempuan dan anak di Banda Aceh Chairunnisa mengatakan, sebenarnya anak-anak perlu dilindungi dari kenyamanan sendiri, selain kenyamanan yang diberikan pemerintah dan orang tua.
Memberikan keluasan bagi anak yang belum pantas, misalnya memperbolehkan membawa sepeda motor sendiri saat ke sekolah itu bukan dalam bentuk perlindungan bagi anak-anak mereka.
"Dari segi aturan berlalu lintas sudah jelas salah, sebab syarat anak boleh membawa sendiri kendaraannya harus adanya SIM. Sementara syarat memiliki SIM C itu harus berusia 17 tahun, apakah anak-anak SMP sudah berusia 17 tahun," kata dia mempertanyakan.
Seharusnya sejak dini, kata dia, para orang tua memberikan pengetahuan misalnya terkait dengan syarat untuk memperoleh SIM dan bagaimana mengendarai kendaraan di jalan raya sehingga tidak menganggu orang lain. Itu semua bentuk disiplin, taat hukum dan menghargai orang lain yang perlu diberikan kepada anak-anak.
Pihak sekolah dan aparat penegak hukum juga harus proaktif mensosialisasikan tentang aturan berlalu lintas di jalan raya sehingga dapat melahirkan generasi yang patuh terhadap hukum berlalu lintas, sekaligus untuk menekan angka kecelakaan di jalan raya.
"Sepertinya mereka (anak-anak) diberi fasilitas, yang tujuan awalnya untuk melindungi, padahal memberikan sepeda motor ke sekolah bagi pelajar yang tidak cukup umur dan tidak memiliki SIM C ternyata tidak melindungi," kata Chairunnisa.
Yang jelas, memberikan sepeda motor kepada anak SMP untuk ke sekolah itu dengan pertimbangan orang tua tidak terganggu pada pagi dan petang hari mengantarkan dan menjemput anak-anak mereka dari sekolah.
"Saya cenderung melihat ke faktor tersebut. Artinya, orang tua tidak disibuki oleh pekerjaan mengantar dan menjemput anak di sekolah, kemudian membiarkan anak-anaknya ke sekolah dengan sepeda motornya," kata dia menambahkan.
Lebih parah lagi, Chairunnisa menjelaskan setelah memberikan keluasan bagi anak ke sekolah dengan sepeda motornya, namun orang tua tidak pernah mengontrol, apakah anak-anaknya benar ke sekolah atau tidak.
"Kapan orang tua sadar, ketika anaknya dilaporkan kecelakaan atau akhir tahun pembelajaran, anak-anaknya tidak naik kelas atau lulus dikarenakan sering bolos sekolah saat jam belajar," katanya menjelaskan.
Oleh karena itu, ia menyarankan saatnya ada sebuah pemikiran untuk melahirkan transportasi massal khusus ke sekolah, karena selama ini operasional bus Damri tidak menyentuh semua sekolah dan pemukiman penduduk di Kota Banda Aceh.
Pemikiran tersebut diperlukan untuk memberikan kesempatan kepada orang tua yang mungkin terlalu sibuk bekerja sehingga tidak sempat mengantarkan dan menjemput anak-anaknya di sekolah, selain juga memberikan kenyamanan kepada pelajar di jalan raya.
Namun, Chairunnisa menjelaskan sebenarnya menjadi kewajiban setiap orang tua mengantarkan anak-anaknya sampai ke pintu gerbang sekolah, selain menjemputnya di waktu selesai proses belajar dan mengajar sehingga mengetahui aktivitas hari-hari anak di sekolah.
"Memberikan sepeda motor bagi pelajar SMP, berarti kita telah membuat mereka menjadi sangat bebas, anak-anak lebih mudah bolos sekolah karena ada kendaraan untuk pergi kemana-mana. Dia di jalan akan ngebut diluar kontrol orang tua," kata dia menambahkan.
Ia menjelaskan, sekolah juga perlu membuat peraturan yang tegas, melalui kerja sama dengan orang tua. Ini permasalahan yang serius ketika mereka ngebut di jalan bukan mereka saja yang menjadi korban, bahkan akan berdampak kepada orang lain.
"Anak-anak perlu dibimbing dan dituntun. Kalau mereka diberi kebebasan, maka akan mudah melakukan tindakan-tindakan kriminal bersama teman-temannya," kata Chairunnisa menjelaskan.
Kerja sama antara orang tua, sekolah, dan pemerintah sangat diutamakan dalam mewujudkan cita-cita melahirkan generasi yang cerdas, berakhlak mulia untuk kepentingan agama, bangsa dan negara.
"Pemerintah harus menyediakan fasilitas transportasi yang lengkap, namun orang tua saatnya menghentikan pemberian kebebasan kepada anak-anaknya untuk berkendaraan sendiri ke sekolah," kata dia.
Pihak berwenang juga harus memberikan sanksi tegas terhadap pelajar yang tidak memiliki SIM saat berkendaraan dengan tidak memandang siapa, profesi apa serta jabatan apa orang tua si anak tersebut.
Sementara itu, Ade Pratama, salah seorang pelajar SMP mengaku ia ke sekolah membawa sepeda motor atas pemberian orang tuanya.
Remaja yang berkulit sawo matang, dan berambut pendek itu mengaku masih duduk di bangku kelas III SMP, dan sudah lama membawa motor sendiri saat ke sekolah atas pemberian kedua orang tuanya.
Ade yang memiliki hobi pembalap itu sering berkumpul bersama komunitasnya setelah jam sekolah berakhir di kawasan Gampong Pinueng Kota Banda Aceh. Ruas jalan kawasan Gampong Pineueng itu kerap dijadikan aksi balapan liar oleh sejumlah remaja, termasuk Ade Pratama.
"Saya sering melakukan balapan liar pada Sabtu malam, bahkan sampai menjelang pagi sekitar pukul 03.00 WIB. Saya tidak pernah takut akan efek yang akan terjadi bila terjatuh saat bersuka ria di jalan raya," katanya menjelaskan.
Pengakuan dari pelajar SMP lainnya, Muhammad Haris, "Saya membawa sepeda motor sendiri ke sekolah. Ketika pulang sekolah, tidak langsung ke rumah, tapi berkumpul sama teman-teman," kata remaja itu.
"Ayah dan ibu saya tidak sempat mengantar ke sekolah. Mereka berangkat kerja, dan saya disuruh mengendarai sendiri sepeda motor ke sekolah," kata Muhammad Haris.
Guna melihat dampak negatif pemberian kendaraan sendiri untuk pelajar ke sekolah maka diperlukan pembuktian dengan melakukan penelitian dari lembaga pendidikan dan pemerintah.
Editor : Azhari
Transportasi Massal Pelajar Yang Terlupakan
Jumat, 22 Agustus 2014 10:42 WIB