Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi I DPR RI Fraksi PKS Sukamta mengkritisi adanya perubahan beberapa pasal dalam UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja.
"Perubahan yang dilakukan RUU Cipta Kerja terhadap UU RI No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ini bertentangan dengan semangat UU Penyiaran itu sendiri," kata Sukamta, di Jakarta, Rabu.
Perubahan itu di antaranya terkait dihapusnya sanksi pidana larangan iklan rokok, minuman keras dan zat adiktif; diubahnya perizinan siaran untuk radio dan televisi dari kementerian menjadi pemerintah; menghapus perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran dan pencabutannya; dan menghapus syarat izin penyelenggaraan penyiaran bagi lembaga penyiaran berlangganan.
Sukamta menilai perubahan itu bertentangan dengan tujuan penyiaran, yaitu untuk memperkukuh integritas nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia.
Dia menjelaskan penghapusan sanksi pidana larangan iklan rokok, minuman keras dan zat adiktif menjadi hanya sanksi administratif tidak sejalan dengan semangat penyiaran yang salah satu tujuannya adalah terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa.
"Penghapusan sanksi pidana dapat mengakibatkan semakin banyaknya iklan minuman keras, rokok, zat adiktif, dan hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan di radio dan televisi. Larangan iklan terhadap eksploitasi anak di bawah umur juga dapat menyuburkan praktik-praktik eksploitasi anak dalam kegiatan bisnis," ujarnya.
Wakil Ketua Fraksi PKS itu menjelaskan pengontrolan dunia penyiaran agar tetap di jalurnya, juga menjadi sulit dilakukan jika perpanjangan dan pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) dihapus.
Menurut dia, masyarakat akan mengalami kesulitan untuk mengontrol konten penyiaran, dengan pengaturan yang existing saja dengan adanya perpanjangan IPP secara berkala, masih belum mencapai hasil yang memuaskan, apalagi jika kewajiban ini dihapus.
"Dengan cara apa kita dalam hal ini Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Kementerian Kominfo mengontrol dunia penyiaran," katanya pula.
Sukamta mengatakan perubahan-perubahan itu cenderung mengarahkan kepada liberalisasi penyiaran, karena itu dirinya menolak hal tersebut, mengapa tidak dipikirkan perubahan yang lebih progresif dan sangat dibutuhkan saat ini.
Dia mencontohkan soal digitalisasi penyiaran dengan migrasi digital menggunakan model single-mux, karena sebenarnya soal digitalisasi penyiaran ini yang lebih mendesak untuk diatur.