Jakarta (ANTARA) - Tanda pagar #dirumahaja mulai meramaikan jagat media sosial pada Maret 2020, seiring dengan diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mencegah penyebaran pandemi COVID-19 yang masuk ke Indonesia.
Mobilitas sebagian besar masyarakat Indonesia berhenti seketika hampir di semua lini, mulai dari transportasi hingga aktivitas sosial. Hal tersebut berdampak pada seluruh sektor kehidupan masyarakat, termasuk industri.
Salah satu industri yang paling terdampak dari pandemi COVID-19 adalah industri otomotif. Dapat dibayangkan, jalan-jalan ibukota yang biasanya dipadati kendaraan, seketika menjadi lengang.
Seiring dengan permintaan terhadap produk otomotif yang anjlok, produksi mobil juga tercatat mengalami penurunan pada awal pandemi COVID-19 di Indonesia. Menurut data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), dalam tiga bulan pertama tahun ini, total produksi mobil tercatat berada di atas angka 100 ribu unit per bulannya.
Namun, penurunan mulai terjadi pada April dan semakin turun pada Mei. Total produksi pada Maret tercatat sebesar 111.565 unit dengan Toyota sebagai produsen terbanyak. Namun, angka tersebut turun sebesar 80 persen pada April 2020. Total produksi pada April tercatat sebesar 21.434 unit.
Angka produksi kembali turun tajam menjadi 2.627 pada Mei. Total produksi nasional sepanjang Januari-Mei 2020 tercatat sebanyak 352.571 unit. Angka tersebut turun 32,8 persen jika dibandingkan angka tahun lalu pada periode yang sama, di mana total produksi pada Januari-Mei 2019 tercatat sebesar 524.967 unit.
Terganggunya industri otomotif memberikan dampak terhadap perekonomian nasional, mengingat industri kendaraan itu memiliki kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), khususnya terhadap PDB nonmigas sebesar 3,98 persen pada 2019.
Presiden Direktur Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Warih Andang Tjahjono menyampaikan bahwa sebagai sebuah pabrikan otomotif, TMMIN memiliki 130 mitra Agen Pemegang Merek (APM) di tier 1 dan sekitar 400 mitra pada tier II. Dari jumlah tersebut, terdapat ratusan ribu tenaga kerja di dalamnya.
"TMMIN memang hanya satu perusahaan, tapi gerbong yang kami bawa itu panjang sekali," ujar Warih.
Dengan demikian, dapat dibayangkan apabila sebuah industri otomotif mengalami penurunan, maka ratusan industri pendukung di belakanganya juga akan terimbas penurunan tersebut.
Untuk itu, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengusulkan relaksasi pajak pembelian mobil baru sebesar 0 persen atau pemangkasan pajak kendaraan bermotor (PKB) menjadi 0 persen sampai Desember 2020.
Sebelum usulan tersebut diajukan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pemeritah sebetulnya telah memberikan insentif untuk industri otomotif yang terdampak pandemi, di antaranya program diskon Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) hingga 10 persen, diskon Bebas Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB)-1 sebesar 2,5 persen, serta diskon tunggakan PKB hingga 100 persen.
Berbagai insentif tersebut diharapkan mampu menurunkan harga kendaraan, khususnya mobil, sehingga dapat lebih terjangkau untuk dibeli masyarakat saat kondisi pandemi.
Untuk itu, usulan pajak 0 persen dianggap sebagai angin segar bagi pelaku industri otomotif di tanah air. Head of PR & CSR Department PT Mitsubishi Motors Krama Yudha Sales Indonesia Aditya Wardani menaggapi positif usulan Menperin itu, karena dinilai mampu menstimulus konsumen dalam memberi kendaraan baru dengan harga yang lebih rendah.
Sementara itu, Marketing Division Head PT Isuzu Motor Indonesia Attias Asril mengatakan usulan tersebut berpotensi mendongkrak daya beli masyarakt terhadap kendaraan.
Kendati demikian, Attias menambahkan bahwa hal berbeda akan terjadi pada kendaraan komersial, di mana pembelian kendaraan komersial akan sangat tergantung pada kebutuhan aktivitas bisnis sebuah perusahaan.
"Kalau insentif yang diberikan untuk harga kendaraan, sementara bisnisnya masih tersendat mungkin dampaknya tidak terlalu besar," tambah Attias.
Hasil riset
Chief Economist PT Danareksa Moekti Prasetiani Soejachmoen memaparkan hasil riset kecil-kecilan yang dilakukan Danareksa Institute tentang preferensi masyarakat untuk membeli mobil baru di saat pandemi COVID-19.
Hasilnya, hanya 27 persen dari responden yang menyatakan ingin membeli mobil, baik mobil baru maupun mobil bekas, di saat pandemi. Sementara 73 persen sisanya menyatakan tidak mau membeli mobil di masa pandemi.
Dari angka 27 persen itu, sebanyak 20 persen responden menyatakan mau membeli mobil baru dan 7 persen sisanya lebih memilih untuk membeli mobil bekas.
Pertanyaan lebih dalam kemudian adalah tentang apakah keputusan responden akan berubah jika terjadi penurunan harga mobil di masa pandemi. Hasilnya, 80 persen dari responden yang ingin membeli mobil bekas, beralih menjadi ingin membeli mobil baru karena adanya penurunan harga.
Lalu, ketika responden ditanyakan perihal berapa penurunan harga yang membuat mereka membeli mobil, maka jawabannya adalah penurunan 25persen hingga 35 persen dari harga mobil di kelas masing-masing.
Lalu, bagi responden yang tadinya tidak ingin membeli mobil, 30 persen di antaranya menjadi ingin membeli mobil akibat penurunan harga itu.
Direktur Jenderal Industri Logam Mesin Alat Transportasi dan Elektronika Taufik Bawazier melihat keinginan masyarakat untuk membeli mobil tersebut menguatkan bahwa relaksasi pajak hingga 0 persen perlu betul-betul diimplementasikan.
"Terlebih terdapat fakta bahwa masyarakat lebih memilih menyimpan dananya di bank, yang sebetulnya itu potensial untuk dibelanjakan," pungkas Taufik.
Dengan demikian, industri otomotif nasional diharapkan mampu bertahan dari pandemi COVID-19 bahkan kembali bergeliat, sehingga tetap dapat berkontribusi dalam mendorong perekonomian nasional.
Pentingnya mendongrak daya beli produk otomotif saat pandemi
Rabu, 14 Oktober 2020 15:03 WIB