Oleh: Dr Ir Ricky Avenzora M.Sc
Jakarta, 28/9 (Antaraaceh) - Maju atau mundurnya suatu bangsa akan sangat ditentukan oleh kualitas serta kapasitas generasi penerusnya. Suatu bangsa baru dapat dikatakan maju ketika generasi penerusnya mempunyai kualitas yang lebih baik dari generasi sebelumnya.
Jika kapasitas dan kualitas generasi penerus hanya sama dengan generasi sebelumnya maka bangsa itu harus dikategorikan berposisi stagnan, sedangkan jika kapasitas dan kualitas generasi penerus ternyata lebih rendah maka berarti sesungguhnya bangsa itu dalam "kemunduran".
Jika kondisi politik berbangsa dan bernegara yang kita miliki saat ini kita pandang dengan kacamata filosofis di atas, bagaimanakah pendapat kita masing-masing atas kondisi bangsa dan negara kita saat ini? Seperti apakah penilaian kita terhadap UU Pilkada yang baru? Bagaimanakah pendapat kita tentang perilaku agitatif yang dilakukan oleh individu dan/atau kelompok tertentu dalam menentang UU Pilkada tersebut? Objektifkah berbagai argumen yang digunakan oleh para politikus serta cerdik pandai (dan bahkan akademisi) yang menentang UU Pilkada yang baru itu? Apakah semua sikap pro-kontra yang ada saat ini sudah menunjukkan kemadanian politik berbangsa dan bernegara?
Perang Argumen
Berbagai argumen telah dikeluarkan oleh berbagai pihak yang berbeda, mulai dari argumen teknis, argumen politik hingga argumen teoritis.
Dalam hal argumen teknis, barangkali berbagai alasan yang dimunculkan dapat kita petakan sebagai gambaran kualitas pemikiran yang dimiliki masing-masing pihak.
Semua argumen dan alasan yang diajukan sesungguhnya dapat kita katakan sah-sah saja sesuai dengan tujuan masing-masing yang harus mereka capai.
Namun demikian, tentunya menjadi sangat tidak elok ketika ada pihak yang terlalu agitatif hingga menistakan kepala negara kita sendiri, sama tidak eloknya jika ada pihak yang menjilat ludahnya sendiri.
Dalam konteks argumen politis, para penentang UU Pilkada tidak hanya telah menistakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden RI yang masih sah berkuasa, melainkan juga telah kembali berperilaku tidak pantas dan "gebyah uyah" dengan menghujat Orde Baru dan almarhum Pak Harto dalam keheningan alam barzahnya.
Apa sesungguhnya yang ingin diciptakan oleh para penentang UU Pilkada yang baru, kawan dan dukungan kah atau malah musuh dan kerusuhan?
Dalam konteks argumen teoritis, mulai akhir pekan ini kelompok penentang telah mencuatkan isu "mundur dan matinya demokrasi". Apakah argumen itu kuat, baik dan benar?
Untuk menjawabnya, barangkali ada baiknya jika kita semua berkenan kembali membaca buku sejarah demokrasi agar benar-benar mengetahui seperti apa awalnya pelaksanaan demokrasi umat manusia di zaman Yunani Kuno dahulu dilakukan, dengan sistem pemilihan tidak langsung kah atau dengan pemilihan langsung?
Hingga di sini, maka barangkali tak bisa disalahkan jika ada yang bertanya (a) Bagaimana kelompok penentang itu akan sukses nantinya dalam memimpin negeri ini kalau pola-pola berfikir dan bertindaknya tidak berada dalam ruang hakikat demokrasi itu sendiri. (b) Bagaimana jargon "demi rakyat" yang mereka suarakan bisa dipercaya jika mereka lebih suka memanipulasi data untuk mempengaruhi rakyat? Hitunglah mana yang lebih besar antara populasi perdesaan yang "hening" dibandingkan jumlah para "netizen" yang ricuh dari sebagian kecil populasi perkotaan yang mereka klaim sebagai pendukung mereka?
Atas semua itu, barangkali menjadi tidak salah pula jika ada yang mengatakan bahwa sesungguhnya mereka bukanlah berjuang untuk rakyat melainkan hanya "mencatut" nama rakyat untuk memuluskan misi politik kelompok mereka saja.
Hakikat Demokrasi
Hingga hari ini, rasanya tidak satu pun argumen filosofis yang mencuat dalam perdebatan pro-kontra atas UU Pilkada yang baru.
Untuk itu, ada dua pertanyaan penting yang barangkali perlu dicuatkan untuk melengkapi diskursus demokrasi yang sedang terjadi saat ini, yaitu (1) Kapankah sesungguhnya demokrasi bermula dalam kehidupan ini? dan (2) Apakah contoh terbaik bagi kita untuk belajar tentang demokrasi.
Secara filosofis, tidak ada keraguan bahwa demokrasi adalah sistem terbaik untuk berbangsa dan bernegara. Bukan hanya karena sejarah peradaban dunia telah menunjukkan berbagai manfaat dan kekuatan dari sistem demokrasi, melainkan juga karena telah "diajarkan" dan "dicontohkan" langsung oleh Tuhan Yang Maha Esa dalam menciptakan seisi jagad raya ini.
Pandangan filosofis tersebut dapat kita telusuri pada semua ajaran agama ilahiah yang pernah ada di muka bumi ini.
Sebagai contoh, barangkali tidak ada ada salahnya jika kita mencuatkan apa yang menjadi ranah ilmu pengetahuan para Kaum Sufi.
Dalam "tafakkur"-nya sebagian Kaum Sufi telah diberi setitik ilmu dan pengetahuan oleh Allah SWT tentang bagaimana proses penciptaan seisi jagad raya ini. Telah menjadi rahasia umum di antara Kaum Sufi bahwa sebelum nengucapkan "Kun Faya Kun" maka Dia Yang Maha Esa telah terlebih dahulu melakukan dialog tentang banyak hal dengan setiap makhluk yang akan diciptakan-Nya. Inilah ajaran dan contoh demokrasi pertama kali di seantero jagad raya ini.
Jika ada yang tidak mempercayai/menyetujui ranah ilmu pengetahuan Kaum Sufi tersebut --baik karena perbedaan agama atau pun perbedaan ruang pandang perspektif ilmu pengetahuan-- maka cobalah kenali dinamika berfikir yang sering kita lakukan, serta cobalah pula kenali sistem "artificial inteligent" (AI) yang masih sangat seksi dalam kemajuan teknologi saat ini.
Jika suatu sistem AI ciptaan manusia saja mampu melakukan "iterasi teknis berfikir" yang sangat jauh ke depan, serta jika dalam proses berfikirnya saja seorang manusia (sebagai mahkluk) dapat melakukan "perjalanan akal" ribuan tahun ke depan, maka mengapa pula kita harus meragukan proses dialog yang dilakukan Sang Maha Pencipta terhadap setiap makhluk yang akan diciptakan-Nya.
Lebih lanjut, kemanakah sebaiknya kita belajar tentang demokrasi? Ke Barat? Ke Timur? Bukankah sejarah perjalanan kehidupan berbagai bangsa di dunia ini telah mengajarkan banyak hal dan pernah pula kita lakukan serta menjadi bagian dari proses berdemokrasi di negeri kita ini?
Bukankah semuanya tidak ada yang sempurna dan pernah runtuh dan ambruk? Mengapa kita masih harus terus saja membangun sistem "demokrasi tambal sulam" atau pun melakukan "demokrasi daur ulang" seperti selama ini?
Atas semua pertanyaan itu, maka barangkali inilah waktunya bagi kita semua untuk mau menyadari betapa pentingnya bagi kita semua untuk mulai meninggalkan semua kedunguan dan kepongahan kita atas berbagai "informasi" serta "pengetahuan" yang kita miliki tentang demokrasi.
Kita perlu menyadari bahwa semua yang tertulis dalam berbagai buku tentang demokrasi yang pernah kita baca dan kuasai selama ini sesungguhnya hanyalah tak lebih dari sekedar "informasi" dan "pengetahuan" belaka bagi kita.
Di satu sisi, kita merasa memiliki kekayaan "informasi" dan "pengetahuan" tentang berdemokrasi yang kita baca dari berbagai buku dan literatur. Tetapi, di sisi lain pola berfikir dan bertindak kita selama ini mengindikasikan sesungguhnya kita sangat miskin akan "ilmu" berdemokrasi yang telah secara nyata ditunjukkan dan dikenalkan Tuhan kepada kita.
Kita telah menghabiskan banyak waktu dan energi untuk menghapalkan dan berdebat tentang isi berbagai buku (yang tak lebih hanya merupakan benda mati) dari pada menggunakan waktu dan energi untuk mengenali diri kita sendiri yang sesungguhnya merupakan suatu "buku" yang hidup.
Kemadanian Demokrasi Dalam Diri Manusia
Jika kita renungkan diri kita, maka barangkali kita akan menemukan betapa sempurnanya sistem berdemokrasi yang telah diajarkan dan dicontohkan Tuhan Sang Maha Pencipta kepada kita.
Jika ribuan tahun lalu Kaum Sufi telah mengisyaratkan adanya 88.888.888 makhluk ciptaan Sang Maha Pencipta yang Dia "elaborasikan" dan satukan di dalam tubuh manusia, maka dalam beberapa ratus tahun terakhir para ahli biologi dan kedokteran telah pula membuktikan bahwa ada belasan ribu jenis sel dalam tubuh manusia yang membentuk berbagai sistem tubuh manusia (sebagai suatu organisme) secara harmonis dan berkelanjutan.
Sel-sel yang sejenis dalam tubuh manusia bersatu membentuk "jaringan/tisu".
Berbagai jenis "jaringan/tisu" bersatu membentuk "organ", sedangkan berbagai organ yang berkaitan fungsinya bersatu membentuk suatu sistem. Keseluruhan rangkaian tersebut membentuk manusia sebagai organisme (makhluk) ciptaan Tuhan.
Atas hal itu, hingga di sini, hal pertama yang patut kita syukuri hingga saat ini atas bangsa kita adalah ternyata Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menerapkan Sistem Otonomi Daerah sudah selaras dengan contoh yang diberikan Tuhan melalui tatanan kesatuan sistem-sistem yang berotonomi dalam diri kita masing-masing sebagai organisme ciptaan Tuhan.
Alhamdulillah kita tidak memberlakukan sistem federal ataupun sistem lain yang tidak selaras dengan ajaran Tuhan melalui tubuh kita sendiri.
Lebih lanjut, seperti apakah model demokrasi dalam mencari pemimpin yang sesungguhnya telah dicontohkan Tuhan melalui cara kerja berbagai sistem dalam tubuh manusia? Apakah setiap sel yang ada dalam tubuh manusia secara langsung memilih "sel pemimpin" untuk membentuk jaringan/tisu? Begitu juga seterusnya pada setiap "jaringan/tisu" dan "organ", apakah masing-masing langsung memilih "tisu pemimpin" atau "organ pemimpin"?
Untuk semua pertanyaan tersebut di atas, ilmu kedokteran modern telah membuktikan bahwa dalam kondisi "sehat" maka tidak satu pun elemen tubuh manusia tersebut yang melakukan "gerakan liar" untuk memilih "pimpinan" elemen sistemnya secara langsung.
Semua proses "memilih pimpinan" dalam setiap elemen sistem dalam tubuh manusia adalah berjalan secara tidak langsung dan bertahap.
Kebutuhan akan suatu "sel pemimpin" prosesnya bermula dari pengiriman pesan (bio-kimia) kepada "sistem otak" manusia (sebagai sentral sistem pengatur), untuk kemudian "sistem otak" manusia mengirim pesan balasan berupa perintah "penyiapan stem-sel" sebagai "sel pemimpin".
Jika "stem sel" telah "masak" (siap bertugas), maka jaringan kembali mengirimkan pesan ke pada otak.
Lebih lanjut, keputusan "sistem otak" dalam menentukan diaktifkan atau tidaknya (serta waktu aktivasi) suatu "stem-sel" adalah dengan mempertimbangkan semua pesan yang masuk dari seluruh sistem yang ada pada tubuh manusia secara harmonis, terukur dan tepat waktu.
Suatu ketidakdisiplinan dari cara kerja tersebut hanyalah dilakukan oleh "sel kanker" yang menggerogoti dan membunuh manusia. Sedangkan kemunculan sel kanker umumnya adalah dipengaruhi oleh racun dari luar tubuh manusia yang memicu perilaku "rakus" dan "korup" serta "agitatif" sejumlah sel tertentu yang mengkooptasi serta membunuh sel lainnya.
Rekonsiliasi Nasional
Mencermati berbagai "kekacauan" yang terjadi saat ini di negara kita, maka suatu rekonsiliasi nasional kiranya sangat-sangat perlu untuk segera dilaksanakan.
Segala perseteruan dan kekeliruan yang ada selama ini tak ada gunanya untuk diteruskan. Bukankah tidak ada satupun di antara kita yang benar-benar bersih dari khilaf dan salah?
Ibarat tubuh yangg sedang sakit, bukankah kita semua sudah mengetahui "kanker" yang terjadi dalam bangsa dan Tanah Air dan negara kita? Bukankah kita juga sudah mengetahui berbagai jenis dan sumber racun yang memicu timbulnya sel kanker tersebut?
Atas itu semua, pelaksanaan rekonsiliasi nasional perlu kita rujukkan pada kemadanian sistem demokrasi yang telah dicontohkan Tuhan dalam tubuh manusia, yaitu rekonsiliasi berlapis seperti 7 lapis pertahanan eksistensi tubuh manusia; mulai dari sumsum, tulang, daging, darah, otot, kulit dan bulu-bulu nyawa.
Siapakah anak bangsa kita yang akan ikhlas untuk menginisiasi rekonsiliasi nasional "7 kamar" tersebut?
Mudah-mudahan Tuhan berkenan segara menggerakkan hati salah satu di antara kita sebagai anak bangsa. Aamiin Ya Rab.
*Salah satu pendiri Perhimpunan Nasionalis Indonesia (Pernasindo), saat ini Ketua Program Studi Pascasarjana Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB).
Rekonsiliasi Nasional: Kemadanian Demokrasi Berbangsa dan Bernegara
Senin, 29 September 2014 10:05 WIB