Oleh Dr Ir Ricky Avenzora, M.Sc
ANTARAACEH - Sikap Joko Widodo (Jokowi) yang mendatangi para pemimpin partai politik di Koalisi Merah Putih (KMP) dapat dikatakan sebagai suatu permulaan yang sangat baik untuk terwujudnya rekonsiliasi nasional.
Pada berbagai media telivisi, kita semua juga dapat melihat secara utuh bahwa "pandangan mata", "gerak tubuh" dan "suara" serta "isi ucapan" yang disampaikan oleh Jokowi dan Prabowo Subianto sebagai tokoh sentral yang sedang hangat diperbincangkan dapat digolongkan secara objektif termasuk suatu komunikasi politik yang tulus.
Terlepas dari masih adanya sebagian di antara kita yang masih "meragukan" ketulusan antara Jokowi dan Prabowo tersebut, tidak sedikit pula di antara kita yang mempercayainya serta merindukan langkah awal "rekonsiliasi politik" tersebut bisa diikuti pula oleh para anggota "barisan politik" (dari kedua belah pihak) yang telah terlanjur "khilaf" dan terlalu bersemangat menyudutkan ataupun "menghinakan" pihak lain selama perseteruan politik, 3-4 bulan yang lalu.
Tentu akan sangat indah dan menyejukkan rasanya bagi kita semua jika tokoh-tokoh kunci lainnya juga mau secara terbuka menyatakan khilafnya karena telah terlalu vulgar dan agitatif mendiskreditkan pihak lain.
Mudah-mudahan Allah Yang Maha Esa berkenan membuka mata dan pintu hati mereka semua untuk benar-benar mau mengulurkan tangan meminta maaf dan saling memaafkan atas khilaf mereka masing-masing.
Pemeo, Dinamika dan Hakikat Politik
Selama masa pilpres yang lalu, kita semua telah menjadi saksi berbagai pemeo politik di dunia telah terjadi secara utuh di negara kita. Anggapan "segalanya halal demi kekuasan dan jabatan" telah kita saksikan bersama melalui perilaku "kutu loncat" dan perilaku "khianat" yang dilakukan oleh beberapa oknum tertentu.
Ungkapan "politik itu kotor" juga telah kita saksikan melalui perilaku "zero sum game" yang saling "menyandera" dan bahkan ada yang "memfitnah" serta melakukan "pembunuhan karakter" dengan sangat berlebihan dan vulgar pula.
Pemeo "politik itu cair" bukan saja hanya telah menjadi bahan lelucon bagi kita melainkan juga telah menyadarkan kita tentang betapa masih banyaknya para "politikus karir" di bangsa kita yang tergolong "tong kosong nyaring bunyinya" dan terlalu sering mengambil sikap --apa yang disebut Orang Minang-- perilaku "gadang arang" (besar mulut) belaka.
Demikian juga dengan pemeo "free rider" telah dengan nyata telah kita saksikan dari perilaku para narasumber dan akademisi yang telah ikut meramaikan perseteruan politik yang terjadi selama proses pilpres yang lalu.
Apakah "politik" itu sedemikian buruknya, serta mengapa pula kita semua selalu terperangkap dalam berbagai pemeo global tersebut? Apakah kita memang perlu berpolitik dan mempertahankan kata "politik" tersebut dalam perbendaharaan hidup kita?
Jika kita mencermati berbagai buku pelajaran tentang politik yang beredar saat ini, maka nampaknya memang hanya tinggal sebagian kecil saja buku yang masih secara tegas mengungkapkan bahwa sesungguhnya "politik" adalah suatu kebutuhan dasar manusia, dengan tujuan mulia berupa tercapai kemadanian bersama.
Sebagian besar buku yang ada nampaknya lebih suka hanya mengajarkan berbagai teori dan metoda untuk "memenangkan" pertarungan politik, ataupun malah terperangkap dalam diskursus semantik dan dialektikal tentang dinamika politik yang terjadi.
Jika kita tertarik untuk merenungkan dan mencari hakekat serta contoh terbaik tentang politik, maka barangkali ada baiknya jika kita mau membuka kembali catatan ilahiah tentang bagaimana Tuhan Yang Maha Esa mengatur hidup dan kehidupan seisi jagad raya ini. Jika kita renungkan dengan jernih, apapun agama kita, maka tentu kita akan sepakat bahwa sesungguhnya "politik" itu pertama kali telah diajarkan oleh Dia Yang Maha Pencipta.
Sehingga kita tidak perlu menjadi heran mengapa pula kosa kata "politik" menjadi hadir dalam kehidupan kita di dunia ini.
Dalam Islam --sebagai contoh salah satu referensi berfikir dan merenung-- telah diajarkan bahwa Allah Sang Maha Pencipta telah menetapkan tiga "aturan dasar" (sebagai salah satu wujud "produk politik"), yaitu aturan "habblumminallah" (tatanan aturan hubungan Allah SWT sebagai Sang Maha Pencipta dengan manusia sebagai salah satu makhluk yang diciptakan-Nya), aturan "habblumminannaas" (tatanan aturan sesama manusia sebagai khalifah di muka bumi), serta "sunnatullah" sebagai aturan dasar yang berlaku bagi semua makhluk yang diciptakan-Nya.
Terlepas dari perbedaan agama dan pemahaman yang ada maka kesadaran pola "aturan ilahiah" tersebut sesungguhnya dengan mudah dapat kita kenali pada setiap ajaran agama yang ada di negeri kita ini; yang tentunya pasti juga telah diajarkan setiap saat pada kelompok agama masing-masing.
Pada tulisan tedahulu telah kita diskusikan pula bahwa meskipun Tuhan itu adalah Maha Kuasa ternyata Dia melakukan "proses demokrasi" secara jujur dalam menciptakan segala makhluk yang Dia ciptakan, yaitu dengan cara melakukan "dialog" terlebih dahulu dengan setiap makhluk yang akan Dia ciptakan.
Di sisi lain, dalam keseharian kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini, kita juga tak henti-hentinya diingatkan oleh para pemuka agama kita tentang tiga "aturan dasar" yang telah ditetapkan Tuhan sebagai kisi-kisi hidup dan kehidupan kita di dunia ini. Namun demikian, mengapa selama ini kita selalu lebih suka mencontoh dan meniru serta membiarkan diri kita terperangkap dalam "pola politik syaitan dan iblis"?
Dalam berbagai agama telah diajarkan bahwa "rasa iri" dan "rasa sombong" pada syaitan dan iblis bukan saja telah berujung pada pembangkangannya pada Ilahi, melainkan juga selalu diikuti dengan perilaku berbohong dan menipu, menghasut dan mengadu domba, menghujat dan membunuh, dan lain sebagainya termasuk perilaku tamak dan menjajah.
Adam dan Hawa telah dibohongi dan ditipu oleh syaitan dan iblis; sedangkan anak lelaki Adam dan Hawa telah tergelincir dalam rasa iri serta masuk kedalam perangkap iblis untuk menghujat dan membunuh saudara kandungnya sendiri.
Dalam Islam --sebagai salah satu referensi untuk berfikir dan merenung-- telah dengan tegas dikatakan oleh Allah bahwa Dia akan memberi rezeki pada semua makhluk-Nya, termasuk yang melata, Dia beri tahu tempatnya dan Dia beri tahu pula caranya. Dan, juga telah Dia ingatkan bahwa pada sebagian harta kita ada harta orang lain.
Namun demikian, mengapa kita masih lebih suka mengikuti bujukan syaitan dan iblis untuk berbuat tamak dan menjajah atas anak bangsa kita sendiri?
Demikian juga halnya dengan "kenaifan" kita dalam menentukan pola dan tatanan aturan (sebagai salah satu "produk politik") dalam menyusun langkah bersama untuk menuju kemadanian bersama.
Jika kita telaah proses pengelaborasian suatu produk hukum, maka nampaknya "compang-camping" nya berbagai produk hukum yang kita miliki saat ini barangkali adalah bukan karena kebodohan akal dan fikiran kita dalam menentukan serta menetapkan hukum yang harus kita patuhi bersama, melainkan barangkali lebih disebabkan oleh karena terjeratnya kita dalam pola "politik syaitan dan iblis".
Semua itu menjadi sempurna buruknya ketika dalam "perjalanan politik" ternyata kitapun lebih suka mengotori "alam spiritual" kita; yang di antaranya melalui perilaku, yang telah menjadi rahasia umum, berupa pesta "topeng agama" (yang memicu tajamnya politik agama serta etnik) maupun perilaku penyalahgunaan kemampuan supranatural dan perdukunan untuk menggapai dan/atau mempertahankan kekuasaan.
Menuju Kemadanian Politik
Tanpa mengurangi tingginya harapan kita untuk bisa segera terciptanya kemadanian politik berbangsa dan bernegara di negeri kita ini --melalui langkah awal rekonsiliasi politik sebagaimana telah dicontohkan oleh Jokowi dan Prabowo beberapa hari yang lalu -- maka barangkali tidak ada salahnya jika kita cuatkan satu pepatah dari Muna (Sulawesi Tenggara) berikut, yaitu: "Hansuru-hansuru bada sumanomo koemo hansuru liwu. Hansuru-hansuru liwu sumanomo koemo hansuru adhati. Hansuru-hansuru adhati, sumanomo koemo hansuru sara. Hansuru-hansuru sara sumanomo notangka agama".
Secara harafiah arti pepatah tersebut adalah "Hancur-hancurlah badan kami asal jangan hancur negeri kami. Hancur-hancurlah negeri kami asal jangan hancur adat istiadat kami. Hancur-hancur lah adat istiadat kami asalkan jangan hancur pemimpin/pemerintahan kami. Hancur-hancurlah pemimpin/pemerintahan kami asalkan agama kami tetap tegak".
Pepatah tersebut bukan hanya menggambarkan potensi kehancuran yang akan terjadi jika kita semua gagal membangun kemadanian politik berbangsa dan bernegara, melainkan juga menggambarkan keteguhan jiwa manusia dalam mempertahankan hidup dan matinya dengan dasar keyakinan agama yang dia miliki.
Atas hal itu, maka kita patut segara menyadari berbagai khilaf politik yang telah banyak kita lakukan selama ini. Kita juga perlu menyadari bahwa sesungguhnnya anak bangsa negeri kita sangat mencintai pemimpinnya, di mana posisi para pemimpin sangat strategis dalam banyak hal.
Di sisi lain, kita juga perlu menyadari bahwa manusia tidak bisa ditindas, karena secara genetis di dalam diri setiap manusia telah tertanam rasa kecintaan dan kekuatan Tuhan yang menciptakannya.
Jika dalam keseharian saja kita telah menyaksikan banyak manusia yang sangat berani "membangkang" pada Tuhan-Nya, maka jangan heran jika "penjajahan" oleh sesama manusia (baik oleh bangsa sendiri maupun oleh bangsa asing) pasti akan dilawannya hingga titik darah penghabisan.
Tentunya tidak satupun di antara kita yang menginginkan kehancuran beruntun seperti yang digambarkan dalam pepatah tersebut di atas, bukan?
Sebagai salah seorang anak bangsa, barangkali penulis tidaklah sendirian dalam berharap untuk segera bisa terwujudnya kemadanian politik berbangsa dan bernegara di negeri kita ini.
Untuk itu, peran sentral para pemimpin tentunya menjadi sangat kita harapkan. Atas hal ini, tidak akan salah jika ada anak bangsa yang berfikir bahwa tugas utama Jokowi sebagai Presiden setelah dilantik pada Senin (20 Oktober) bukan membentuk dan menentukan strutuktur kabinet serta menetapkan para menteri yang akan menjadi kekuatan kabinet yang dipimpinnya, melainkan dalah melanjutkan rekonsiliasi nasional (rekonsiliasi kamar pertama) yang telah dimulainya sejak beberapa hari yang lalu.
Hal tersebut bukan hanya untuk menjadi indikator penting atas niat baik serta kesungguhannya untuk melakukan rekonsiliasi, bukan pula hanya akan memberikan citra positif yang sangat besar bagi dia, melainkan juga akan menjadi bukti bahwa dia bukanlah boneka partai serta hanya individu yang lemah seperti yang diisyukan beberapa pihak selama ini.
Di sisi lain, bagi para "politikus senior" barangkali rekonsiliasi nasional tersebut bukan hanya akan menjadi kesempatan emas untuk menunjukkan kecintaan pada negeri dan bangsa sendiri, melainkan juga akan menjadi peluang terbaik untuk menjalani masa senja kehidupan menjadi lebih baik dari sekedar posisi "harimau mati meninggalkan belang".
Ada pun bagi "politikus yunior", proses rekonsiliasi nasional (kamar pertama) tersebut haruslah disambut sebaga suatu proses pembelajaran terbaik untuk menuju kecemerlangan masa depan bangsa. Demikian juga halnya dengan para "netizer" yang telah ikut bermain dalam politik praktis sebaiknya berkenan untuk mengganti pola hiruk pikuk perbedaan dan/atau euforia kemenangan dengan bertafakur bersama agar kiranya Allah SWT berkenan membukakan mata dan pintu hati para pemimpin kita untuk bersatu padu memimpin pembangunan bangsa dan negara kita secara baik dan benar. Aamiin ya Rab.
*Salah satu pendiri Perhimpunan Nasionalis Indonesia (Pernasindo), saat ini Ketua Program Studi Pascasarjana Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB)
Rekonsiliasi Nasional : Kemadanian Politik Berbangsa Dan Bernegara
Senin, 20 Oktober 2014 12:56 WIB