Banda Aceh (ANTARA) - Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menyatakan harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani kelapa sawit di Aceh paling rendah, dibandingkan dengan harga jual di provinsi lain wilayah Sumatera.
"Harga TBS di Aceh paling rendah dari seluruh provinsi di Sumatera yang menghasilkan kelapa sawit. Saya selalu koordinasi dengan ketua Apkasindo di Sumatera terkait perkembangan harga ini,“ kata Sekretaris Umum DPW Apkasindo Aceh Fadhli Ali di Banda Aceh, Selasa.
Dia menjelaskan harga ekspor crude palm oil (CPO) mencapai Rp12.600 per kilogram per hari ini. Tentu, tingginya harga CPO itu secara otomatis juga berpengaruh terhadap meroketnya harga jual TBS di tingkat petani.
Di tengah mahalnya harga ekspor CPO, kata dia, pabrik kelapa sawit (PKS) di wilayah Sumatera, selain Aceh, mampu membeli TBS dengan harga mulai Rp2.600 hingga Rp2.700 per kilogram.
Namun, kata dia, tidak semua petani langsung menjual TBS ke pabrik, melainkan petani menjualnya kepada para pengepul dengan harga jual yang diambil pengepul mulai Rp2.350 hingga Rp2.400 per kilogram.
“Terus kita di Aceh harga di tingkat petani yang dibeli pengepul berkisar Rp1.400 per kilogram, artinya kalau kita bandingkan dengan harga TBS di provinsi lain di Sumatera, bedanya hampir Rp1.000 per kilogram,” kata Fadhli.
Padahal, menurut Fadhli, negara tujuan ekspor CPO produksi Provinsi Riau, Sumatera Utara dan provinsi lain di Sumatera, tidak berbeda dengan tujuan ekspor CPO asal Aceh. Namun harga jual TBS di tingkat petani jauh berbeda.
“Itu yang paling ekstrembedanya Rp1.000 per kilogram, tapi rata-rata selama ini kita lihat bedanya harga TBS luar Aceh dengan TBS di Aceh mulai Rp500 hingga Rp700 per kilogram,” katanya.
Fadli menilai ada beberapa faktor yang menyebabkan harga TBS di Aceh rendah di Sumatera. Pertama karena PKS di Aceh belum memadai, sementara sektor produksi TBS banyak. Sementara di Riau, kata dia, jumlah PKS banyak sehingga mereka rebutan membeli tandah buah segar itu.
“Di Aceh PKS kita itu hanya sekitar 50-an gitu. Jadi pabrik kurang, buah TBS ini banyak, makanya sering kita lihat antrean di pabrik itu sampai dua hingga tiga hari,” katanya.
Selanjutnya, menurut dia, faktor lain karena petani swadaya di Aceh tidak memiliki peluang untuk bermitra dengan perusahaan pabrik kelapa sawit, sehingga PKS tidak diwajibkan oleh pemerintah membeli TBS dari petani itu sesuai dengan harga yang ditetapkan.
Berdasarkan peraturan Kementerian Pertanian RI, selama ini perusahaan pabrik kelapa sawit itu hanya bermitra dengan petani plasma, sehingga petani yang mengelola 20 persen lahan dari Hak Guna Usaha (HGU) setiap perusahaan sawit itu dapat menjual produksi TBS ke pemerintah.
“Karena itu sekarang kita Aceh butuh peraturan gubernur yang bisa mengakomodir kepentingan petani bermitra dengan perusahaan sawit, PKS, agar TBS petani swadaya ini bisa dibeli PKS dengan harga sesuai yang ditetapkan pemerintah,” katanya.
Peraturan gubernur ini sudah ada di Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Barat juga dan provinsi-provinsi lain. Jadi masalah Aceh sekarang perusahaan tidak membeli TBS sesuai dengan harga pemerintah, dari 50-an PKS itu harga beli mereka juga bervariasi, katanya lagi.
Kemudian, faktor lain harga TBS rendah di Aceh karena Aceh belum memiliki pelabuhan yang memadai untuk ekspor CPO, terutama di wilayah pantai Barat Selatan Aceh. Sedangkan, kata dia, luas lahan kelapa sawit di Aceh mencapai sekitar 400 ribu hektare.
“Selama Aceh tidak ada pelabuhan ekspor yang layak bagi CPO maka selama itulah kelapa sawit Aceh di tingkat petani lebih murah dibandingkan seluruh provinsi di Sumatera ini,” katanya.