"Selama ini situs Monisa hanya sebatas simbol kebanggaan masyarakat Aceh sebagai monumen masuk dan berkembangnya Islam di Asia Tenggara," ujar Syafrizal di Langsa, Sabtu.
Menurutnya, monumen yang terletak di Desa Paya Meuligoe, Kecamatan Peureulak, Kabupaten Aceh Timur tersebut, hanya diwacanakan saja pembangunannya.
"Selama ini hanya sebatas wacana. Realisasi pembangunan tidak terealisasi. Padahal, Monisa merupakan simbol perkembangan sejarah Islam terbesar di kawasan Asean," papar dia.
Untuk itu, ia berharap agar Lembaga Wali Nanggroe dapat merekomendasikan pembangunan Monisa kepada Pemerintah Aceh dan Pemerintah Aceh Timur.
Lembaga Wali, lanjut dia, merupakan pemersatu masyarakat Aceh yang meliputi unsur adat istiadat, agama dan kebudayaan. Karenanya, dia meminta Wali Nanggroe bisa mengambil peran dan fungsinya.
Demikian pula pemerintah provinsi dan kabupaten untuk dapat memberikan perhatiannya terhadap keberadaan situs Monisa di Paya Meuligo yang merupakan bekas kerajaan Islam Peureulak.
Dikatakan, saat ini situs Monisa terbengkalai tanpa ada pembangunan lanjutan atau perawatan dari dinas terkait.
Dimana, sambungnya, di lokasi Monisa terdapat sejumlah situs seperti makam Sultan Alaidin Sayed Maulana Abdul Azis Syah selaku Raja Islam pertama beserta permaisurinya.
Kemudian komplek Makam Sultan lainnya yang terletak di Desa Bandrong, Kemukiman Bandar Khalifah, Kecamatan Peureulak.
Serta sejumlah makam lain yang berkaitan dengan kerajaan Islam Peureulak dan situs telaga yang merupakan bekas runtuhnya bangunan kerajaan itu.
"Kondisinya sangat miris. Minim perhatian dan semua situs perlu pemugaran berkala. Kita harap pemerintah konsen dan memperhatikan situs ini," harap aktivis muda itu.