Meulaboh (ANTARA Aceh) - Bila memasuki musim angin barat, ikan-ikan di tengah laut mulai berpindah tempat. Hal ini karena terjadinya pergeseran kawasan tempat adaptasi binatang itu mencari makanan.
Waktu itu pula gelombang laut di pinggir pantai memecah besar, membuat suara gemuruh ombak terdengar lantang sampai pada radius 500 meter. Pada saat kondisi demikian, hati nelayan gundah karena ikan-ikan susah ditemukan sehingga berimbas pula pada harga ikan yang dijual di pasar.
Demikian sepintas cerita masyarakat pesisir laut saat melakukan tradisi kanduri laot (kenduri laut) adat Aceh di kampung nelayan Lhuk Bubon, Kecamatan Sama Tiga, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh, Rabu, (27/1) siang.
Kampung tersebut sudah pernah dikunjungi Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dengan rombongan R1 pada tahun 2015 untuk melihat langsung kehidupan nyata nelayan Aceh.
Tradisi kanduri laot dilakukan ratusan nelayan setempat secara sederhana. Setelah tausiah bertajuk "memanfaatkan potensi laut secara syariat", mereka menyantuni anak yatim dan makan bersama di pinggir pantai.
Kanduri laot ini ditandai dengan memasak "kuah beulangong" (gulai kari) ternak besar (kerbau) yang disembelih dari uang sumbangan para nelayan dan pengusaha ikan untuk menyukseskan tradisi leluhur Aceh itu.
"Kanduri laot memang sudah turun-temurun kami lakukan, hari ini terselenggara berkat dana sumbangan nelayan dan toke-toke ikan. Kami melakukan penyantunan anak yatim dan makan bersama sebagai wujud kebersamaan," kata M. Sidiq, ketua panitia.
Nelayan kawasan itu sepakat untuk memanfaatkan sumber daya laut dengan syariat, artinya ada hal-hal yang dilarang secara agama tidak boleh dikerjakan oleh nelayan untuk menjaga kelestarian laut serta biota di dalamnya.
Perkampungan Nelayan
Kabupaten Aceh Barat yang memiliki 12 kecamatan, empat di antaranya merupakan daerah pesisir yang kemudian disebut sebagai perkampungan nelayan karena mayoritas masyarakatnya adalah nelayan dan tinggal dipesisir pantai.
Dari itu pula pembagian wilayah hukum adat laot dipegang oleh panglima lhok, kemudian untuk tingkat kabupaten dipegang oleh panglima laot. Hukum adat dan budaya kanduri laot ini sudah menyatu dalam darah masyarakat pesisir Aceh yang tidak akan hilang.
Bupati Aceh Barat Dr. (HC) H.T. Alaidinsyah di sela acara kanduri laot Lhok Bubon menyampaikan, adanya kegiatan tersebut membuktikan Aceh Barat merupakan daerah yang berbudaya.
Untuk menjaga ketenteraman nelayan perlu adanya peran semua pihak, terutama dari lembaga adat laot yang diinisiasi pembentukannya oleh pemerintah sebagai trobosan bersama-sama menjaga laut.
"Untuk menjaga laut harus ada peran semua pihak, kita bukan memerintahkan lembaga adat, melainkan hanya mendorong. Semua kebijakan kearifan lokal nelayan dapat ditengahi oleh lembaga adat laut ini," katanya.
Lembaga adat laot bukan hanya sebagai perumus kebijakan untuk kemakmuran nelayan, melainkan juga dapat menengahi setiap permasalahan yang dihadapi nelayan sebagai fasilitator nelayan dengan pemerintah dalam berbagai program pembangunan ekonomi masyarakat nelayan.
Peran panglima lhok dan panglima laot adalah pengawas intern secara nyata kehidupan nelayan, baik terhadap penerapan hukum kanun (peraturan daerah) maupun hukum negara Indonesia berdasarkan undang-undang.
Secara lokal, apabila ada permasalahan nelayan dapat diselesaikan secara "duek pakat" (musyawarah). Demikian halnya dalam setiap mengawasi perairan laut di wilayah perairan masing-masing pemangku adat "lhok".
"Semua berkenaan dengan persengketaan wilayah laut ataupun lokasi tempat mencari rezeki di laut, lembaga adat ini dapat berperan sebagai penengah menyelesaikan permasalahan nelayan," katanya.
Semua ketentuan adat laut, kata Alaidinsyah, telah dimasukkan dalam hukum adat Aceh tertuang dalam kanun (peraturan daerah), artinya semua kawasan harus mengikuti semua berkenaan dalam aturan lembaga adat ini.
Penjaga Laut
Budayawan Kabupaten Aceh Barat Abdul Kadir menilai hukum adat laot ini menjadi alternatif melindungi sumber daya perikanan di daerah itu.
"Saya pikir hukum adat laot ini adalah satu-satunya alternatif di samping dapat melindungi nelayan juga dapat dijadikan sebagai pijakan untuk mengatur tata kelola perikanan,"sebutnya.
Abdul Kadir yang juga anggota muspida plus Majelis Adat Aceh (MAA) Aceh Barat ini mengatakan bahwa di dalam adat laot banyak mengatur semua hal yang berkenaan dengan tata kelola pemanfaatan potensi perikanan.
Banyak nilai historis lain terkandung, seperti dapat menjadi wadah pemersatu masyarakat nelayan dan mempermudah pemerintah menyampaikan program-program pembangunan perekonomian masyarakat nelayan.
Problematik kehidupan masyarakat nelayan sudah menjadi rahasia umum, konotasi nelayan sebagai rakyat miskin selalu menjadi perbincangan di setiap sudut daerah karena memang kehidupan nyata para nelayan selalu hidup di pinggir pantai.
Masyarakat nelayan umumnya adalah mereka yang berpendidikan rendah dan berada di garis terpinggirkan. Aktivitas nelayan Aceh lebih cenderung bersifat tradisional karena kemampuan mereka yang terbatas.
Pada saat kondisi demikian, landasan hukum bagi komunitas nelayan hanya dapat dilakukan dengan kearifan lokal melalui kegiatan-kegiatan adat budaya yang sudah mendarah daging begi keluarga nelayan secara turun-temurun.
"Kearifan lokal Aceh ini tidak bertentangan dengan hukum di Indonesia, apalagi tidak semua nelayan mampu menyerap bagaimana hukum secara nasional, mereka sudah terbiasa dengan kehidupan demikian," katanya.
Mantan Ketua Komisi D DPRK Aceh Barat yang membidangi kebudayaan ini mengatakan bahwa dengan kondisi masyarakat nelayan yang sudah berpengalaman, pemerintah hanya perlu mendukung mereka dengan program-program peningkatan produksi perikanan.
Dalam tradisi nelayan Aceh, misalnya, ada yang namanya kanduri laot dan pantang meulaot, semua itu telah masuk dalam kanun (peraturan daerah) hukum adat laot. Dalam hal ini pucuk pimpinan nelayan adalah seorang panglima laot.
Menurut Abdul Kadir, tidak ada yang menentang dari sisi adat terhadap budaya leluhur masyarakat nelayan itu, malahan kegiatan tersebut menjadi sebuah kearifan lokal.
Satu hal yang sangat positif, saat kanduri laot dilakukan semua nelayan libur tidak melaut. Hal ini merupakan bentuk sikap sadar lingkungan masyarakat, memberikan waktu jeda biota laut tumbuh dan berkembang, bukan hanya dikuras tanpa ada jeda.
Bila budaya ini dinasionalisasikan, akan ada kemungkinan-kemungkinan dampak baik yang akan muncul untuk keberlangsungan sumber daya alam laut yang begitu luas di wilayah perairan Indonesia.
Sementara itu pengamat ekonomi dan perikanan dari Universitas Teuku Umar Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, Hafinuddin S.Pi., M.Sc. mengatakan bahwa untuk mengarap potensi sumber daya laut Aceh yang begitu besar, harus didukung sarana memadai.
"Untuk penguatan produksi kelautan dan perikanan yang begitu banyak harus didukung oleh sarana dan prasarana, baik untuk laut maupun di darat," katanya.
Hasil penelitian 2015 telah dilakukan mahasiswa bimbingannya terhadap perilaku kehidupan nelayan Aceh Barat, sampel menunjukkan cukup jelas bahwa ada potensi ekonomi nelayan bangkit apabila sumber daya terkelola maksimal.
Magister spesialis teknologi perikanan ini menyampaikan, ada sebagian kapal motor (KM) nelayan berkapasitas di bawah 10 gross tonnage mampu menghasilkan pendapatan Rp200 juta per bulan dari hasil tangkapan.
Apabila nelayan dibantu dengan armada alat tangkap di atas 10 gross tonnage serta alat tangkap yang maksimal, masyarakat Aceh tidak lagi berlomba-lomba di darat untuk menjadi seorang pegawai.
Tiga langkah yang harus ditempuh, yakni pertama menyediakan kebutuhan dasar nelayan, seperti armada dan alat tangkap; membangun fasilitas di darat; dan memperkaya sumber daya manusia. Hal itu dapat didukung oleh akademisi di Aceh.
Menyangkut tata kelola laut dan potensi perikanan di laut Aceh dapat dilakukan bersama-sama, akademisi di Aceh dalam hal ini juga tidak tinggal diam melakukan penelitian terhadap kawasan potensial penangkapan.
Kolaborasi peran semua pihak tentunya akan membuat mudah mengelola sumber daya laut dan perikanan, pemerintah akan lebih mudah membangun daerah dan masyarakat dengan meningkatnya pendapatan dari berbagai sektor industri yang tumbuh.
Waktu itu pula gelombang laut di pinggir pantai memecah besar, membuat suara gemuruh ombak terdengar lantang sampai pada radius 500 meter. Pada saat kondisi demikian, hati nelayan gundah karena ikan-ikan susah ditemukan sehingga berimbas pula pada harga ikan yang dijual di pasar.
Demikian sepintas cerita masyarakat pesisir laut saat melakukan tradisi kanduri laot (kenduri laut) adat Aceh di kampung nelayan Lhuk Bubon, Kecamatan Sama Tiga, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh, Rabu, (27/1) siang.
Kampung tersebut sudah pernah dikunjungi Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dengan rombongan R1 pada tahun 2015 untuk melihat langsung kehidupan nyata nelayan Aceh.
Tradisi kanduri laot dilakukan ratusan nelayan setempat secara sederhana. Setelah tausiah bertajuk "memanfaatkan potensi laut secara syariat", mereka menyantuni anak yatim dan makan bersama di pinggir pantai.
Kanduri laot ini ditandai dengan memasak "kuah beulangong" (gulai kari) ternak besar (kerbau) yang disembelih dari uang sumbangan para nelayan dan pengusaha ikan untuk menyukseskan tradisi leluhur Aceh itu.
"Kanduri laot memang sudah turun-temurun kami lakukan, hari ini terselenggara berkat dana sumbangan nelayan dan toke-toke ikan. Kami melakukan penyantunan anak yatim dan makan bersama sebagai wujud kebersamaan," kata M. Sidiq, ketua panitia.
Nelayan kawasan itu sepakat untuk memanfaatkan sumber daya laut dengan syariat, artinya ada hal-hal yang dilarang secara agama tidak boleh dikerjakan oleh nelayan untuk menjaga kelestarian laut serta biota di dalamnya.
Perkampungan Nelayan
Kabupaten Aceh Barat yang memiliki 12 kecamatan, empat di antaranya merupakan daerah pesisir yang kemudian disebut sebagai perkampungan nelayan karena mayoritas masyarakatnya adalah nelayan dan tinggal dipesisir pantai.
Dari itu pula pembagian wilayah hukum adat laot dipegang oleh panglima lhok, kemudian untuk tingkat kabupaten dipegang oleh panglima laot. Hukum adat dan budaya kanduri laot ini sudah menyatu dalam darah masyarakat pesisir Aceh yang tidak akan hilang.
Bupati Aceh Barat Dr. (HC) H.T. Alaidinsyah di sela acara kanduri laot Lhok Bubon menyampaikan, adanya kegiatan tersebut membuktikan Aceh Barat merupakan daerah yang berbudaya.
Untuk menjaga ketenteraman nelayan perlu adanya peran semua pihak, terutama dari lembaga adat laot yang diinisiasi pembentukannya oleh pemerintah sebagai trobosan bersama-sama menjaga laut.
"Untuk menjaga laut harus ada peran semua pihak, kita bukan memerintahkan lembaga adat, melainkan hanya mendorong. Semua kebijakan kearifan lokal nelayan dapat ditengahi oleh lembaga adat laut ini," katanya.
Lembaga adat laot bukan hanya sebagai perumus kebijakan untuk kemakmuran nelayan, melainkan juga dapat menengahi setiap permasalahan yang dihadapi nelayan sebagai fasilitator nelayan dengan pemerintah dalam berbagai program pembangunan ekonomi masyarakat nelayan.
Peran panglima lhok dan panglima laot adalah pengawas intern secara nyata kehidupan nelayan, baik terhadap penerapan hukum kanun (peraturan daerah) maupun hukum negara Indonesia berdasarkan undang-undang.
Secara lokal, apabila ada permasalahan nelayan dapat diselesaikan secara "duek pakat" (musyawarah). Demikian halnya dalam setiap mengawasi perairan laut di wilayah perairan masing-masing pemangku adat "lhok".
"Semua berkenaan dengan persengketaan wilayah laut ataupun lokasi tempat mencari rezeki di laut, lembaga adat ini dapat berperan sebagai penengah menyelesaikan permasalahan nelayan," katanya.
Semua ketentuan adat laut, kata Alaidinsyah, telah dimasukkan dalam hukum adat Aceh tertuang dalam kanun (peraturan daerah), artinya semua kawasan harus mengikuti semua berkenaan dalam aturan lembaga adat ini.
Penjaga Laut
Budayawan Kabupaten Aceh Barat Abdul Kadir menilai hukum adat laot ini menjadi alternatif melindungi sumber daya perikanan di daerah itu.
"Saya pikir hukum adat laot ini adalah satu-satunya alternatif di samping dapat melindungi nelayan juga dapat dijadikan sebagai pijakan untuk mengatur tata kelola perikanan,"sebutnya.
Abdul Kadir yang juga anggota muspida plus Majelis Adat Aceh (MAA) Aceh Barat ini mengatakan bahwa di dalam adat laot banyak mengatur semua hal yang berkenaan dengan tata kelola pemanfaatan potensi perikanan.
Banyak nilai historis lain terkandung, seperti dapat menjadi wadah pemersatu masyarakat nelayan dan mempermudah pemerintah menyampaikan program-program pembangunan perekonomian masyarakat nelayan.
Problematik kehidupan masyarakat nelayan sudah menjadi rahasia umum, konotasi nelayan sebagai rakyat miskin selalu menjadi perbincangan di setiap sudut daerah karena memang kehidupan nyata para nelayan selalu hidup di pinggir pantai.
Masyarakat nelayan umumnya adalah mereka yang berpendidikan rendah dan berada di garis terpinggirkan. Aktivitas nelayan Aceh lebih cenderung bersifat tradisional karena kemampuan mereka yang terbatas.
Pada saat kondisi demikian, landasan hukum bagi komunitas nelayan hanya dapat dilakukan dengan kearifan lokal melalui kegiatan-kegiatan adat budaya yang sudah mendarah daging begi keluarga nelayan secara turun-temurun.
"Kearifan lokal Aceh ini tidak bertentangan dengan hukum di Indonesia, apalagi tidak semua nelayan mampu menyerap bagaimana hukum secara nasional, mereka sudah terbiasa dengan kehidupan demikian," katanya.
Mantan Ketua Komisi D DPRK Aceh Barat yang membidangi kebudayaan ini mengatakan bahwa dengan kondisi masyarakat nelayan yang sudah berpengalaman, pemerintah hanya perlu mendukung mereka dengan program-program peningkatan produksi perikanan.
Dalam tradisi nelayan Aceh, misalnya, ada yang namanya kanduri laot dan pantang meulaot, semua itu telah masuk dalam kanun (peraturan daerah) hukum adat laot. Dalam hal ini pucuk pimpinan nelayan adalah seorang panglima laot.
Menurut Abdul Kadir, tidak ada yang menentang dari sisi adat terhadap budaya leluhur masyarakat nelayan itu, malahan kegiatan tersebut menjadi sebuah kearifan lokal.
Satu hal yang sangat positif, saat kanduri laot dilakukan semua nelayan libur tidak melaut. Hal ini merupakan bentuk sikap sadar lingkungan masyarakat, memberikan waktu jeda biota laut tumbuh dan berkembang, bukan hanya dikuras tanpa ada jeda.
Bila budaya ini dinasionalisasikan, akan ada kemungkinan-kemungkinan dampak baik yang akan muncul untuk keberlangsungan sumber daya alam laut yang begitu luas di wilayah perairan Indonesia.
Sementara itu pengamat ekonomi dan perikanan dari Universitas Teuku Umar Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, Hafinuddin S.Pi., M.Sc. mengatakan bahwa untuk mengarap potensi sumber daya laut Aceh yang begitu besar, harus didukung sarana memadai.
"Untuk penguatan produksi kelautan dan perikanan yang begitu banyak harus didukung oleh sarana dan prasarana, baik untuk laut maupun di darat," katanya.
Hasil penelitian 2015 telah dilakukan mahasiswa bimbingannya terhadap perilaku kehidupan nelayan Aceh Barat, sampel menunjukkan cukup jelas bahwa ada potensi ekonomi nelayan bangkit apabila sumber daya terkelola maksimal.
Magister spesialis teknologi perikanan ini menyampaikan, ada sebagian kapal motor (KM) nelayan berkapasitas di bawah 10 gross tonnage mampu menghasilkan pendapatan Rp200 juta per bulan dari hasil tangkapan.
Apabila nelayan dibantu dengan armada alat tangkap di atas 10 gross tonnage serta alat tangkap yang maksimal, masyarakat Aceh tidak lagi berlomba-lomba di darat untuk menjadi seorang pegawai.
Tiga langkah yang harus ditempuh, yakni pertama menyediakan kebutuhan dasar nelayan, seperti armada dan alat tangkap; membangun fasilitas di darat; dan memperkaya sumber daya manusia. Hal itu dapat didukung oleh akademisi di Aceh.
Menyangkut tata kelola laut dan potensi perikanan di laut Aceh dapat dilakukan bersama-sama, akademisi di Aceh dalam hal ini juga tidak tinggal diam melakukan penelitian terhadap kawasan potensial penangkapan.
Kolaborasi peran semua pihak tentunya akan membuat mudah mengelola sumber daya laut dan perikanan, pemerintah akan lebih mudah membangun daerah dan masyarakat dengan meningkatnya pendapatan dari berbagai sektor industri yang tumbuh.