Banda Aceh (ANTARA) - Guru Besar UIN Ar-Raniry, Prof Dr Tgk Yusni Sabi menyatakan sejatinya pemimpin itu lahir dari rakyat dan kebijakan yang diambil oleh pemimpin itu berasal dari rakyat.
“Jika pemimpin itu baik, berarti ada kebaikan pada rakyatnya, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, pemimpin itu bisa dikatakan representasi dari rakyat yang akan membentuk model atau sikap kepemimpinan,” kata Yusni Sabi di Banda Aceh, Rabu malam.
Hal itu sampaikannya di sela-sela mengisi pengajian perdana KWPSI yang berlangsung di Kantor Perum LKBN ANTARA Biro Aceh dengan tema “Ahlan wa sahlan Pemimpin Baru di Aceh”.
Prof Yusni juga menjelaskan pemimpin merupakan khalifah yang harus ditaati oleh manusia jika dilihat posisinya sesuai dengan perintah dalam Al-Quran, taatilah Allah dan rasul dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu.
“Kita harus memposisikan diri dengan baik dan benar dalam menyampaikan aspirasi maupun kritikan terhadap pemimpin itu, harus sesuai dengan prosedur dan ketentuan hukumnya,” ujar Prof Yusni sembari mengutip surat An-Nisa ayat 59.
Prof Yusni juga menjelaskan, ada satu teori yang menyebutkan, pemimpin itu lahir dari dua tipe, ada pemimpin yang lahir karena dia cerdas dan pandai. Lalu ada pemimpin yang lahir karena dia dilatih dulu untuk menjadi seorang pemimpin.
Saat sekarang menurutnya, untuk membentuk karakter pemimpin yang baik, dia itu harus dididik dan dilatih, di mana Partai politik harus menjadi wadah dalam mendidik kader-kadernya menjadi seorang pemimpin yang baik, menjadi kepala daerah, anggota DPR dan sebagainya.
“Kita sudah melalui dan sukses di era konfrontasi, sekarang kita berada di era kolaborasi dan diplomasi,” ujar mantan Rektor UIN Ar-Raniry tersebut.
Prof Yusni juga menilai, sistem demokrasi yang menjalankan roda kepemimpinan di Indonesia sudah berjalan cukup baik. Bahkan, Islam sendiri sudah melakukannya, ketika khalifah itu dipilih. Bedanya zaman itu tidak ada istilah pencoblosan. Mereka ditunjuk dipilih kemudian di bai’at. Penunjukan para khulafaurrasyidin untuk menjadi pemimpin, didasarkan pada kehidupan mereka yang terus hidup bersama dalam seperjuangan.
“Jadi Abu bakar, Umar, Usman dan Ali, mereka sudah mengenal satu sama lain dalam berjuang meneguhkan agama Islam, oleh karenanya mereka ditunjuk oleh umat,” katanya.
Dalam konteks kearifan lokal Aceh, kata Prof Yusni mengatakan, lingkungan harus ikut andil mengawal dan memiliki rasa kepedulian agar kekhususan Aceh itu tetap terjaga di bawah kepemimpinan yang baru ini. Seperti KWPSI yang terus mengawal penegakan syariat Islam melalui pemberitaan.
“KWPSI juga perlu menempatkan posisi dan beradaptasi dengan pemimpin yang baru ini, apalagi terkait syariat Islam yang menjadi hakikatnya kekhususan Aceh,” katanya.
Menurut beliau, syariat Islam bukan hanya pada jargon-jargon pemerintahan saja, tapi dia merupakan implementasi yang harus dilakukan pada setiap pribadi masyarakat, pegawai kantoran bahkan syariat Islam itu merangkul setiap aspek, lini, sektor dan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Diakhir tausiyahnya, Prof Yusni Sabi menyampaikan pesan bagi para pemimpin di Aceh yang baru dilantik bahwasanya agar senantiasa terus membimbing rakyat Aceh supaya lebih baik, makmur dan arif. Sebagai rakyat dan akademisi Prof Yusni menyatakan akan terus mendukung pemimpin dalam menjalankan tugas dan misi kepemerintahan di Aceh.
“Kepada pemimpin di Aceh jangan terpengaruh dengan isu-isu negatif yang tidak jelas sumbernya, sehingga seolah-olah kami anti pemimpin yang baru. Apapun alasannya kami setia kepada kepemimpinan, dan kami bahwa percaya bahwa Aceh ini maju karena kepemimpinannya yang jujur, istiqamah, menantang dan melawan segala kezaliman. Kami rakyat siap berjuang bersama bapak-bapak sekalian untuk memajukan rakyat dan bangsa kita ini,” pesan Prof Yusni sebelum kajian ditutup yang diakhiri dengan doa.
Kalau pemimpin itu berasal ditunjuk oleh Pemerintah pusat, berarti mereka-mereka itu representasi pusat berdasarkan aspirasi rakyat,” kata Prof Yusni sembari menganalisis isu dan menyebutkan beberapa pemimpin di Aceh yang baru dilantik.