Jakarta (ANTARA) - Faiz Musa, pemuda berkulit sawo matang dengan tubuh tegap, sedikit cambang dan berewok menghiasi wajahnya. Tidak jarang ia dikira orang India atau Pakistan bahkan ada yang menyebutnya dari Afrika serta Arab.
Pemuda berusia 26 tahun itu berdarah asli Madura, Jawa Timur. Hanya saja ia lahir di Mekkah, Arab Saudi.
Dengan pergaulan sehari-hari dan bersekolah di sekolah Arab, tentu saja ia lebih fasih berbahasa Arab ketimbang bahasa Indonesia.
Sejak kecil Faiz berpikir bahwa ia sama dengan anak-anak di lingkungannya, tapi semakin besar dan luas pergaulannya, apalagi setelah mengalami perlakuan berbeda di sekolah, barulah dia paham bahwa ternyata ia berbeda.
Ia mulai kenal dengan anak Indonesia saat bermain bola bersama, hingga mahasiswa jurusan IT Computer Science di Universitas Umm Al-Qura, sebuah universitas negeri di Mekkah itu, mulai tertarik belajar bahasa Indonesia.
Menurut putra bungsu dari lima bersaudara itu, tidak susah belajar bahasa Indonesia karena sering dipraktikkan melalui ngobrol dengan sesama orang Indonesia maupun orang tuanya di rumah. Meski demikian, saat ini ia juga belum begitu lancar berbicara berbahasa Indonesia.
Apalagi semenjak ia bergabung sebagai petugas haji Indonesia, semakin sering bertemu dengan sesama anak bangsa, makin banyak kosa kata yang dikuasainya meski kadang penggunaan kata masih tidak sesuai aturan berbahasa, tapi setidaknya ia mengerti jika orang lain mengajaknya berbicara.
Sering kali kejadian lucu terkait dengan penggunaan bahasa dialaminya, belum lagi budaya yang berbeda antara Indonesia dengan Saudi, kerap menghadirkan tawa ketika ia menceritakan kembali pengalamannya.
Saat pertama kali menginjakkan kaki di Indonesia, ia dikira orang asing karena perawakan yang berbeda, ditambah lagi penggunaan bahasa Indonesia yang tidak lancar. Alhasil, jadilah ia mengantre di barisan WNA saat di Imigrasi bandara, ketika ditunjukkan paspor kepada petugas ternyata paspor Indonesia.
Belum lagi perbedaan waktu dan pola aktivitas antara Indonesia dan Mekkah, biasanya ia tidur dini hari, karena kebiasaan itu terbawa ketika ke Madura, kampung halaman orang tuanya yang sudah sepi saat jarum jam menunjukkan pukul 21.00.
Jadilah Faiz terjaga sendirian di tengah malam, sedangkan saudara-saudaranya semua sedang tidur pulas.
"Di Madura, jam sembilan malam semua sudah tidur, gelap, tinggal saya sendiri yang terjaga. Itu tidak enaknya di sana," ujar Faiz terbata-bata dengan mimik wajah yang polos mengundang tawa.
Ada lagi kisahnya yang cukup mengocok perut, saat ia makan nasi goreng di warung pinggir jalan, ternyata tak cukup satu piring, ia memesan tiga piring.
Orang-orang bahkan pedagang nasi goreng sampai tertawa, mengira ia kelaparan karena sudah tak makan beberapa lama, padahal porsi tiga piring itu biasa di Arab yang terkenal dengan porsi makan yang besar.
Penyuka nasi goreng dan soto itu mengaku kaget saat ditanya nasi kucing. Ia berpikir orang Indonesia makan kucing, padahal yang dimaksud adalah nasi yang dijual pedagang angkringan dengan porsi kecil dan aneka lauk sate-satean yang dijual dengan harga murah.
"Saya pikir kucing dimakan," kata Faiz dengan wajah kaget.
Meski masih belum lancar berbahasa Indonesia dan masih banyak kata yang belum dipahami, Faiz mengaku sangat cinta Indonesia. Diakui jati dirinya bahwa ia keturunan Indonesia sehingga sampai mencari asal-usulnya hingga datang ke Pulau Madura.
Faiz mengaku punya beberapa baju batik yang ia beli saat di Indonesia. Ia juga terus mencari tahu tentang budaya Indonesia baik melalui media sosial maupun langsung dari orang-orang Indonesia yang dikenal.
Ia bangga bisa bergabung sebagai petugas haji Indonesia, mengenakan seragam dengan atribut bendera Merah Putih di dada. Menandakan ia juga bagian dari Nusantara, anak bangsa yang meski jauh di negeri orang, sekolah, mengenyam pendidikan bahkan mendapatkan beasiswa dari pemerintah Saudi akan tetapi tetap warga negara Indonesia.
Suatu saat, jika memang harus memilih dia siap untuk menetap di Tanah Air, dan berbuat sesuatu untuk kemajuan Indonesia.
Rasa bangga sebagai orang Indonesia juga dirasakan Abdurrahman yang juga lahir dan besar di Mekkah.
Abdu, panggilan akrabnya, mengaku keluarga mengenalkannya dengan beberapa budaya Indonesia seperti tahlilan dan maulid serta ziarah kubur yang tidak lazim dilakukan di Arab Saudi.
Di lingkungan rumah, ia biasa berbicara menggunakan bahasa Jawa dan Madura sehingga ia mengerti jika diajak berbahasa daerah meski hanya secara pasif. Tentunya ia lebih mahir berbahasa dan menulis Arab karena sudah terbiasa dari kecil.
Saat kuliah di Al Azhar, Mesir, ia mulai banyak bergaul dengan mahasiswa asal Indonesia sehingga mau tidak mau dia harus belajar bahasa Indonesia.
Pria berkulit putih berdarah campuran Malang dan Madura itu lebih lancar berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Apalagi dia sudah beberapa kali bergabung sebagai petugas haji Indonesia.
Ia mengaku sudah lima kali menginjakkan kaki di Tanah Air, pernah ke Bali, Pontianak, Makassar, Palembang dan melihat kemegahan Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Dengan Malang, ia juga memiliki kesan tersendiri. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di daerah itu ia merasakan suasana yang nyaman karena hawanya yang dingin.
Ada juga kejadian lucu dengan nasi kucing. Abdu diajak temannya menyantap nasi kucing ketika di Jakarta.
"Kalau kalian biasanya makan berapa bungkus? Saya makan 21 bungkus, teman malah sampai 27 bungkus. Itu orang yang jual sampai heran lihat kami," tambah dia.
Kecintaannya terhadap Indonesia tak perlu dipertanyakan, apalagi ia mendapatkan kesan pertama yang indah tentang Indonesia. Bahkan suatu saat ia ingin menetap di Indonesia jika ada kesempatan.
Sebagai keturunan orang Indonesia, hal itu tidak dia mungkiri. Darah yang mengalir di tubuhnya adalah darah Indonesia sehingga ia pun cinta Indonesia.
Jargon "Merah Putih harga mati" yang lekat dengan dirinya menjadi salah satu bukti keberhasilan upaya pemerintah Indonesia dengan berbagai pihak terkait untuk terus-menerus menanamkan semangat nasionalisme.
Gelora penanaman nasionalisme tak hanya menyasar generasi bangsa yang ada di Tanah Air. Akan tetapi, mereka yang tinggal di tanah seberang pun juga cinta Indonesia.
Cukup banyak anak Indonesia yang lahir dan besar di Arab Saudi, bahkan sudah sejak dahulu banyak warga Nusantara yang merantau ke kota kelahiran Nabi Muhammad SAW itu.
Hingga saat ini keturunan-keturunan mereka masih menetap di Tanah Suci. Ada yang melebur dan menjadi warga negara setempat namun ada juga yang mempertahankan status keindonesiaan mereka.
Meski tak cukup banyak mengenal bahasa maupun budaya asal-usul leluhur, Merah Putih tetap bersemayam di hati mereka.