Banda Aceh (ANTARA) - Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Provinsi Aceh mengendalikan laju inflasi lewat ketersediaan bahan pangan yang cukup di pasaran di daerah itu.
“Pihak terkait saling bersinergi dan berkolaborasi untuk mengatasi dan mengendalikan inflasi pangan melalui Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP),” kata Kepala Bank Indonesia Provinsi Aceh Achris Sarwani di Banda Aceh, Kamis (8/9).
Di sela-sela melaporkan perkembangan penanganan inflasi di Aceh yang antara lain dihadiri Sekda Aceh Bustami Sekda Aceh, Kakanwil Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Provinsi Aceh Safuadi di Media Center Biro Adpim Setda Aceh, ia menjelaskan tekanan inflasi tidak hanya bersumber dari penyesuaian harga BBM, tetapi juga kenaikan harga pangan.
Karena itu, Bank Indonesia bersama Pemerintah Provinsi Aceh, pemerintah kabupaten/kota se-Aceh, TPID, Satgas Pangan, dan pihak-pihak terkait saling bersinergi dan berkolaborasi.
“GNPIP ini bertujuan untuk menstabilisasi harga pangan melalui operasi pasar/pasar murah, kerja sama perdagangan antardaerah, dan ketahanan pangan. Termasuk peningkatan produksi, dan peningkatan suplai,” katanya.
Ia mengatakan secara tahunan, inflasi Aceh sudah berada di posisi 6,34 persen (year on year), dan inflasi tahun kalender berada di 4,51 persen (year to date). Angka tersebut telah berada lebih tinggi dibandingkan rentang target inflasi nasional yang berada di kisaran 3 persen ± 1 persen.
“Secara umum, penyumbang inflasi di Provinsi Aceh pada periode Januari-Agustus 2022 yaitu cabai merah, angkutan udara, Bahan Bakar Rumah Tangga (BBRT), sewa rumah, beras, dan cabai hijau,” katanya.
Menurut dia, tekanan inflasi tidak terlepas dari problematika ekonomi dunia yang didorong pandemi COVID-19 yang belum mereda di beberapa negara, perang Rusia-Ukraina yang diperkirakan akan berlangsung lama, kenaikan harga komoditas khususnya untuk komoditas pangan dan energi, dan tantangan perlambatan ekonomi dunia sebagai dampak ekspektasi resesi Amerika Serikat dan zero COVID-19 kebijakan Tiongkok.