Tapaktuan (ANTARA Aceh) - Pemerhati ekonomi dan sosial di Kabupaten Aceh Selatan, T Sukandi menyambut baik kebijakan pemerintah menerapkan bahan bakar minyak (BBM) satu harga, karena bisa menciptakan pemerataan ekonomi di pedesaan.
"Dengan kebijakan BBM satu harga, maka terwujud keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai sila kelima Pancasila," katanya kepada wartawan di Tapaktuan, Jumat.
Ia mencontohkan wilayah Papua yang notabennya merupakan daerah penghasil sumber daya alam terbanyak, dengan diberlakukannya BBM satu harga maka rakyat di sana merasa bagian dari rakyat Indonesia, jangan justru ada perbedaan seperti terjadi selama ini.
Sukandi menyatakan, kebijakan yang diambil Presiden Jokowi tersebut merupakan bagian dari gebrakan atau terobosan Pemerintah Pusat untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari ancaman perpecahan dan makar.
Sebab, lanjut dia, sudah sejak lama masyarakat yang berada di pelosok negeri seperti di Papua dan Kalimantan sana membeli BBM dengan harga yang melambung tinggi mencapai Rp100 ribu/liter.
Namun dengan telah diberlakukannya BBM satu harga yakni sama dengan harga di Pulau Jawa dan Sumatera sesuai harga HET yang ditetapkan pemerintah, maka rakyat di sana merasa kehadiran negara untuk mengakhiri penderitaan mereka.
Sementara itu, pengusaha Stasiun Pengisian Bahar Bakar Umum (SPBU) Tapaktuan, Erza Zuhri, yang dimintai tanggapannya mengatakan, pemberlakuan BBM satu harga ditingkat SPBU seluruh Indonesia memang sudah berlaku sejak dulu.
Namun yang jadi persoalannya sekarang ini adalah bagaimana teknis pelaksanaan atau implementasinya terhadap harga BBM yang dijual oleh masyarakat di luar SPBU resmi.
"Saya secara pribadi sangat mendukung program pemerintah tersebut, karena dengan demikan telah tercipta keadilan sosial bagi seluruh rakyat tanpa ada perbedaan sedikitpun antara masyarakat yang berada di pelosok desa daerah terpencil dengan masyarakat yang berada di kota," katanya.
Namun demikian, ia tetap meragukan program ini akan terealisasi seperti yang diharapkan karena diyakini dalam pelaksanaan di lapangan nantinya akan menghadapi berbagai kendala dan persoalan.
Menurut dia, program tersebut baru akan terealisasi sesuai yang diharapkan jika pihak pemerintah bersama PT Pertamina (Persero) bersedia mengalokasikan anggaran subsidi untuk menutupi tambahan biaya pengangkutan BBM tersebut guna menjangkau ke seluruh pelosok desa di daerah terpencil dan terisolir seperti di Papua dan Kalimantan.
"Solusi lainnya adalah, pihak Pemerintah bersama PT Pertamina bersedia memfasilitasi pihak investor atau pengusaha lokal agar mau menanamkan investasinya untuk membangun SPBU lebih banyak lagi di pelosok-pelosok desa sehingga tidak ada lagi kalangan masyarakat tertentu yang menjual BBM secara bebas di luar SPBU resmi," katanya.
Dia mencontohkan seperti yang terjadi di wilayah Aceh Selatan seperti harga BBM di wilayah terpencil Bulohseuma, Kecamatan Trumon dan Menggamat Kecamatan Kluet Tengah, dengan jarak tempuh ke pusat kota yang ada SPBU tergolong jauh, maka secara otomatis harga penjualan BBM di sana sudah berbeda dengan harga yang dijual di SPBU.
"Untuk mendistribusikan BBM ke sana membutuhkan biaya, sehingga pedagang enceran sudah sewajarnya mengambil untung. Yang jadi pertanyaan sekarang ini adalah, tidak mungkin pihak pengelola SPBU tidak menjual BBM kepada pedagang enceran, karena disamping mata pencaharian mereka terganggu juga menghambat masyarakat di pelosok desa mendapatkan BBM," katanya.